SUPERCAMP #4: Panitia Infal, Pesta Ikan Bakar dan Lobster
Sabtu, 13 Agustus 2016. Sempat bangun di alarm jam empat pagi, tapi cuma untuk bangun, mematikan alarm, dan tidur lagi. Bangun-bangun sudah jam lima. Kami langsung mandi dan sholat subuh. Untung saja rumah kami dekat dengan tempat acara, jadi tidak perlu bangun sepagi peserta yang rumahnya jauh-jauh dan harus dijemput bus hahaha :)) Sayangnya, kondisi listrik desa mati lagi. Kami terpaksa menggunakan senter, bahkan untuk ke kamar mandi yang letaknya seperti labirin di dalam rumah (dari ruang bersama ke kiri, belok kanan, belok kanan lagi,belok kiri).
Begitu sudah siap, kami ke madrasah. Saya dan Teh Nisa ke ruang kelas yang telap disulap menjadi apotek. Saya malah merasa lapar karena belum makan apa-apa, lalu Teh Nisa menawarkan rotinya yang ada di rumah. Kami kembali ke rumah dan saya makan roti. Tapi, saya belum kenyang. Berhubung ada banyak popmie (bahkan ada berdus-dus), jadi ya saya makan popmie saja. Ditambah dengan sisa susu ultra yang dijadikan souvenir.
Kami disuruh mengambil kaos panitia di dr. Adi yang ada di basecamp (gedung belakang kantor desa). Waktu saya mau ambil, dr. Adi malah bertanya, "Dinda, kamu L atau XL?" Saya langsung mengucap, "Astaghfirullah, Dok..." Apakah saya sebesar itu ya.... "Bukan, saya bukan menghina. Tapi emang ukurannya cuma ada dua," kata beliau. Hahaha ya, tapi kenyataannya memang ukuran saya L sih, Dok, hehehe.
Selanjutnya, terjadi lagi kegabutan part sekian. Urusan balai pengobatan sudah beres, konsumsi sudah datang, dan acara pembukaan sudah mau dimulai. Paling, saya bantu-bantu tim acara sedikit. Selebihnya, yaa lebih banyak melakukan supervisi hehehe. Pokoknya, desa kami mendadak ramai. Tukang jajanan ada di mana-mana, mulai dari mie bakso, cilok, es krim, jagung, sosis dan bakso bakar, sampai cireng. Saya sudah ngidam mau jajan segala macam, tapi apa daya perut masih kenyang hahaha.
Desa semakin dipenuhi oleh warga yang mau menyaksikan acara Pembukaan Supercamp yang akan dihadiri oleh Gubernur Jawa Barat. Begitu beliau datang, para penari dari FIB langsung menyambut beliau. Begitu juga hadirin yang langsung berdiri dan memberi jalan. Dengan hadirnya beliau, maka dimulailah acara yang diawali dengan pembukaan oleh MC, pembacaan tilawah oleh seorang ustadzah yang suaranya merdu pisan, disusul dengan sambutan-sambutan oleh ketua pelaksana Supercamp (dr. Dicky), Vice Direktur Utama Pertamina (sebagai pemberi dana CSR), Rektor Unpad kami tercinta (Prof. Tri), dan terakhir oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Dilanjutkan dengan berbagai penampilan berupa kesenian tradisional yaitu pencak silat dan kuda lumping.
Tiba-tiba, saya dipanggil Nurul Izzah (kebidanan 2014 yang menjadi panitia konsumsi umum). Ternyata, ada seorang dokter yang mencari saya dan mau menyerahkan absen konsumsi. Setelah saya diterima, saya pergi dari tempat duduk saya. Saya malah agak jalan-jalan ke sebelah kanan panggung, dan berharap ada yang menjual sepatu, gara-gara sepatu saya yang basah masih belum kering dan dari kemarin saya hanya memakai sandal. Rasanya agak kurang pantas gitu, di acara yang dihadiri gubernur dan rektor, masa iya saya pakai sandal jepit :") Dan benar. Ada yang menjual sepatu di truk. Saya baru liat sekilas, tapi belum ada yang menarik perhatian saya. Saya ragu mau membeli, karena takutnya nanti malah tidak terpakai lagi kalau memang sepatunya belum pas dengan keinginan saya. Akhirnya saya urungkan niat dan berjalan menuju aula desa.
"Dok, ada yang bisa saya bantu?" Saya kembali menghampiri dr. Nandin dan berharap ada hal bermanfaat yang bisa saya lakukan. Beliau pun meminta saya menemani pasien-pasien khitan Desa Kertamukti yang akan diberangkatkan menuju Desa Legokjawa. Tidak hanya saya, tetapi juga Natsir, Irfan Hatoy, dan Jennifer. Kami sempat menunggu beberapa saat, hampir jajan cireng tapi tidak jadi karena takut keburu pergi, dan saya menitipkan absen konsumsi ke Nurul Izzah. Lalu, kami pun berangkat dan terpaksa harus berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Setelah disiasati, barulah saya dan Hatoy bisa duduk di dekat pintu keluar bus yang belakang...
Saat melihat indomaret, saya langsung dapat memastikan kalau kami sudah sampai di Legokjawa (desa satu-satunya yang memiliki indomaret). Dan benar. Madrasah tempat berlangsungnya bedah minor dan khitan ada di sebelah indomaret. Saya, Natsir, dan dr. Nandin turun bersama pasien yang akan menjalani bedah minor dan khitan. Sisanya, pergi ke Cimerak untuk periksa mata dan operasi katarak, ditemani Jennifer dan Hatoy.
