Kontradiksi
Setelah dua tahun menimba ilmu kedokteran dan ilmu kehidupan (sepertinya ilmu kehidupan jauh lebih dominan), saya ingin sedikit menyimpulkan dua hal penting yang saya dapat. Dua hal yang bertolak-belakang. Pertama, gagal merencanakan berarti merencanakan kegagalan. Kedua, jangan terlalu banyak berpikir dan berencana.
Saya bukan seorang perencana yang baik. Cenderung bergerak tanpa arah. Menganut paham “bagaimana nanti” dan “let it flow”. Tidak suka membuat tujuan dengan detail, dan menjabarkan langkah-langkah sistematis untuk mencapai tujuan tersebut. Kadang, berperilaku dengan sifat seperti ini tidak menimbulkan masalah, toh saya seringkali nyaman dengan melakukannya. Namun, ada beberapa hal dalam hidup yang benar-benar harus direncanakan dengan matang. Minimal, punya tujuan kuat yang menjadikannya kerangka acuan perbuatan kita. Misalnya, ketika saya menjadi ketua divisi di suatu organisasi. Tentu saja, para staf saya akan menunggu instruksi dari saya, ataupun menunggu saya mengajak mereka berdiskusi bersama tentang apa yang harus kami lakukan untuk mencapai tujuan kami. Ketika sejak awal tidak memiliki tujuan pasti, maka kehilangan arah dapat terjadi kapan saja. Apalagi, jika suasana hati dan lingkungan eksternal sedang tidak mendukung. Suatu divisi atau organisasi bisa kacau dan tak terurus akibat pemimpinnya yang tidak bisa mengarahkan stafnya. Wong pemimpinnya sendiri saja sudah hilang arah, apalagi stafnya! Alhasil, suatu divisi/organisasi tersebut justru jalan di tempat, atau berjalan ke arah yang salah. Kalau sudah terjadi seperti itu, cepatlah bangkit! Selalu masih ada kesempatan untuk yang mau berusaha memperbaiki keadaan.
Kemudian saya akan menyebutkan sifat lain saya, yang justru sangat kontradiktif dengan paragraf sebelumnya. Saya seringkali memikirkan rencana masa depan. Ketika akan membuat keputusan di antara dua pilihan, saya bisa sampai membuat dengan detail plus minus kedua pilihan tersebut, bahkan sampai meminta pendapat dari para senior ataupun teman-teman yang saya rasa lebih bijak. Dengan perencanaan sebaik itu dan pertimbangan yang matang, harusnya proses eksekusinya bisa jauh lebih baik. Namun, pada akhirnya, saya justru tidak melakukan satu pun dari yang pernah saya rencanakan. Entah karena saya terlalu excited di awal, atau mungkin saya yang terlanjur jenuh pada akhirnya. Ironis.
Pernah suatu ketika, saya mengalami kegagalan. Akibat dari gagal merencanakan. Setelah itu, saya justru terlalu banyak memikirkan kegagalan saya, seolah mengasihani dan menyalahkan diri sendiri terus-menerus. Berminggu-minggu, hingga berbulan-bulan lamanya. Sampai akhir saya menceritakan semua yang saya alami kepada seorang senior, yang dulu merupakan atasan saya di organisasi yang sama. Beliau pun menuntun saya untuk merencanakan sendiri apa saja yang harus saya lakukan selanjutnya. Namun, ketika tugas-tugas mulai berdatangan, saya lupakan rencana-rencana tersebut. Saya teringat nasehat seorang teman, “Just do it”. Dan, ya, saya langsung lakukan saja. Saya kerjakan apa yang harus dikerjakan. Tanpa terlalu banyak merenungi kegagalan yang lalu, apalagi memikirkan respon orang lain. Lakukan saja. Lakukan terus. Daripada tidak sama sekali, seperti sebelum-sebelumnya. Akhirnya pun, semua bisa berjalan dengan cukup baik. Alhamdulillah.
Begitulah yang bisa saya sampaikan. Kadang, ada beberapa hal dalam hidup ini yang harus direncanakan dengan matang. Kadang, ada juga hal yang tidak perlu terlalu dipikirkan atau terlalu direncanakan. Karena, ketika kita sudah berani memulai melakukan sesuatu, dengan sendirinya kita akan melibatkan proses berpikir di dalam setiap pengambilan keputusan dan langkah-langkah yang kita ambil.
Adinda Syarifah Noor
Comments
Post a Comment