OK Pertama dan Tali Sterile Gown
Sebagai koas yang baru memasuki minggu ke-4 di RSHS (setelah 3 minggu pertama di RS Cicendo), sangatlah wajar jika saya (masih) begitu bersemangat menghadapi hari ini. Di saat anak yang sudah melewati stase anestesi barangkali sudah muak dengan ruang OK (Operatie Kamer = kamar operasi), kali ini saya justru akan menghadapi ruang OK kedua saya selama koas sekaligus OK pertama saya di RSHS (pertamanya sudah di Cicendo)!
Saya datang jam 7 pagi untuk menandatangani lembar presensi pagi dan menaruh barang di ruang koas (ruko). Sekitar jam 7.15, saya dan ketiga teman lainnya bergegas menuju gedung Central Operathing Theater. Saya dan Dhani masuk lebih dulu untuk berganti baju di lantai 3, sedangkan Rafi dan Grace masih harus mengambil light source di poli.
Sudah di lantai 3, masih bingung harus ke kanan atau ke kiri. Dhani berinisiatif menelpon Teh Umi untuk meminta petunjuk, berhubung kami berempat masih sama-sama koas baru. Kami pun masuk ke kiri dan menuliskan nama di tempat pengambilan baju OK paling mentereng sejagat OK RSHS: baju berwarna oranye bak wortel, ditambah nomor baju yang membuat kami tampak seperti tahanan KPK. Berbeda dengan baju OK milik konsulen, residen, perawat, maupun paramedik lainnya dengan gradasi warna biru-hijau yang tidak terlalu mencolok mata.
Saya dan Dhani sempat kebingungan harus berganti baju di mana, karena di antara semua kamar ganti, hanya tertulis “dokter konsulen”, “paramedik”, dan “dokter”. Sampai akhirnya kami menemukan sebuah ruang yang tidak bertuliskan apa-apa. Di dalamnya, saya melihat jas koas dokter gigi tergantung di tempat gantungan baju. Akhirnya di situlah kami bertransformasi menjadi ‘wortel’ RSHS.
Kebingungan kedua adalah mengenai arah keluar menuju OK. Kami sudah cukup percaya diri melangkahkan kaki menuju pintu masuk kami tadi, dengan sepatu OK yang kami ambil dari dalam (ini juga kami sempat bingung!)
“Mau, ke mana, Dok?” tanya seorang petugas kebersihan yang kebetulan berpapasan dengan kami. Untung saja beliau menyadari kesalahan yang kami lakukan, lalu menunjukkan jalan keluar menuju ruang OK. Duh, agak memalukan ya...
Kami yang masih di lantai 3 pun sekarang kembali bingung bagaimana caranya ke lantai 4. Iya, kami tahu kalau harus naik lift. Tapi entah di mana letak lift itu... Bermodalkan ke-sok-tahu-an dengan berjalan sendirian, malah membuat kami seperti orang tersesat yang kerjanya hanya ‘clingak-clinguk’ ke tiap ruangan yang ada. Menyerah, kami pun bertanya kepada seorang perawat. Memang ya, peribahasa “Malu bertanya sesat di jalan” itu benar adanya.
Sampai di lantai 4, kami dapat segera menemukan ruangan 404. Begitu kami masuk, awalnya hanya ada satu orang perawat, sampai akhirnya datang dua orang residen. Tugas pertama kami di ruang OK pun dilontarkan oleh dr. Aryo: mengambil peralatan di CSSD (entah kepanjangannya apa, yang jelas ini semacam depo untuk alat-alat operasi) lantai 3. Siap laksanakan, Dok!
Tugas pertama ini diawali lagi dan lagi dengan kebingungan. Kami sedikit kehilangan orientasi. Lupa di mana letak lift. Sempat bersikeras bahwa lift yang tadi kami naiki bukan yang itu. Untung saja kesepakatan segera terbentuk bahwa lift itulah yang harus kami gunakan. Kami pun turun, meminta alat, lalu diminta menunggu oleh si ibu CSSD. Selama menunggu, kami dipersilakan duduk sembari mendapat hiburan gratis: siaran ulang Indonesian Idol semalam dari handphone si ibu CSSD! Awalnya ada Maria yang duet dengan Kotak, dilanjutkan dengan komentar juri. Begitu salah satu favorit saya, Abdul mulai bernyanyi bersama Yura Yunita, eh, alatnya sudah keburu datang! Kami pun kembali ke kamar OK.
Kamar 404 sudah lebih ramai karena sang pasien sudah datang, ditambah satu perawat lagi, satu residen anestesi, dan satu residen bedah mulut. Tidak lama, sang konsulen datang yaitu dr. Agung. Beliau sedikit bertanya-tanya mengenai penyakit yang diderita pasien: Obstructive Sleep Apnea Syndrome. Kami berdua, ya, seperti koas pada umumnya, tidak terlalu bisa menjawab dengan baik. Beruntungnya, beliau berbaik hati menjelaskannya kepada kami.