Saya diminta dr. Nandin untuk mendampingi pasien Kertamukti yang membutuhkan bedah minor. Menurut rekam medis, ada dua orang yaitu Muiz dan Pak Jumaddin. Sedangkan, yang saya temani ke dalam adalah Pak Jumaddin dan Pak Cino (kalau tidak salah namanya itu...), bapak pemilik rumah yang saya tinggali. Satu pasien lagi, yaitu Muiz beserta ibunya, malah masih 'tersangkut' di bus dan terbawa ke Cimerak... Akhirnya, saya dampingi dulu kedua pasien ini. Pertama, Pak Jumaddin memiliki benjolan di dahi. Setelah dipalpasi, dokter bedah yang mukanya mirip Iga Massardi mendiagnosis lipoma. Pak Jumaddin pun diminta menunggu giliran operasi sebanyak dua antrian. Giliran Pak Cino (ya anggap sajalah nama beliau itu) yang memiliki benjolan di leher (kira-kira di bagian tonsillar). Karena merupakan benjolan kelenjar getah bening yang belum diketahui penyebab perbesarannya, maka Pak Cino disarankan untuk ke rumah sakit agar melakukan biopsy. Beliau juga diminta membuat BPJS supaya tindakan yang diberikan bisa gratis. Setelah itu, kami bertiga keluar dari ruangan bedah minor.
Sambil menunggu, saya malah bertemu Uda (Rusyda) yang sepertinya jadi 'panitia infal' di desa ini. Padahal, dia dari Desa Mekarsari. Tugasnya sama, yaitu mengantarkan pasien dari desanya ke sini. Tapi, Uda malah jadi petugas administrasi untuk khitan. Setiap ada meja operasi yang kosong, dokter atau residen yang bertugas langung memanggil Uda dengan panggilan "Dek" atau bahkan "Dek koas" hahaha.
Area khitan sudah bagaikan tempat penyiksaan anak. Tangisan dan teriakan di mana-mana. Bukan dari anaknya saja, bahkan ada yang ibunya ikut menangis juga. Hal unik lain yang terdapat di khitanan massal ini adalah hadiah untuk anak yang sudah dikhitan. Selain goody bag berisi oreo, handuk, dan susu, mereka juga diberi kue tart! Di atas kue tart, ada figur laki-laki yang sedang duduk. Saya menerka filosofi dari figur ini adalah, kalau mereka sudah disunat, berarti mereka sudah menjadi laki-laki dewasa hahaha.
Sewaktu zuhur tiba, saya, Natsir, dan dr. Nandin sholat. Pak Jumaddin tiba-tiba menghilang. Saya jadi diminta dr. Nandin untuk mencari beliau. Sewaktu mencari, ibu dan anak yang terbawa ke Cimerak tadi datang juga, alhamdulillah :") Saya langsung mengantarkan mereka ke dalam dan memberikan rekam medis kepada residen yang sedang berjaga di sana. Alhamdulillah lagi, ternyata Pak Jumaddin sudah ada di dalam dan bahkan sudah di meja operasi! Setelah si Muiz (anak yang tadi terbawa ke Cimerak) naik ke meja operasi, saya keluar dan mencari jajanan.. Dan pilihan saya jatuh kepada sosis bakar, kesukaan saya hehehe.
"Hmm enak yaa ga ngajak-ngajak," muncul suara-suara dari arah belakang. Ternyata itu adalah Natsir dan dr. Nandin. Selesai sosis saya dibuat, kami ke indomaret sebelah untuk jajan. Saya beli minuman, oat choco, dan roti. "Digabung aja," kata dr. Nandin kepada kasir. Setelah dibayar, saya tanya ke dr. Nandin, "Yang punya saya tadi berapa, Dok?" Beliau menjawab, "Ah, ngga usah. Do'ain aja saya banyak rejekinya." Yaa Allah, baik pisan sih, Dok.. Mana saya jajannya banyak lagi... Semoga Allah membalas semua kebaikanmu, Dok :")
Kami bertiga lantas duduk-duduk di masjid, sambil menumpang mengisi ulang baterai handphone, duduk-duduk lucu, dan minum-minum enak (?) Dokter Nandin pun menyadari bahka Pak Jumaddin kembali menghilang... Saya keluar lagi, keliling mencari beliau, tapi tetap tidak ditemukan. Kami sempat berspekulasi kalau beliau sudah pulang duluan.. Saya malah bertemu Sofi dan Dimhar, kedua panitia penghuni Legokjawa. Saya diajak membantu mereka dalam mengambil konsumsi di rumah ibu PKK yang tidak jauh dari lokasi khitan dan bedah minor. Giliran saya yang menjadi panitia infal. Setelah itu, Sofi meminta saya menemaninya makan mie di suatu warung. Karena saya belum terlalu lapar, saya hanya pesan jus mangga.
Kami mulai banyak mengobrol dan berbagi tentang pengalaman di desa masing-masing. Berbeda dengan panitia lainnya, Sofi dan Dimhar diberi pinjaman motor oleh warga! Mereka mendapat motor Beat, tapi karena satu dan lain hal, motornya tidak bisa digunakan lagi, sehingga mereka diberi motor baru yaitu motor Vixion! Wah, mapan sekali ya :") Tapi, setidaknya jarak rumah warga dengan pusat desa tidak terlalu jauh dan masih bertetangga dekat, tidak seperti Kertamukti...
