Imperfecta
Seorang anak balita dibawa oleh kedua orangtuanya ke dalam IGD anak. Keluhannya demam dan sesak napas. Yang langsung terbayang adalah penyakit bronkopneumonia yang memang cukup banyak menyerang anak di bawah 5 tahun. Oh, ternyata, pasien ini sudah pernah dirawat di sini sebelumnya. Melihat bentuk kepalanya yang agak sedikit berbeda dari balita biasanya, membuat saya penasaran dengan diagnosis pada statusnya.
“Osteogenesis imperfecta.”
Saya lalu bertanya ke teman jaga saya. Sepengetahuannya, penyakit ini berarti ketidaksempurnaan dalam proses pembentukan tulang, sehingga tulang akan lebih rapuh, lunak, dan bentuknya tidak beraturan. Saya perhatikan lagi bentuk tulang-tulang kakinya yang bengkok. Begitu pula pada tangannya. Kondisi ini pun menyebabkan si anak tidak bisa bergerak sebagaimana balita seusianya.
Malam semakin larut. Jarum pendek pada jam tangan sudah melebihi angka 12. Saya mulai lelah berdiri dan memutuskan untuk duduk di lantai, tidak jauh dari pasien tersebut. Sesekali memainkan gawai, sesekali curi-curi pandang ke arah sepasang suami istri, orangtua si pasien. Berdasarkan pengalaman jaga malam sebelum-sebelumnya, seringkali saya dapati wajah-wajah lelah nan pasrah dari para orangtua pasien. Entah karena penyakit anaknya sudah terlalu parah, ingin segera pulang dari rumah sakit tapi si anak tak kunjung sembuh, ditambah letih akibat tidak pernah bisa tidur pulas karena sebentar-sebentar anaknya harus diperiksa. Namun, kali ini kedua mata saya menangkap gambar yang berbeda. Mereka berdua saling berbicara sambil sesekali melemparkan candaan dan tertawa bersama. Walaupun dua-duanya harus berjongkok karena kursi di IGD sudah habis. Meskipun keadaan anaknya masih tidak jauh berbeda, tapi mereka tetap memilih untuk tersenyum.
Saya hampir meneteskan air mata haru. Rasanya, sangat tidak pantas saya mengeluh. Lelah yang saya alami belum ada apa-apanya dibanding yang mereka rasakan. Lelahnya jaga malam kali ini masih bisa dibayar dengan tidur di keesokan harinya. Tapi mereka tidak. Karena esok hari pun tidak serta merta langsung menyembuhkan penyakit anaknya. Namun, mereka tetap memilih untuk tersenyum.
Sesungguhnya hidup memang selalu tidak sempurna. Hidup pun mungkin tidak adil jika dipandang dari kacamata manusia. Tapi ini bukan tentang apa yang menimpa diri kita. Ini tentang bagaimana cara kita menghadapinya. Ini tentang seberapa besar rasa syukur kita terhadap nikmat yang seringkali tersamar oleh ujian dan musibah yang diberikan-Nya.
Jadi, sudahkah kita mensyukuri hari ini?
Bandung, 28 Mei 2018
ASN
Comments
Post a Comment