"Masker"
“Koas dmn? 1 org bisa ke igd bawa saturasi? Sekarang ya..”
Malam itu pukul 20.20, Dokter Adit, residen THT yang jaga malam bersama kami memberikan instruksi. Pesanan makanan kami baru saja datang beberapa menit lalu. Tapi, saya teringat kalau harus menyerahkan kertas konsul kepada beliau. Jadilah saya yang berjalan ke IGD dari ruang koas (ruko) THT sambil membawa alat pengukur saturasi oksigen dan kertas konsul.
Pasien baru di IGD bedah malam ini ialah Pak Herman yang mengalami obstruksi saluran napas atas (OSNA) grade 2 yang ditandai dengan adanya stridor (bunyi napas bernada tinggi) saat inspirasi ditambah dengan retraksi epigastrium (kontraksi otot perut di bawah tulang rusuk yang tertarik ke dalam saat bernapas). Namun, begitu dr. Adit memeriksa pasien kembali, ternyata grade-nya sudah naik mejadi grade 3 yang ditandai dengan retraksi interkostal (tarikan dinding dada di celah antartulang rusuk) yang terlihat jelas.
“Adinda, ambilin masker ya, pakein ke pasiennya. Simple mask aja. Sama TTV (periksa tanda-tanda vital pasien yaitu tekanan darah, frekuensi nadi, laju napas, suhu) pasiennya.”
Mendengar instruksi seperti itu, tanpa pikir panjang, langsung saya laksanakan. Tapi, karena ini kali pertama saya menyambangi IGD bedah, saya yang tidak tahu apa-apa ini langsung mencari-cari teman seangkatan saya di stase bedah yang sedang berjaga juga. Saya bertanya tentang di mana saya bisa mengambil masker, lalu ditunjukkanlah depo farmasi. Setelah mengambil masker, saya kembali lagi menghampiri pasien.
Saya sempat merasa aneh karena saat ini pasien sedang mengenakan nasal canule di hidungnya yang tersambung dengan tabung oksigen untuk membantu napasnya. Kenapa pasien ini harus dipasang masker? Hmm, mungkin pasien ini memiliki penyakit saluran napas yang cukup infeksius dan bisa menular. Atau sebaliknya, kondisi pasien yang demikian membuatnya rentan tertular penyakit yang bakteri dan virusnya bertebaran di IGD. Saya mencoba berpikir positif. Tidak mungkin dr. Adit memberikan instruksi yang salah.
Pasrah, saya pun meminta izin kepada anak pasien untuk mengenakan masker kepada Pak Herman. Beliau juga sama pasrahnya ketika saya pasangkan. Kini, pada hidungnya terpasang nasal canule, lalu dibungkus lagi dengan masker.
Saya lanjut ke tugas berikutnya yaitu mengukur tanda-tanda vital pasien. Berhubung alat TTV saya ada di ruko THT, saya mencari-cari alat ke sekeliling IGD. Saya pun menemukan satu stetoskop tergantung di dekat tempat residen. Saya kembali ‘mencari pertolongan’ ke koas stase bedah dengan menanyakan apakah spigmomanometer (alat pengukur tekanan darah). Alhamdulillah, banyak tersedia di ruang plester (ruangan kecil berisi alat-alat sekaligus ‘markas’ jaga koas bedah).
Manset spigmomanometer sudah dililitkan di lengan atas pasien, membran stetoskop sudah ditempelkan di area arteri brachialis. Dokter Adit datang kembali untuk mengecek pasien. Beliau pun bertanya, “Tadi sungkupnya belum ya?” Sungkup? Tunggu dulu... Otak saya baru tersambung. Jadi, ‘masker’ yang beliau maksudkan tadi adalah masker/sungkup oksigen.. Ya ampun! Bodoh dan konyol sekali rasanya. Tentu saja nasal canule harus diganti simple mask karena kondisi OSNA yang semakin parah.
Saya pun kembali ke depo farmasi untuk mengambil simple mask yang benar. Sebelum memasang, saya lepaskan lagi masker yang ‘salah’ itu. Pak Herman tidak protes karena sedang sesak. Begitu saya hendak melepaskan nasal canule, dr. Adit lagi-lagi masuk ke dalam bilik dan memberi instruksi ketiga, “Adinda, pakai sarung tangannya.” Yaa Allah, maafkan hamba-Mu yang ceroboh dan tidak berpengalaman ini.
Kebetulan, di satu bilik yang sama, ada seorang senior koas bedah yang sepertinya berniat melakukan suatu tindakan. Saya baru ambil satu sarung tangan di troli yang dibawanya, lalu ia cepat-cepat mengambil sarung tangan yang lain. Ternyata sarung tangan yang diambilnya adalah yang terakhir. Untuk ketiga kalinya, saya ‘meminta pertolongan’ kepada teman saya yang sedang jaga IGD bedah. Kali ini mengenai di mana saya bisa mendapatkan sarung tangan di IGD. Cari saja di mana pun di IGD, katanya. Akhirnya, saya ambil di IGD anak. Barulah saya ganti nasal canule dengan simple mask. Semoga saja dengan begitu, Pak Herman bisa bernapas lebih nyaman.
Ah, memang ya. Menjadi koas membuat saya belajar dari banyak hal, termasuk dari kesalahan (sekaligus kebodohan). Setidaknya, kalau lain kali diminta ini-itu di IGD, saya sudah tahu harus mengambil di mana. Dan jangan lupa, kalau tidak tahu atau bingung, tanyakan! Daripada salah. Untung saja, kesalahan kali ini tidak terlalu fatal, tidak sampai menyebabkan OSNA Pak Herman naik ke grade 4. Duh, ingat-ingat ya, selalu ber-ta-nya! Tapi seperlunya saja. Jangan berlebihan. Ya, serba salah memang menjadi koas. Nikmati saja :)
Masker yang dimaksud dr. Adit |
Bonus: nasal cannule |
Bandung, 18 Juni 2018
ASN
Comments
Post a Comment