Setelah menunggu cukup lama (bahkan terlalu lama untuk sebuah mie rebus), akhirnya pesanan datang. Tapi, kok mienya ada dua...? Sambil berbisik, saya bertanya, "Sof, kamu pesen dua?" dan Sofi menyangkal. Ya, mungkin ibu-ibunya pikir yang makan dua orang karena kami datang berdua. Dari pada mubadzir dan berhubung saya juga belum makan siang, ya saya makan saja... Berarti ini kali kedua saya makan mie instan di hari yang sama :") Tidak lama kemudian, jus mangga saya datang. Lucunya, rasa mangganya agak bercampur dengan rasa alpukat sedikit.. Memang unik ya desa ini...
Tiba-tiba, di multichat panitia, Natsir bilang, "Guys, Dinda ilang. Ga balik-balik dari tukang mie. Mau ditinggal." Saya jelas kaget. Takutnya, para pasien Kertamukti yang mau pulang, malah harus menunggu saya. Padahal tadi Sofi sudah mengingatkan "Natsir, Dimhar, kalo mencari Dinda ada di tukang mie ya." Saya langsung kembali ke madrasah naik motor dengan Dimhar. Ternyata, para pasien Kertamukti sudah kembali naik bus. Yang tersisa hanya Natsir, dr. Nandin, dan saya. Saya pikir akan dimarahi, tapi dr. Nandin hanya berkata, "Ya udah ngga apa-apa. Saya pikir kamu ke mana." Malah Natsir yang meledeki saya hahaha. Kalau sama yang satu ini sih saya sudah sangat terbiasa~
Kegabutan entah part ke berapa, dimulai kembali. Mulai dari mengobrol dengan dr. Nandin, mengobrol dengan Devi yang diminta dokternya buat bantu proses khitan (sumpah enak pisan), Natsir yang sok-sokan belajar naik motor Vixion, ngobrolin topik skripsi saya yang kata Sofi, "Wah nanti kamu bisa ikut nyusun kurikulum PBL. Nanti jangan-jangan kamu bukannya tutorial malah sambil neliti skripsi," sampai Sofi dan Dimhar membagi-bagikan snack berlebih ke penduduk sekitar. Kegabutan akhirnya berakhir saat bus kami yang dari Cimerak datang. Kami pun pulang ke Kertamukti beserta Hatoy, Jennifer, dan pasien Kertamukti yang sudah diperiksa kesehatan matanya, termasuk satu orang yang dioperasi katarak. Ajaibnya, di bus kami ternyata ada colokan! Alhamdulillah saya bisa charge handphone untuk sementara waktu :")
Sesampainya di Kertamukti, kami ditambah dr. Hasan pindah ke mobil Avanza untuk mengantarkan Hatoy dan Jennifer ke rumah (warga) masing-masing. Ternyata, jarak rumah-rumah warga cukup jauh dan beberapa sangat jauh dari pusat desa. Jarak tiap rumah pun jauh-jauh. Belum lagi kadang kami harus melewati hutan. Ditambah lagi medannya yang tidak bersahabat: berbukit, berbatu, dan berlubang. Pokoknya, perjalanan kami cukup menegangkan, apalagi langit mulai gelap. Rasanya tidak sampai-sampai... Sewaktu melihat warung, saya malah bertanya, "Warung di sini siapa yang beli?" karena cukup jauh dari rumah-rumah lainnya. Belum lagi secara random tiba-tiba ada bau kambing.. Ketika saya berkomentar "bau kambing", dr. Nandin malah menimpali, "Enak aja, Din. Mentang-mentang belum pada mandi." Hahaha bukan begitu maksud saya, Dok :") Dan di saat itu, muka saya sepertinya sudah tampak lelah, sampai-sampai pak sopir berkata, "Udah ngantuk ya. Tadi mestinya ngga usah ikut, biar bisa mandi, bisa tidur." Dokter Nandin menjawab, "Ya dia mau ngikut ibunya." Hehehehe.
Selesai mengantar Hatoy dan Jennifer, terjadi sesi curhat oleh salah seorang perwakilan sopir kepada dr. Hasan dan dr. Nandin. Barulah setelah itu saya dan dr. Nandin kembali ke rumah untuk mandi. Rencana saya, malam ini saya hanya akan makan roti lalu tidur lebih cepat supaya besok bisa bangun pagi. Saya pun sudah memakai pakaian tidur dan sudah mulai merebahkan badan. Sedangkan dr. Nandin pergi bersama dr. Hasan dan perangkat-perangkat desa untuk makan malam di tempat pelelangan ikan. Tiba-tiba ada pesan Whatsapp masuk dari dr. Nandin. "Dinda, ganti baju. Temenin saya yaa. Temenin saya, ini cowo semua." Wah, saya langsung berganti celana, memakai kerudung, dan memakai jaket yang dipinjamkan oleh Teh Nisa (angin di luar berhembus kencang sekali). Dokter Nandin datang menjemput saya, kami pun berjalan ke basecamp.
Lagi-lagi, dr. Adi menangkap wajah lelah + datar saya.
dr. A: Dinda, semangat..
ASN: Saya masih kuat kok, Dok..
dr. A: Abisnya kalo saya perhatiin, muka kamu lesu terus.
ASN: Muka saya emang kayak gini, Dok, hehe.
dr. A: (Ngomong ke dr. Nandin) Tuh kan, setting-annya emang udah kayak gini. Di-upgrade dong...
