SUPERCAMP #2: Inspirasi dari Musholla Desa

Kamis, 11 Agustus 2016. Pagi ini kami bangun subuh, sholat, mandi, dan bersiap-siap. Instruksinya adalah sarapan jam 6 dan berangkat jam 7 ke desa masing-masing. Kami pun sudah siap sekitar jam 6 lewat dan turun ke bawah. Tapi, bapak-bapak pegawai FK yang akan berangkat dengan kami justru belum siap. Begitupun dr. Adi belum terlihat. Alhasil, beberapa dari kami, khususnya yang laki-laki pergi ke pantai dulu. Sisanya kami menunggu sampai sarapan siap dan makan terlebih dahulu. Makanannya adalah makanan standar sarapan hotel: nasi goreng. Selesai makan, barulah kami main ke pantai yang lokasinya dekat pisan dari bungalow kami. Kami menyusup di antara perahu-perahu yang bersandar di tepi pantai, dan mulai menikmati keindahan ciptaan Allah SWT ini...

Seperti biasa, kami langsung bergegas mengambil foto atau video untuk mendokumentasikan deburan ombak yang saling bersahut-sahutan sekaligus untuk pamer ke panitia yang belum berangkat. Setelah puas mendokumentasikan, saya justru mengejar-ngejar kepiting kecil yang jalannya cepat banget hahaha sumpah kurang kerjaan pisan. Tapi, berlama-lama di pantai justru membuat kami pusing karena matahari begitu terik ditambah dengan pantulan sinarnya ke laut yang semakin menambah teriknya. Kami pun kembali ke bungalow, menumpang sebentar di kamar Azizah dan Sakina, lalu bersiap untuk berangkat.

Sebelum ke desa masing-masing, kami berhenti dulu di Masjid Cimerak untuk memindahkan barang-barang logistik dan untuk jajan di indomaret/alfamart. Karena kata dr. Adi, ini adalah kesempatan terakhir untuk jajan di minimarket, berhubung di desa-desa nanti tampaknya akan jauh dari 'peradaban'... Sebelumnya, saya dan Harisnan ke counter pulsa untuk beli kartu perdana Simpati, khawatir akan kehilangan sinyal saat di desa. Saat mau membeli, kami malah sibuk browsing tentang paket internet Simpati dulu hahaha. Barulah setelah itu kami beli dan jajan di indomaret.

Handphone saya pun kembali bergetar dan berbunyi menandakan ada Whatsapp masuk. "Assalamu'alaykum. Apa kabar kertamukti?" Ternyata dr. Hasan. FYI, Kertamukti adalah nama desa saya dan dr. Hasan adalah koordinator desanya. Saya balas pesan tersebut, "Wa'alaikumussalam, Dok. Saya dan rombongan masih di masjid cimerak, masih memindahkan logistik, Dok." Dibalas lagi oleh beliau, "Mangga. Saya masih di tol."

Selama menunggu pemindahan barang, kami berkenalan dengan "bapak saya" masing-masing (baca: bapak-bapak pegawai FK yang sedesa dengan kami). Awalnya saya bertanya kepada bapak-bapak lain, "Pak Beben yang mana ya, Pak?" Lalu, saya dibilang kalau mau bicara dengan Pak Beben harus agak lebih keras, bahkan kalau perlu harus menepuk punggungnya. Beliau pendengarannya kurang, katanya. Dan yang bilang begitu bukan cuma satu orang, melainkan tiga orang sekaligus. Saya jadi hampir percaya, tapi saya mau coba buktikan sendiri, memanggil beliau dengan volume suara normal terlebih dahulu. Setelah saya panggil, ternyata Pak Beben langsung menoleh! Saya bingung dan merasa agak dikerjai, apalagi bapak-bapak itu semakin meledek Pak Beben. Beliau hanya berkata, "Emangnya saya bolot!" hahaha kenapa bapak-bapak ini lucu banget :")

Sesekali, kami membantu estafet kardus-kardus dari satu truk ke truk lainnya, ataupun hanya menonton dan bahkan karaokean di bus (ini mah saya). Setelah beres, kami langsung pindah ke bus yang searah, atau bahkan naik truk seperti Azizah dan Elsa hahaha. Saya pindah ke bus yang satunya lagi bersama Pak Beben.