Dokter Aryo pun mulai mengenakan gaun sterilnya. Seorang perawat yang sudah steril pun meminta saya membantu dr. Aryo. Berhubung dulu saya belum mendapat materi skills lab tentang baju steril, saya sempat bingung harus apa. “Tarik talinya, Dek,” instruksi dr. Aryo. Saya pun memasangkan talinya, sekalipun sempat salah di awal karena talinya tidak sesuai. Setelah itu saya kembali ke tempat semula. Kini giliran dr. Adit yang masuk dan berniat mengenakan baju steril. Hanya dengan tatapan mata dan sedikit anggukan kepala, saya langsung paham bahwa beliau meminta bantuan juga. Wah, memang ya di ruang OK ini karena semua orang mengenakan masker, berarti kami harus segera siap tanggap jika diminta bantuan hanya dengan isyarat mata dan sedikit gerak kepala.
Setelah semua siap, dr. Aryo pun membuka operasi dengan menyatakan bahwa hari ini kita akan melakukan operasi apa terhadap siapa, operator dan asisten siapa saja, konsulen THT dan anestesi siapa, perawat siapa, perkiraan operasi berapa lama, lalu diakhiri dengan doa bersama demi kelancaran operasi dan kesembuhan pasien. Wah, di sinilah saya merasa bahwa semaksimal apapun usaha yang manusia lakukan, tetap saja semua hasilnya Allah yang mengatur. Apa pun itu, semuanya kita serahkan lagi kepada-Nya. Saya pun semakin bersemangat mengingat “operasi” adalah suatu hal yang dirasa cukup “besar” bagi banyak orang, termasuk bagi saya sendiri, karena merupakan ikhtiar mencari kesembuhan yang berisiko tinggi, melibatkan banyak pihak, alat yang banyak, dan tentu waktu yang tidak sedikit.
Selama pelaksanaan operasi, saya dan Dhani hanya menonton dari arah samping kanan pasien. Tidak banyak yang bisa kami lakukan, karena memang kompetensinya sudah jauh di atas kami. Alhamdulillah, operasi pengangkatan adenoid dan reduksi konka kali ini berjalan dengan lancar.
Siangnya, kami kembali masuk ke ruang yang sama. Kali ini pasien perforasi membran timpani akan diberikan tindakan timpanoplasti dengan konsulen dr. Arif. Kami pun datang terlambat karena shalat terlebih dahulu. Area mastoid sudah disayat dan diambil graft-nya. Dokter Arif yang berniat mengajari cara pemasangan graft pun mulai men-steril-kan diri. Saya langsung peka, bersamaan dengan panggilan dari ibu perawat yang sudah steril: membantu memasang tali baju steril. Berhubung kali ini yang akan saya pasangkan talinya adalah konsulen, saya agak tremor karena merasa agak grogi. “Diambil tali yang paling atas ya,” kata dr. Arif dengan lembut. Saya pun kembali memasangkan tali, dilanjutkan dengan tali ketiga yang dipasangkan oleh perawat yang sudah steril.
Skill yang saya dapat di ruang OK kini bertambah, yaitu memasang kabel video dan menyetel TV untuk video. Ya, sekalipun akhirnya gagal karena ada masalah dengan kabelnya, setidaknya kehadiran saya cukup berguna di sini. Sesekali, kami ‘memainkan’ lampu, white balance kamera endoskopi, mengatur suction, dan membantu hal-hal kecil (yang tentunya bermanfaat) lainnya.
Setelah operasi selesai, saya dan Dhani sudah berniat dismiss, tapi ternyata disuruh membantu beres-beres terlebih dahulu. Dhani diminta mengantarkan hasil CT scan kembali ke keluarga pasien dan mencari brankar. Saya diminta menyalin data pasien ke kertas status (atau kertas laporan operasi, entahlah). Selebihnya, membantu doa dan terdiam karena tidak tahu harus membereskan apa.
Pengalaman OK pertama ini bagi saya sangat menyenangkan, dan saya cukup bersemangat menyambut OK-OK lainnya! Sekalipun belum mendapat tindakan apa-apa dan lebih banyak menjadi spesialis pemasang tali baju steril, tapi berada di ruangan OK saja sudah memberikan banyak pelajaran bagi saya. Tentang ketepatan waktu, keikhlasan (tidak mengeluh ketika disuruh ini-itu), kerja sama tim, ketelitian, kepedulian, kepekaan, dan masih banyak lagi yang hanya bisa dirasakan namun tidak bisa diungkapkan dengan kata :)
Bandung, 3 April 2018
ASN
Comments
Post a Comment