Ujian: Takdir dan Kuasa-Nya (part.1)
Sore itu, pikiran saya mendadak keruh. Ansietas mulai menyelimuti hati diiringi dengan imajinasi akan hal-hal buruk yang belum tentu akan terjadi. Saya belum siap ujian stase THT. Sama sekali belum siap, terlebih ketika mengetahui bahwa akan diuji oleh salah satu dari dua orang konsulen yang memiliki segudang daftar pertanyaan random, ditambah perangainya yang terbilang cukup keras dan intimidatif. Baru kali ini saya memikirkan ujian sampai berlarut-larut. Padahal, pada setiap SOOCA di masa sarjana dan ujian-ujian stase sebelumnya, saya jauh lebih tenang dan jauh lebih siap. Namun, kali ini, saya kalah dengan kecemasan yang saya ciptakan sendiri.
Hari-hari di stase THT yang melelahkan (namun tetap menyenangkan) membuat saya seringkali kelelahan ketika sudah sampai di kamar. Maksud hati ingin merebahkan tubuh sejenak, justru berujung pada tidur yang pulas selama minimal enam jam ke depan. Lalu bangun dengan kondisi lampu kamar masih menyala, badan kedinginan tanpa mengenakan jaket atau selimut, leher terasa nyeri karena salah posisi tidur, tapi mau tidak mau harus sudah siap untuk menghadapi hari esok.
Sore itu, saya dan Grace menunggu bimbingan bersama bysit (semacam residen yang mendampingi dan membimbing kami untuk ujian serta menghubungi konsulen penguji) kami, dr. Riri. Selepas shalat Maghrib, Grace mengajak saya untuk makan gratis di Kantin Eyckman (makanan yang biasanya disediakan untuk koas atau residen yang akan jaga malam). Saya keluar dari mesko dan berjalan di koridor. Terlihat seorang laki-laki muda yang saya taksir usianya antara 17 tahun hingga 20-an awal. Laki-laki itu menangis, ditemani oleh seorang bapak-bapak di sebelahnya yang pada wajahnya juga mengguratkan kesedihan. Asumsi saya, baru saja terjadi sebuah kehilangan atau kesedihan yang mendalam. Karena stereotip yang menyatakan bahwa “laki-laki tidak boleh menangis” masih berlaku, maka jika sampai seorang (bahkan dalam kasus ini nyaris dua orang) laki-laki menangis, pastilah telah terjadi peristiwa yang besar dalam hidupnya.
Saya terus berjalan melalui lorong-lorong rumah sakit yang dipenuhi para penunggu maupun penjenguk pasien. Saya perhatikan wajah-wajah mereka. Segala kesedihan, harapan, kekhawatiran, kepasrahan, bahkan keputusasaan bercampur membentuk suatu ekspresi yang kompleks. Saya tidak tahu pasti apa yang mereka pikirkan dan tengah mereka alami. Namun, satu hal yang pasti, saat ini saya sedikit lebih beruntung dibandingkan mereka.
Saya mulai bicara sendiri dalam hati. Sesungguhnya, ujian saya ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa kehilangan dan kesedihan yang dialami oleh para pasien maupun keluarganya. Sesungguhnya, saya hanya diminta untuk belajar; tidak lebih! Saya hanya diminta untuk belajar akan hal-hal yang nantinya dapat mengurangi kekhawatiran dan memenuhi harapan “mereka-mereka” di masa mendatang. Sesungguhnya, penguji yang saya “takuti” itu hanyalah manusia. Dan hanya Dialah yang Maha Membolak-balikkan Hati manusia. Maka seharusnya saya tidak perlu mencemaskan apapun dari ujian yang akan saya hadapi kali ini.
Pikiran saya mencoba membuka memori mengenai empat stase sebelum ini. Empat stase terlewati, empat kali ujian, empat kali pula saya beruntung mendapatkan penguji yang teramat sangat baik, mudah meluluskan, dan murah memberi nilai. Ketika di stase kelima saya diberikan penguji yang luar biasa, tentu ini semua semata-mata karena Dia ingin saya lebih belajar. Dia ingin saya lebih mendekatkan diri lagi kepada-Nya.
Yaa Allah, aku yakin bahwa apa yang Engkau takdirkan adalah yang terbaik untukku. Aku yakin bahwa takdir yang Engkau berikan adalah karena Engkau yakin bahwa akulah yang mampu menghadapi beliau.
Saya kembali melangkahkan kaki hingga gedung Eyckman. Seketika sirna sudah kabut gelap yang sedari tadi menyelimuti isi kepala. Kini saya percaya bahwa barang kali kita membenci sesuatu, namun itulah yang terbaik bagi kita menurut Allah SWT. Saya terus-menerus memotivasi diri sendiri. Saya kuat. Saya bisa. Saya mampu. Dan apapun yang terjadi nantinya, semua sudah Ia takdirkan dengan segudang hikmah dibaliknya.
bersambung...
Bandung, 17 April 2018
ASN
Comments
Post a Comment