1st Night Shift: Sang Pemandu
Selepas mengantarkan pasien ke ruangan, saya lekas berganti baju jaga dan menunaikan shalat Ashar, lalu kembali ke ruang koas untuk mengambil alat-alat pengukur tanda vital. Saya mendapat giliran follow up pasien di gedung Kana bersama Vania.
Baru saja memeriksa satu-dua pasien tiba-tiba grup Whatsapp berisi koas dan 2 residen pendamping koas berbunyi, “Dekk yang jaga ke poli yaa anter pasien helpp.” Grace sudah menjawab “Baik dok,” tapi kemudian saya hubungi Grace dan katakan kalau saya saja yang ke poli, karena Grace masih memiliki lebih banyak pasien yang harus diperiksa.
Sesampainya di poli, saya mencari dr. Windy. Beliau ada di poli rinologi, lalu saya diberinya tiga status pasien. Katanya, terserah saya mau antarkan yang mana dahulu, karena tiga-tiganya berbeda ruangan. Menerima status di tangan, membuat saya berpikir kalau saya hanya akan diminta mengantarkan status. Saya pun keluar poli rinologi dengan santai, sampai akhirnya dr. Windy berkata kepada sekitar 6-8 orang yang tadinya duduk di depan poli, “Bapak-bapak, ibu-ibu, sekarang semuanya ke ruangan ya. Diantar sama dokter muda.”
Saya baru teringat kalau yang harus saya antarkan adalah pasien, bukan hanya statusnya. Selain tiga orang pasien, ditambah pula para pengantar pasien. Saya pun langsung merasa seperti seorang pemandu atau tour guide yang siap membawa para peserta study tour untuk keliling rumah sakit. Sebelum turun dari poli, saya cek dulu presensi pasien dengan memanggil namanya satu persatu.
Kami mulai turun dan berjalan menuju ruangan. Saya memimpin barisan di paling depan. Di samping saya ada Pak Gito, diikuti dengan pasien dan pengantar lain di belakang. Pak Gito tampak sehat, bugar, dan tidak seperti orang sakit. “Sakit apa, Pak? Sehat nih kayaknya,” tanya saya. “Iya nih, polip aja, Neng,” jawabnya sembari berjalan membawa tas ransel besar dan beberapa tentengan di tangan. Lagaknya tidak seperti orang yang akan dirawat di rumah sakit, melainkan lebih cocok menjadi orang yang sedang bertualang mendaki gunung.
“Sekarang Bapak sama Ibu tunggu di sini dulu ya. Saya antar yang di Kana dulu,” kata saya kepada dua rombongan pasien lainnya. Pasien yang saya antar, datang bersama ibunya. Saya ajak mereka menaiki tangga. Khawatir si pasien tidak kuat naik tangga karena sakitnya (yang sebenarnya tidak terlalu berhubungan sih), saya pun bertanya, “Kuat ngga, Pak, naik tangga?” Kemudian si bapak yang mengeluhkan benjolan di leher ini menjawab, “Kuat kok. Ibu saya yang agak capek.” Waduh, saya lupa mempertimbangkan usia sang ibu yang sudah tidak lagi muda rupanya.
Setelah si bapak diantarkan hingga ke tempat tidur, saya kembali turun dan menemui dua rombongan sisanya. “Ini mau tunggu di sini dulu, atau ikut naik semua?” tanya saya kepada kedua belah pihak yang kebetulan berada di lantai berbeda. “Ikut semua ajalah biar sekalian tau tempatnya,” jawab Pak Gito. Baiklah, akhirnya saya ajak mereka semua naik lift ke lantai 4. Pak Gito saya antarkan ke kamarnya, sedangkan Bu Eni dan keluarganya menunggu di selasar lantai 4. Barulah setelah itu saya antarkan Bu Eni ke lantai 5. Akhirnya, saya kembali lagi ke pekerjaan awal yaitu melakukan follow up pada pasien rawat inap.
Walaupun cukup melelahkan karena harus bolak balik dari Kana-poli THT-Kana-Kemuning-Kana, setidaknya saya merasa sangat bahagia. Sangat sepele memang, hanya mengantarkan pasien, yang sebenarnya mereka bisa berjalan sendiri dengan bantuan satpam sebagai penunjuk arah. Tapi, saya bersyukur karena suruhan-suruhan yang diberikan, insyaa Allah bisa menjadi ladang amal jika kita ikhlas melakukannya :)
Bandung, 13 April 2018
ASN
Comments
Post a Comment