Hahaha, ada-ada saja... Tapi, saya jadi sadar, kalau mungkin selama ini muka saya terlalu datar, sampai-sampai memberikan kesan jutek, sedang melamun, ataupun sedang lelah. Pernyataan dr. Adi bahkan sudah yang kedua kalinya, ditambah sebelumnya Kang Charles (akang koas yang sedesa dengan saya) dan Sofi sempat menyarankan, "Senyum, Dinda.." Iya deh, ke depannya saya upgrade settingan muka saya, Dok :")
Para laki-laki (dr. Hasan, dr. Adi, Natsir, dan para perangkat desa) pun mengecek lokasi ke tempat pelelangan ikan naik motor. Sementara itu, saya dan dr. Nandin duduk-duduk di kantor. Sambil menunggu, kami banyak mengobrol. Saya bertanya ke dr. Nandin, beliau dokter apa. Ternyata beliau adalah seorang klinisi yang sedang 'istirahat' dari dunia per-klinis-an dan bercita-cita mengambil spesialis obgyn untuk membuat para wanita secure. Saya juga menceritakan cita-cita spesialis saya (psikiatri) dan alternatif S2 psikologi kalau tidak jadi ambil spesialis. Beliau berkomentar, "Wah, luar biasa. Kamu sukanya yang otak-otak ya." Saya juga mengobrol tentang topik skripsi, begitu pun beliau yang dulu skripsinya lebih suka berurusan dengan mencit (tikus percobaan) daripada dengan manusia (misalnya kalau mengambil rekam medis). Beliau tiba-tiba berkata, "Saya heran. Kalau kata mahasiswa saya, saya galak." Mendengar hal itu, saya mencoba memberikan pendapat saya, "Ya kalau berdasarkan beberapa hari ini sih, nggak, Dok." Cukup banyak yang kami bicarakan sambil memakan kripik pisang asli Kertamukti, sampai-sampai beliau bilang, "Wah ini cowok-cowok lama juga ya. Kita keburu kenyang sama kripik pisang ini mah," hahaha. Akhirnya, kami dikabari untuk berangkat ke salah satu rumah kepala dusun untuk bakar-bakaran ikan di sana.
Singkatnya, sesampainya di rumah pak kadus yang dr. Nandin kira cukup jauh padahal cukup dekat, kami langsung menaruh tas dan duduk di suatu ruangan yang dipakai berjualan peralatan rumah tangga. Menanggapi anggapan dr. Nandin yang merasa rumah pak kadus cukup jauh, dr. Adi pun mengeluarkan teorinya, "Pada sebagian besar perempuan, built-in GPS-nya kurang berfungsi dengan baik." Saya langsung manggut-manggut sangat setuju, karena teori dr. Adi seolah menggambarkan diri saya yang tidak pernah hafal jalan. Lalu beliau menceritakan istrinya yang sering lupa tempat menaruh barang, dibalas oleh dr. Hasan yang bercerita kalau beliau sering lupa menaruh sepedanya selama di Jerman.
Ketika tempat pembakaran ikan siap, hampir semua dari kami berpindah tempat. Secara bergantian, dr. Adi, dr. Hasan, dr. Nandin, dan bapak-bapak yang lain mengipasi ikan-ikan yang berjejer rapi di atas bara api. Perut yang sudah sedemikian lapar dan kantuk yang sudah sedemikian menyergap membuat saya sulit berkonsentasi. Saya yang sudah pasrah dengan keadaan hanya duduk di atas buah kelapa yang kecil sambil memandangi kepulan asap yang seringkali membuat mata perih dan napas sesak. Selain ikan, 'datang' pula lobster-lobster yang sudah berubah oranye setelah direbus. Ternyata, saya, dr. Nandin, dan dr. Hasan sama-sama baru pertama kali makan lobster. Bahkan dr. Hasan mengaku baru kali ini mengetahui rupa lobster, setelah selama ini hanya mengenal namanya hahaha. Kali ini, dr. Hasan yang mengeluarkan teori, "Ciri-ciri makanan yang mengandung protein tinggi itu adalah yang kalau dipanaskan, warnanya berubah jadi oranye. (Contohnya) udang, lobster, kepiting."
Mulai lelah dan tidak kuat dengan asap, saya beralih ke suatu sofa di halaman depan. Menertawakan Natsir yang justru menaiki sepeda roda tiga untuk balita, dan malah bermain dengan kucing yang sedang hamil besar. Saya kembali duduk ke sofa dan mencoba tidur, tapi pak sopir Avanza yang super-ramah itu malah mengajak saya ngobrol. Beliau ternyata sering juga mengatar ke Jatinangor, bahkan sudah mengenal daerah kost-kost-an saya karena tidak jarang juga mengantarkan mahasiswa kedokteran.
Makanan pun siap sekitar jam sepuluh malam. Ikan bakar, lobster rebus, nasi merah yang diliwet, nasi putih, ditambah dua macam sambal dihidangkan di hadapan kami yang duduk melingkar. Salah seorang bapak-bapak mengingatkan, "Biasanya sebelum makan di-upload dulu." Saya dan dr. Adi lantas mengambil handphone dan mengambil gambar menu makan malam kami. Saya langsung mengirim ke chat grup panitia Supercamp untuk pamer hahaha. Setelah itu, baru kami mulai mengambil makanan. Berbeda dengan saya dan dr. Nandin yang hanya mengambil dengan porsi sedikit, para laki-laki menunjukkan fitrahnya dengan porsi makannya yang banyak.