Di perjalanan, satu-persatu kami diturunkan bersama dengan bapak pegawai FK yang sedesa dan juga barang logistik. Pak Beben agak kebingungan karena Pak Tatang (pegawai FK yang juga bertugas di Kertamukti) malah ke desa lain dulu. Bapak pegawai lain ada yang bilang begini (setelah diterjemahkan dan disesuaikan), "Kan ada panitia mahasiswanya." Pak Beben menjawab, "Tapi cewek..." Mungkin maksud beliau, karena saya perempuan, pasti tidak mungkin disuruh memindahkan logistik yang berat-berat itu. Eh, malah dibalas lagi, "Enak dong. Bisa curhat-curhatan." HAHAHA NAON ATUH PAK :")

Sepanjang perjalanan, saya melihat pantai di sisi kiri jalan begitu dekat... Tidak lama, bus kami belok kanan, agak naik sedikit (jalannya), dan sampailah saya di Desa Kertamukti. Alhamdulillah, ternyata desa saya dekat pantai :") Padahal, awalnya sewaktu saya liat di peta, agak jauh. Saya langsung kasih tahu Kang Surya (peserta koas di Desa Kertamukti) yang sebelumya bertanya di Path saya apakah Kertamukti dekat pantai atau tidak hehehe.

Bus diparkirkan, Nandini dan Sholah dipindahkan ke truk terbuka untuk mobilisasi ke desa mereka, barang diturunkan, dan saya yang tadinya berniat membantu malah disuruh untuk menghitung jumlah kardus yang diturunkan. Mulai dari kardus popmie, energen, obat, sampai kipas angin. Setelah itu, mulai terjadi kegabutan. Saya hanya berdiri tidak jelas sambil memandangi sekitar saya. Mulai dari kantor desa, kuli bangunan yang memindahkan pasir-pasir ke truk, kuli bangunan yang sedang membangun sebuah rumah, sampai lapangan luas yang nantinya akan dipakai untuk acara pembukaan Supercamp di hari Sabtu. Oleh sang bapak sopir bus, saya disuruh duduk saja di bus. Ya sudah. Saya duduk di sana, tapi lama-lama justru panas dan pengap. Akhirnya saya turun dan duduk di bawah pohon, di sebelah Pak Beben. Tiba-tiba, ada seorang nenek-nenek yang kira-kira usianya sudah lebih dari delapan puluh tahun, duduk di sebelah saya. Beliau mengajak berkenalan dan mengobrol. Waduh, saya langsung bingung menanggapinya karena beliau bicara 100% bahasa Sunda. Saya mah iya-iya aja... Karena Pak Beben tau saya nggak bisa bahasa Sunda, sedikit-sedikit Pak Beben menerjemahkan atau membantu menjawab. Dari raut wajahnya, sang nenek tampak senang dengan kedatangan kami. Ya, semoga saja kami bisa bermanfaat ya, nek :)

Dari arah kantor desa, ada seorang bapak-bapak yang menyuruh saya masuk ke dalam kantor kepala desa. Di dalamnya ada sofa dan meja, peta Jawa Barat, meja kerja pak kades, dan plastik besar berisi kotak makanan. Saya dipersilakan makan oleh bapak tersebut, begitu juga Pak Beben. Alhamdulillah, makanannya cukup melimpah, mulai dari nasi, ayam, tempe, sayur, lalapan, kerupuk, air mineral, sampai jeruk. Saya makan ditemani oleh Pak Beben yang duduk di sofa depan saya. Kata Pak Beben, "Biar (saya) nggak sendirian." Duh, Pak Beben perhatian sekali <3 hahaha. Tidak lama, ternyata pak kadesnya masuk ke dalam dan kami berkenalan. Namanya Pak Asep Purnama. Mirip dengan nama teman saya, Asep Aziz Purnama hehehe.

Selesai makan, saya ke kamar mandi di kantor desa. Ajaibnya, satu-satunya cara untuk menutup pintu kamar mandinya adalah dengan mengganjalnya dengan dua buah batu bata yang berat... Selanjutnya, saya sholat zuhur di musholla dekat kamar mandi. Kebetulan, ada sandal yang menganggur. Saya pakai aja buat wudhu. Eh, sewaktu balik, ternyata ditungguin sama pemilik sandalnya, ibu-ibu pegawai kantor desa hahaha.

Di musholla, ada anak kecil yang tampak bingung dengan kehadiran saya. Saya ditatapnya terus-menerus... Tapi saya tidak peduli. Saya lanjutkan saja sholat saya hahaha. Selesai sholat, melihat ada kabel terminal di dekat tempat sholat imam, saya langsung mencoba menancapkan charger saya ke sana, berhubung handphone saya sudah mati. Sayangnya, charger saya tidak mau menyala... Akhirnya saya pasrah dengan kondisi matinya handphone saya...

Saya kembali ke kantor kordes. Di dalam, ada dr. Adi yang sedang sibuk menelpon sana-sini untuk mengurusi permasalahan logistik yang rumit (FYI, beliau ketua tim logistik). Lalu terjadilah kondisi awkward di mana saya bingung harus berbuat apa karena tidak ada handphone yang bisa dimainkan, sedangkan dr. Adi juga tidak mengajak saya bicara. Barulah beliau memberi tahu saya kalau di desa ini mati lampu. Pantas saja, listrik di musholla tadi juga mati...

Kebosanan mulai melanda. Saya memutuskan untuk jalan-jalan sendirian. Bahkan saya punya keinginan untuk pergi ke pantai yang sangat dekat dengan kantor desa. Awalnya, saya berjalan di belakang gedung sekolah dan rumah-rumah di sekitarnya. Banyak ayam berkeliaran, rumah-rumah kayu, sawah yang membentang, kolam kecil, jalanan yang tidak rata, dan hal-hal lain yang tidak biasa saya saksikan di dalam keseharian saya. Bagi saya, berjalan sendirian dan melihat pemandangan yang jarang ditemui merupakan suatu kebahagiaan tersendiri :)

Saya lanjutkan perjalanan saya dan misi menuju pantai. Saya mulai menuruni jalanan dan menyeberangi jalan raya. Sampailah di seberang jalan. Tinggal sedikit lagi. Tinggal melewati suatu hutan pohon kelapa, dan tibalah saya di pantai. Tapi, keraguan saya memuncak. Hutan kelapa yang sepi, dengan sebuah motor yang diparkir di dalamnya. Pasti ada orangnya, tapi pasti cuma sedikit. Saya berpikir, kalau ada suatu hal yang terjadi dengan saya, pasti tidak akan ada yang mendengar apalagi menolong. Saya sendirian. Perempuan. Di desa orang. Antah-berantah. Saya berada di sini bukan untuk menghilang dengan konyol. Kali ini saya tidak boleh terlalu nekat. Setelah menimbang-nimbang dan semua suara hati saya sepakat, akhirnya saya putuskan untuk berbalik arah. Saya urungkan niat untuk ke pantai sendiri. "Ah, nanti juga hari terakhir bakal ke pantai," saya coba hibur diri sendiri dalam hati.

Saya ke gedung yang ada di belakang kantor desa, yang sekarang menjadi basecamp bagi barang-barang Supercamp. Ada Pak Beben yang sedang memasang kipas angin. Saya coba tawarkan bantuan, dan Pak Beben meminta saya untuk memegangi kipas yang sedang dipasang. Alhamdulillah, saya berguna juga :") Lalu saya malah ditawari kopi oleh Pak Beben. Duh, perhatian banget sama saya, Pak, daritadi :") HAHAHA naon Din... Setelah itu, saya kembali gabut dan hanya duduk memandangi Pak Beben yang sibuk memasang kabel terminal. Wah, kalau urusan begini, saya sudah tidak bisa membantu lagi. Bukan bidang saya ini mah. Tapi, ada anak kecil yang dari tadi di situ, justru disuruh menarik kabel yang mau dipotong hahaha. Kalau kata dr. Adi, "Tenaga lokal." Sebagai upah, anak itu dikasih aqua botol...

Pak Beben yang melihat saya mati gaya, mencoba menghibur saya. "Sekarang dikerjain semuanya (per-logistik-an), baru nanti sore kita ke pantai," katanya. "Yah, Pak. Kalau nanti sore saya sama dr. Hasan harus keliling, ngecekin rumah-rumah warga," keluh saya yang sepertinya akan gagal ke pantai lagi.

Saya mulai meragukan kebermanfaatan saya di sini. Saya pun masuk ke perpustakaan desa yang kini penuh dengan barang logistik. Saya mencoba mencari buku yang bisa dibaca untuk menghabiskan waktu. Tiba-tiba dr. Adi masuk. "Nggak tau mau ngelakuin apa ya?" katanya, seolah bisa membaca pikiran saya. "Paling nanti sore, kamu sama (dokter) Hasan ngecek rumah warga ya. Karena ngga ada ojek, jadi nanti naik Avanza ya," lanjut beliau.