Acara makan malam ini diwarnai oleh tutorial memakan lobster, yang bagi saya cukup rumit, melelahkan, dan kalau tidak hati-hati dapat melukai tangan akibat ada bagian cangkakng yang tajam. Kucing-kucing yang sejak awal sudah mendeteksi keberadaan ikan pun berdatangan dan mengeong memelas meminta makan. Melihat kucing-kucing tersebut, dr. Adi justru bernostalgia dengan masa kecilnya. Beliau pernah memelihara kucing yang kemudian hamil dan punya enam anak. Karena ibunya tidak mau memelihara semua, dibuanglah lima anak kucing beserta induknya. Tersisa satu anak kucing yang menjadi 'manja'. Pernah sewaktu ada tikus di kamar rumah beliau, si kucing dimasukkan dan diharapkan akan mengejar (dan bahkan melumpuhkan) tikus tersebut. Begitu dimasukkan, suara ribut langsung terdengar. Saat pintu dibuka, beliau kaget karena justru si kucing yang lari terbirit-birit hahaha. "Ya dia (si kucing) nggak ada yang ngelatih sih," sahut dr. Hasan. "Ya yang ngerawat juga anak kecil.." jawab dr. Adi membela diri. Dokter Hasan kembali menimpali, "Coba kalo ada ibunya. Pasti diajarin. 'Nak, itu namanya tikus. Begini loh, cara ngejernya.'" Kami pun dari tadi tertawa mendengar pembicaraan yang akan jarang terdengar dari para dosen kalau sudah mengajar di dalam kelas nanti :"D
Di saat saya dan dr. Nandin sudah selesai makan, dr. Adi dan dr. Hasan masih lanjut. Natsir menyuruh saya makan lagi, katanya, "Udah, Din. Nggak usah malu-malu." Dasar, padahal tadi siang sewaktu saja jajan sosis bakar, dia yang menyuruh saya untuk "ingat perut"-_- Setelah itu, makanan akan dibungkus untuk bapak-bapak pegawai FK yang sedang mengangkut logistik di Kertamukti. "Biasanya yang ibu-ibu lebih ahli (dalam hal bungkus-membungkus)," teori dr. Hasan. Saya membela diri, "Saya belum ibu-ibu, Dok." Natsir justru menjawab, "Sebentar lagi, Din. Satu tahun lagi." Astaghfirullah....-_- Akhirnya saya dan dr. Nandin yang membungkus ikan dan nasi merah ke dalam kantung-kantung plastik.
Sekitar jam sebelas, kami naik mobil dan kembali ke pusat desa. Saya dan dr. Nandin pulang ke rumah. Ternyata sudah dikunci. Kami sampai harus mengetok pintu sampai sang pemilik rumah terbangun. Duh, maaf merepotkan ya, Bu... Lalu kami masuk. Teh Isma dan Teh Nisa sudah tidur juga, kemudian disusul dr. Nandin yang tidur duluan. Saya baru bisa tidur jam dua belas lewat, dengan menyetel alarm jam empat pagi esok hari.
Saat melihat indomaret, saya langsung dapat memastikan kalau kami sudah sampai di Legokjawa (desa satu-satunya yang memiliki indomaret). Dan benar. Madrasah tempat berlangsungnya bedah minor dan khitan ada di sebelah indomaret. Saya, Natsir, dan dr. Nandin turun bersama pasien yang akan menjalani bedah minor dan khitan. Sisanya, pergi ke Cimerak untuk periksa mata dan operasi katarak, ditemani Jennifer dan Hatoy.
Saya diminta dr. Nandin untuk mendampingi pasien Kertamukti yang membutuhkan bedah minor. Menurut rekam medis, ada dua orang yaitu Muiz dan Pak Jumaddin. Sedangkan, yang saya temani ke dalam adalah Pak Jumaddin dan Pak Cino (kalau tidak salah namanya itu...), bapak pemilik rumah yang saya tinggali. Satu pasien lagi, yaitu Muiz beserta ibunya, malah masih 'tersangkut' di bus dan terbawa ke Cimerak... Akhirnya, saya dampingi dulu kedua pasien ini. Pertama, Pak Jumaddin memiliki benjolan di dahi. Setelah dipalpasi, dokter bedah yang mukanya mirip Iga Massardi mendiagnosis lipoma. Pak Jumaddin pun diminta menunggu giliran operasi sebanyak dua antrian. Giliran Pak Cino (ya anggap sajalah nama beliau itu) yang memiliki benjolan di leher (kira-kira di bagian tonsillar). Karena merupakan benjolan kelenjar getah bening yang belum diketahui penyebab perbesarannya, maka Pak Cino disarankan untuk ke rumah sakit agar melakukan biopsy. Beliau juga diminta membuat BPJS supaya tindakan yang diberikan bisa gratis. Setelah itu, kami bertiga keluar dari ruangan bedah minor.
Sambil menunggu, saya malah bertemu Uda (Rusyda) yang sepertinya jadi 'panitia infal' di desa ini. Padahal, dia dari Desa Mekarsari. Tugasnya sama, yaitu mengantarkan pasien dari desanya ke sini. Tapi, Uda malah jadi petugas administrasi untuk khitan. Setiap ada meja operasi yang kosong, dokter atau residen yang bertugas langung memanggil Uda dengan panggilan "Dek" atau bahkan "Dek koas" hahaha.
Area khitan sudah bagaikan tempat penyiksaan anak. Tangisan dan teriakan di mana-mana. Bukan dari anaknya saja, bahkan ada yang ibunya ikut menangis juga. Hal unik lain yang terdapat di khitanan massal ini adalah hadiah untuk anak yang sudah dikhitan. Selain goody bag berisi oreo, handuk, dan susu, mereka juga diberi kue tart! Di atas kue tart, ada figur laki-laki yang sedang duduk. Saya menerka filosofi dari figur ini adalah, kalau mereka sudah disunat, berarti mereka sudah menjadi laki-laki dewasa hahaha.
Sewaktu zuhur tiba, saya, Natsir, dan dr. Nandin sholat. Pak Jumaddin tiba-tiba menghilang. Saya jadi diminta dr. Nandin untuk mencari beliau. Sewaktu mencari, ibu dan anak yang terbawa ke Cimerak tadi datang juga, alhamdulillah :") Saya langsung mengantarkan mereka ke dalam dan memberikan rekam medis kepada residen yang sedang berjaga di sana. Alhamdulillah lagi, ternyata Pak Jumaddin sudah ada di dalam dan bahkan sudah di meja operasi! Setelah si Muiz (anak yang tadi terbawa ke Cimerak) naik ke meja operasi, saya keluar dan mencari jajanan.. Dan pilihan saya jatuh kepada sosis bakar, kesukaan saya hehehe.
"Hmm enak yaa ga ngajak-ngajak," muncul suara-suara dari arah belakang. Ternyata itu adalah Natsir dan dr. Nandin. Selesai sosis saya dibuat, kami ke indomaret sebelah untuk jajan. Saya beli minuman, oat choco, dan roti. "Digabung aja," kata dr. Nandin kepada kasir. Setelah dibayar, saya tanya ke dr. Nandin, "Yang punya saya tadi berapa, Dok?" Beliau menjawab, "Ah, ngga usah. Do'ain aja saya banyak rejekinya." Yaa Allah, baik pisan sih, Dok.. Mana saya jajannya banyak lagi... Semoga Allah membalas semua kebaikanmu, Dok :")
Kami bertiga lantas duduk-duduk di masjid, sambil menumpang mengisi ulang baterai handphone, duduk-duduk lucu, dan minum-minum enak (?) Dokter Nandin pun menyadari bahka Pak Jumaddin kembali menghilang... Saya keluar lagi, keliling mencari beliau, tapi tetap tidak ditemukan. Kami sempat berspekulasi kalau beliau sudah pulang duluan.. Saya malah bertemu Sofi dan Dimhar, kedua panitia penghuni Legokjawa. Saya diajak membantu mereka dalam mengambil konsumsi di rumah ibu PKK yang tidak jauh dari lokasi khitan dan bedah minor. Giliran saya yang menjadi panitia infal. Setelah itu, Sofi meminta saya menemaninya makan mie di suatu warung. Karena saya belum terlalu lapar, saya hanya pesan jus mangga.
Kami mulai banyak mengobrol dan berbagi tentang pengalaman di desa masing-masing. Berbeda dengan panitia lainnya, Sofi dan Dimhar diberi pinjaman motor oleh warga! Mereka mendapat motor Beat, tapi karena satu dan lain hal, motornya tidak bisa digunakan lagi, sehingga mereka diberi motor baru yaitu motor Vixion! Wah, mapan sekali ya :") Tapi, setidaknya jarak rumah warga dengan pusat desa tidak terlalu jauh dan masih bertetangga dekat, tidak seperti Kertamukti...
Setelah menunggu cukup lama (bahkan terlalu lama untuk sebuah mie rebus), akhirnya pesanan datang. Tapi, kok mienya ada dua...? Sambil berbisik, saya bertanya, "Sof, kamu pesen dua?" dan Sofi menyangkal. Ya, mungkin ibu-ibunya pikir yang makan dua orang karena kami datang berdua. Dari pada mubadzir dan berhubung saya juga belum makan siang, ya saya makan saja... Berarti ini kali kedua saya makan mie instan di hari yang sama :") Tidak lama kemudian, jus mangga saya datang. Lucunya, rasa mangganya agak bercampur dengan rasa alpukat sedikit.. Memang unik ya desa ini...
Tiba-tiba, di multichat panitia, Natsir bilang, "Guys, Dinda ilang. Ga balik-balik dari tukang mie. Mau ditinggal." Saya jelas kaget. Takutnya, para pasien Kertamukti yang mau pulang, malah harus menunggu saya. Padahal tadi Sofi sudah mengingatkan "Natsir, Dimhar, kalo mencari Dinda ada di tukang mie ya." Saya langsung kembali ke madrasah naik motor dengan Dimhar. Ternyata, para pasien Kertamukti sudah kembali naik bus. Yang tersisa hanya Natsir, dr. Nandin, dan saya. Saya pikir akan dimarahi, tapi dr. Nandin hanya berkata, "Ya udah ngga apa-apa. Saya pikir kamu ke mana." Malah Natsir yang meledeki saya hahaha. Kalau sama yang satu ini sih saya sudah sangat terbiasa~
Kegabutan entah part ke berapa, dimulai kembali. Mulai dari mengobrol dengan dr. Nandin, mengobrol dengan Devi yang diminta dokternya buat bantu proses khitan (sumpah enak pisan), Natsir yang sok-sokan belajar naik motor Vixion, ngobrolin topik skripsi saya yang kata Sofi, "Wah nanti kamu bisa ikut nyusun kurikulum PBL. Nanti jangan-jangan kamu bukannya tutorial malah sambil neliti skripsi," sampai Sofi dan Dimhar membagi-bagikan snack berlebih ke penduduk sekitar. Kegabutan akhirnya berakhir saat bus kami yang dari Cimerak datang. Kami pun pulang ke Kertamukti beserta Hatoy, Jennifer, dan pasien Kertamukti yang sudah diperiksa kesehatan matanya, termasuk satu orang yang dioperasi katarak. Ajaibnya, di bus kami ternyata ada colokan! Alhamdulillah saya bisa charge handphone untuk sementara waktu :")
Sesampainya di Kertamukti, kami ditambah dr. Hasan pindah ke mobil Avanza untuk mengantarkan Hatoy dan Jennifer ke rumah (warga) masing-masing. Ternyata, jarak rumah-rumah warga cukup jauh dan beberapa sangat jauh dari pusat desa. Jarak tiap rumah pun jauh-jauh. Belum lagi kadang kami harus melewati hutan. Ditambah lagi medannya yang tidak bersahabat: berbukit, berbatu, dan berlubang. Pokoknya, perjalanan kami cukup menegangkan, apalagi langit mulai gelap. Rasanya tidak sampai-sampai... Sewaktu melihat warung, saya malah bertanya, "Warung di sini siapa yang beli?" karena cukup jauh dari rumah-rumah lainnya. Belum lagi secara random tiba-tiba ada bau kambing.. Ketika saya berkomentar "bau kambing", dr. Nandin malah menimpali, "Enak aja, Din. Mentang-mentang belum pada mandi." Hahaha bukan begitu maksud saya, Dok :") Dan di saat itu, muka saya sepertinya sudah tampak lelah, sampai-sampai pak sopir berkata, "Udah ngantuk ya. Tadi mestinya ngga usah ikut, biar bisa mandi, bisa tidur." Dokter Nandin menjawab, "Ya dia mau ngikut ibunya." Hehehehe.