Di antara berbagai buku yang ada, akhirnya pilihan saya jatuh pada buku berjudul "Mengarang? Ah, Gampang" karya Langit Kresna Hariadi. Saya mulai membaca sambil duduk di dalam perpustakan, lalu berpindah ke luar ruangan, lalu pindah lagi ke musholla karena salah satu bapak pegawai FK yang menyuruh saya ke sana supaya bisa sambil istirahat, selonjoran, dan bahkan tiduran. Nuhun, Pak! Alhamdulillah, bapak-bapak ini memang perhatian ya dengan saya yang masih sendirian dan belum tau harus berbuat apa ini :")

Berlembar-lembar sudah saya baca. Isi bukunya cukup menarik dan memang sesuai dengan hobi saya sendiri. Saat saya mulai bosan, ada bapak-bapak yang sepertinya warga sini, duduk di depan musholla. Beliau menanyakan kapan akan diadakan (balai) pengobatannya. Setelah itu, obrolan cukup panjang pun dimulai. Beliau bertanya tentang asal saya, sudah semester berapa, bercerita tentang anaknya yang kerja di indomaret, sampai menceritakan kekecewaannya sistem kesehatan di Indonesia. Berdasarkan pengalaman beliau sebagai sopir, seringkali pasien yang termasuk "orang kecil" diperlakukan kurang baik, misalnya baru diperiksa sedikit lalu dibiarkan menunggu lama oleh dokternya. Sedangkan, orang kaya yang sakit bisa langsung masuk UGD dan dipasang masker oksigen. Beliau juga menceritakan pengalaman stroke yang dialaminya, yang sembuh setelah datang ke pengobatan tradisional. Begitu pula dengan pengalaman seorang ibu-ibu di Desa Sindangsari yang pernah dikecewakan oleh rumah sakit di Bandung. Termasuk juga tentang vaksin palsu yang baru-baru ini ramai dibicarakan. Saya mencoba mendengarkan dengan seksama, sesekali memberi penjelasan sebatas yang saya tahu.

Saya banyak belajar dari beliau. Pertama, menjadi dokter harus mau mendengarkan suara rakyat (dalam hal ini, pasien), khususnya dari rakyat kecil. Mulai dari mendengarkan keluhan tentang penyakit mereka, sampai keluhan tentang sistem kesehatan yang mereka jalani. Kedua, dokter harus bisa berkomunikasi dengan baik kepada pasien. Buat pasien mengerti dengan tindakan yang dilakukan (dan yang tidak dilakukan) dan alasan pengambilan tindakan tersebut. Jangan sampai pasien salah kaprah dan merasa tidak diperlakukan dengan baik, padahal memang prosedurnya sudah benar menurut kacamata medis. Ketiga, dokter harus belajar dengan tekun. Tentu saja, yang menjadi pondasi profesi kedokteran tetaplah ilmu. Semakin banyak ilmunya, semakin tepat diagnosis dan terapi yang diberikan, maka semakin banyak juga pasien yang tertolong. Terima kasih banyak, Pak, atas inspirasinya! Semoga Bapak dan keluarga sehat selalu ya! :")

Saya lanjut sholat ashar, dan terdengar suara mesin menyala. Itu berarti, listrik sudah menyala kembali. Saya kembali mencoba menancapkan charger saya di kabel terminal musholla, dan alhamdulillah bisa! :") Saya coba nyalakan handphone. Tiba-tiba, ada Pak Tatang yang menghampiri saya. Beliau baru saja ditelpon dokter Hasan yang sudah mencoba menelpon saya tapi tidak diangkat. Beliau menyampaikan bahwa malam ini saya akan kembali ke bungalow! Alhamdulillah :") Saya langsung membuka chat dengan dr. Hasan yang sebelumnya menanyakan tentang tempat menaruh barang logistik.

A: Tadi akhirnya di dalam perpustakaan dekat aula, Dok. Oh iya, mohon maaf dari tadi hp saya mati dan di desa sedang mati lampu, Dok. Ini baru nyala lagi listriknya.
H: Haha sudah saya duga. Udah dikabari sama pak tatang soal tempat tidur nanti malam?
A: Sudah, Dok Terima kasih.

Berhubung handphone sudah menyala, kini saatnya mengurus sesuatu yang sangat penting: topik skripsi. Karena ada beberapa orang yang topik pilihan pertamanya sama, maka dibuat multiple chat untuk negosiasi. Yang jelas, saya akhirnya mengalah dan memilih topik pilihan 6 saya: "Analisis kualitatif kesulitan tutorial siang dibandingkan pagi hari dari sudut pandang mahasiswa." Wah, memang agak abstrak ya, tapi cukup menantang bagi saya. Selain itu, saya juga mengurusi masalah FORSI, Warta Kema, dan lain-lain.

Tidak disangka-sangka, datanglah Mbak Firda dan Nciw (Sri Rahayu) ke dalam musholla. Mbakfir mengaku mendengar pembicaraan dr. Hasan dengan Pak Tatang sewaktu di mobil. Kalau Mbakfir sudah datang, itu berarti dr. Hasan juga sudah di sini! Yeaaaay alhamdulillah! Akhirnya saya bisa mulai bekerja. Saya langsung keluar menuju warung yang sudah "dihuni" oleh dr. Adi, dr. Hasan, dr. Gradia, dan dr. Putri Halley. Saya hanya sempat menyapa dr. Hasan, lalu dr. Putri malah bertanya, "Neng yang satu ini barangnya cuma segini? (baca: tas ransel kecil yang saya gendong)" Saya lantas disuruh mengambil barang. Saya pun ke perpustakaan tadi, tapi ruangannya malah dikunci. Saya kembali ke warung untuk bertanya ke dokter Adi. Saya baru berkata "Dok..." saja dan mendadak diam selama beberapa detik. Otak dan mulut saya masih berkompromi menyusun kalimat yang harus diucapkan. Belum sempat bicara, dr. Adi seolah dapat membaca pikiran saya untuk yang kedua kalinya. "Barangnya di dalem, tapi ruangannya di kunci ya? Kuncinya ada di Pak Beben. Tunggu sebentar ya, orangnya lagi ke pantai," jelasnya.

Tidak lama kemudian, Pak Beben datang dan membawa kunci. "Tidurnya balik ke hotel lagi ya?" tanya Pak Beben. Dokter Adi justru yang menjawab, "Iyalah, masa tidurnya sama Pak Beben." HAHAHA ATUHLAH DOK...

Barang saya ambil dan pindahkan ke dalam Avanza putih. Mbakfir, Nciw, dr. Putri, dan dr. Gradia sudah siap dan langsung menyuruh saya masuk mobil, duduk di jok depan, tempat dr. Hasan tadi. Loh, ini berarti saya nggak ikut mengecek rumah warga sama dr. Hasan dong? Dan benar saja, saya langung "diculik" kembali ke bungalow...

Sepanjang perjalanan, pemandangan yang dilihat membuat saya ingin meminta kamera saya diantarkan ke sini... Terlalu indah untuk dinikmati sendiri. Mulai dari hamparan sawah dengan gradasi warna hijau-kuning, potongan Green Canyon dengan sungai berwarna hijau dikelilingi pohon rimbun, cahaya matahari yang menyusup keluar dari balik awan dengan semburat warna oranye, sampai debur ombak yang berkejar-kejaran. Maasyaa Allah. Sungguh indah ya, ciptaan-Mu :")

Tanpa sebab yang diketahui, pak sopir di sebelah saya membuka jendela dan melongok ke luar. Setelah ditanya, beliau menjawab, "Kok jadi berat ya mobilnya. Saya cek keluar, bannya ngga kempes." Beliau malah bertanya ke saya, "Neng beratnya berapa?" Hahaha, duh.... Seisi mobil langsung tertawa keras. Saya pun membela diri, "Itu barangnya, Pak, yang bikin berat." Seisi mobil kembali tertawa lagi. Hahaha kenapa jadi begini sih nasib saya? :")

Sesampainya di bungalow, kami masih harus menunggu kepastian akan menginap di mana. Sementara itu, Elsa juga datang karena belum punya tempat menginap di desanya. Pertama, kami dapat kamar di bawah, tempat Azizah dan Sakina kemarin. Kami makan malam, mandi, dan sholat. Lalu, kami dipindah ke kamar atas, tempat saya kemarin. Sebelum tidur, saya kembali berkomunikasi dengan dr. Hasan. Mulai dari membicarakan soal konsumsi di desa, jumlah panitia, sampai nasib saya esok hari.

A: Assalamu'alaikum, Dok. Punten. Besok kira-kira saya harus sudah sampai di Kertamukti jam berapa ya, Dok?
H: Ikut panitia acara aja. Besok mereka katanya mau ke sini. Ikut aja mereka.
A: Mereka berangkatnya siang, Dok. Paginya mereka mau mengecek ke Bumi Walagri dulu. Tidak apa-apa Dok kalau saya baru datang siang?
H: Coba tanya apa ada yang mau ke sini pagi. Kalau ga ada, ya sudah, ikut aja.

Duh, baik pisan ya bapak kordes saya ini :") Sepertinya beliau memang tidak mau merepotkan saya, toh tidak ada cara lain selain ikut panitia yang akan ke Kertamukti. Nuhun pisan, Dok! Saya pun bisa tidur dengan tenang malam ini.

Comments

Popular Posts