Selesai mengantar Hatoy dan Jennifer, terjadi sesi curhat oleh salah seorang perwakilan sopir kepada dr. Hasan dan dr. Nandin. Barulah setelah itu saya dan dr. Nandin kembali ke rumah untuk mandi. Rencana saya, malam ini saya hanya akan makan roti lalu tidur lebih cepat supaya besok bisa bangun pagi. Saya pun sudah memakai pakaian tidur dan sudah mulai merebahkan badan. Sedangkan dr. Nandin pergi bersama dr. Hasan dan perangkat-perangkat desa untuk makan malam di tempat pelelangan ikan. Tiba-tiba ada pesan Whatsapp masuk dari dr. Nandin. "Dinda, ganti baju. Temenin saya yaa. Temenin saya, ini cowo semua." Wah, saya langsung berganti celana, memakai kerudung, dan memakai jaket yang dipinjamkan oleh Teh Nisa (angin di luar berhembus kencang sekali). Dokter Nandin datang menjemput saya, kami pun berjalan ke basecamp.
Lagi-lagi, dr. Adi menangkap wajah lelah + datar saya.
dr. A: Dinda, semangat..
ASN: Saya masih kuat kok, Dok..
dr. A: Abisnya kalo saya perhatiin, muka kamu lesu terus.
ASN: Muka saya emang kayak gini, Dok, hehe.
dr. A: (Ngomong ke dr. Nandin) Tuh kan, setting-annya emang udah kayak gini. Di-upgrade dong...
Hahaha, ada-ada saja... Tapi, saya jadi sadar, kalau mungkin selama ini muka saya terlalu datar, sampai-sampai memberikan kesan jutek, sedang melamun, ataupun sedang lelah. Pernyataan dr. Adi bahkan sudah yang kedua kalinya, ditambah sebelumnya Kang Charles (akang koas yang sedesa dengan saya) dan Sofi sempat menyarankan, "Senyum, Dinda.." Iya deh, ke depannya saya upgrade settingan muka saya, Dok :")
Para laki-laki (dr. Hasan, dr. Adi, Natsir, dan para perangkat desa) pun mengecek lokasi ke tempat pelelangan ikan naik motor. Sementara itu, saya dan dr. Nandin duduk-duduk di kantor. Sambil menunggu, kami banyak mengobrol. Saya bertanya ke dr. Nandin, beliau dokter apa. Ternyata beliau adalah seorang klinisi yang sedang 'istirahat' dari dunia per-klinis-an dan bercita-cita mengambil spesialis obgyn untuk membuat para wanita secure. Saya juga menceritakan cita-cita spesialis saya (psikiatri) dan alternatif S2 psikologi kalau tidak jadi ambil spesialis. Beliau berkomentar, "Wah, luar biasa. Kamu sukanya yang otak-otak ya." Saya juga mengobrol tentang topik skripsi, begitu pun beliau yang dulu skripsinya lebih suka berurusan dengan mencit (tikus percobaan) daripada dengan manusia (misalnya kalau mengambil rekam medis). Beliau tiba-tiba berkata, "Saya heran. Kalau kata mahasiswa saya, saya galak." Mendengar hal itu, saya mencoba memberikan pendapat saya, "Ya kalau berdasarkan beberapa hari ini sih, nggak, Dok." Cukup banyak yang kami bicarakan sambil memakan kripik pisang asli Kertamukti, sampai-sampai beliau bilang, "Wah ini cowok-cowok lama juga ya. Kita keburu kenyang sama kripik pisang ini mah," hahaha. Akhirnya, kami dikabari untuk berangkat ke salah satu rumah kepala dusun untuk bakar-bakaran ikan di sana.
Singkatnya, sesampainya di rumah pak kadus yang dr. Nandin kira cukup jauh padahal cukup dekat, kami langsung menaruh tas dan duduk di suatu ruangan yang dipakai berjualan peralatan rumah tangga. Menanggapi anggapan dr. Nandin yang merasa rumah pak kadus cukup jauh, dr. Adi pun mengeluarkan teorinya, "Pada sebagian besar perempuan, built-in GPS-nya kurang berfungsi dengan baik." Saya langsung manggut-manggut sangat setuju, karena teori dr. Adi seolah menggambarkan diri saya yang tidak pernah hafal jalan. Lalu beliau menceritakan istrinya yang sering lupa tempat menaruh barang, dibalas oleh dr. Hasan yang bercerita kalau beliau sering lupa menaruh sepedanya selama di Jerman.
Ketika tempat pembakaran ikan siap, hampir semua dari kami berpindah tempat. Secara bergantian, dr. Adi, dr. Hasan, dr. Nandin, dan bapak-bapak yang lain mengipasi ikan-ikan yang berjejer rapi di atas bara api. Perut yang sudah sedemikian lapar dan kantuk yang sudah sedemikian menyergap membuat saya sulit berkonsentasi. Saya yang sudah pasrah dengan keadaan hanya duduk di atas buah kelapa yang kecil sambil memandangi kepulan asap yang seringkali membuat mata perih dan napas sesak. Selain ikan, 'datang' pula lobster-lobster yang sudah berubah oranye setelah direbus. Ternyata, saya, dr. Nandin, dan dr. Hasan sama-sama baru pertama kali makan lobster. Bahkan dr. Hasan mengaku baru kali ini mengetahui rupa lobster, setelah selama ini hanya mengenal namanya hahaha. Kali ini, dr. Hasan yang mengeluarkan teori, "Ciri-ciri makanan yang mengandung protein tinggi itu adalah yang kalau dipanaskan, warnanya berubah jadi oranye. (Contohnya) udang, lobster, kepiting."
Mulai lelah dan tidak kuat dengan asap, saya beralih ke suatu sofa di halaman depan. Menertawakan Natsir yang justru menaiki sepeda roda tiga untuk balita, dan malah bermain dengan kucing yang sedang hamil besar. Saya kembali duduk ke sofa dan mencoba tidur, tapi pak sopir Avanza yang super-ramah itu malah mengajak saya ngobrol. Beliau ternyata sering juga mengatar ke Jatinangor, bahkan sudah mengenal daerah kost-kost-an saya karena tidak jarang juga mengantarkan mahasiswa kedokteran.
Makanan pun siap sekitar jam sepuluh malam. Ikan bakar, lobster rebus, nasi merah yang diliwet, nasi putih, ditambah dua macam sambal dihidangkan di hadapan kami yang duduk melingkar. Salah seorang bapak-bapak mengingatkan, "Biasanya sebelum makan di-upload dulu." Saya dan dr. Adi lantas mengambil handphone dan mengambil gambar menu makan malam kami. Saya langsung mengirim ke chat grup panitia Supercamp untuk pamer hahaha. Setelah itu, baru kami mulai mengambil makanan. Berbeda dengan saya dan dr. Nandin yang hanya mengambil dengan porsi sedikit, para laki-laki menunjukkan fitrahnya dengan porsi makannya yang banyak.
Acara makan malam ini diwarnai oleh tutorial memakan lobster, yang bagi saya cukup rumit, melelahkan, dan kalau tidak hati-hati dapat melukai tangan akibat ada bagian cangkakng yang tajam. Kucing-kucing yang sejak awal sudah mendeteksi keberadaan ikan pun berdatangan dan mengeong memelas meminta makan. Melihat kucing-kucing tersebut, dr. Adi justru bernostalgia dengan masa kecilnya. Beliau pernah memelihara kucing yang kemudian hamil dan punya enam anak. Karena ibunya tidak mau memelihara semua, dibuanglah lima anak kucing beserta induknya. Tersisa satu anak kucing yang menjadi 'manja'. Pernah sewaktu ada tikus di kamar rumah beliau, si kucing dimasukkan dan diharapkan akan mengejar (dan bahkan melumpuhkan) tikus tersebut. Begitu dimasukkan, suara ribut langsung terdengar. Saat pintu dibuka, beliau kaget karena justru si kucing yang lari terbirit-birit hahaha. "Ya dia (si kucing) nggak ada yang ngelatih sih," sahut dr. Hasan. "Ya yang ngerawat juga anak kecil.." jawab dr. Adi membela diri. Dokter Hasan kembali menimpali, "Coba kalo ada ibunya. Pasti diajarin. 'Nak, itu namanya tikus. Begini loh, cara ngejernya.'" Kami pun dari tadi tertawa mendengar pembicaraan yang akan jarang terdengar dari para dosen kalau sudah mengajar di dalam kelas nanti :"D
Di saat saya dan dr. Nandin sudah selesai makan, dr. Adi dan dr. Hasan masih lanjut. Natsir menyuruh saya makan lagi, katanya, "Udah, Din. Nggak usah malu-malu." Dasar, padahal tadi siang sewaktu saja jajan sosis bakar, dia yang menyuruh saya untuk "ingat perut"-_- Setelah itu, makanan akan dibungkus untuk bapak-bapak pegawai FK yang sedang mengangkut logistik di Kertamukti. "Biasanya yang ibu-ibu lebih ahli (dalam hal bungkus-membungkus)," teori dr. Hasan. Saya membela diri, "Saya belum ibu-ibu, Dok." Natsir justru menjawab, "Sebentar lagi, Din. Satu tahun lagi." Astaghfirullah....-_- Akhirnya saya dan dr. Nandin yang membungkus ikan dan nasi merah ke dalam kantung-kantung plastik.
Sekitar jam sebelas, kami naik mobil dan kembali ke pusat desa. Saya dan dr. Nandin pulang ke rumah. Ternyata sudah dikunci. Kami sampai harus mengetok pintu sampai sang pemilik rumah terbangun. Duh, maaf merepotkan ya, Bu... Lalu kami masuk. Teh Isma dan Teh Nisa sudah tidur juga, kemudian disusul dr. Nandin yang tidur duluan. Saya baru bisa tidur jam dua belas lewat, dengan menyetel alarm jam empat pagi esok hari.
Comments
Post a Comment