Pukul Tiga Pagi



Kamis, 3 Mei 2018.

Pagi itu kurang lebih pukul tiga. Waktu dimana biasanya ruh dan jasad saya masih belum bersatu. Entah sedang berada di alam mana, yang jelas dalam tempat peristirahatan yang nyaman. Namun kini, mau tidak mau, harus tetap terjaga. Sekali pun tadi sempat tidak sengaja tidur sejak jam dua kurang sepuluh.

Ketika mata mulai membuka dan kesadaran seketika compos mentis, saya refleks meraih gawai dan menekan tombol on/off. Pukul dua lewat lima puluh menit. Saya sontak terkejut karena seharusnya pukul dua tadi, saya dan partner jaga malam saya melakukan “visite besar” atau "visbes" (ini istilah yang saya ciptakan sendiri karena sebenarnya istilah ini biasanya digunakan oleh visite yang dilakukan konsulen) alias melakukan observasi tanda-tanda vital terhadap delapan orang pasien anak di Kenanga 2. Visbes ini akan melibatkan dua orang pasien anak yang harus diobservasi setiap jam ditambah lima orang setiap tiga jam. Karena visbes dimulai di jam delapan, maka visbes ketiga seharusnya dilakukan di jam dua. Sayangnya, kami berdua justru tertidur di menit-menit menjelang pukul dua.

Saya menengok ke nurse station, menemukan rekan jaga saya masih lelap. Tidak tega membangunkannya, saya lantas berinisiatif untuk memeriksa tiap pasien, walaupun sendirian.

Saya mulai dengan pasien bayi yang menderita, hmm, saya lupa penyakitnya. Yang jelas, saking terminalnya penyakit yang ia derita, untuk mengobservasinya cukup dengan melihat monitor saja. Lalu ukur suhu dalam sedetik dengan termometer inframerah. Kemudian tinggal catat saja hasilnya di kertas yang sudah ditempel di ujung tempat tidurnya. Saya mencoba membuat gerakan sehalus mungkin agar tidak mengganggu tidur dari kedua orang tuanya. Tidak tega membangunkan mereka hanya untuk menyadari bahwa kondisi sang anak masih belum belum membaik...

Saya keluar ruangannya, belok kiri menuju ruang tindakan. Saya masih di depan pintu yang sedikit terbuka. Sedikit mengintip ke arah dalam sembari mencuci tangan dengan handrub berbotol hijau tosca. Terdengar sayup-sayup ayat suci Al-Quran yang dilantunkan oleh seorang laki-laki. Indra penglihatan saya mengonfirmasi bahwa ayah si anak ini yang sedang mengaji. Suaranya tidak cukup merdu seperti Muzammil, namun membuat hati saya terenyuh dan langkah saya terhenti seketika. Sebuah bacaan yang begitu tulus dipenuhi dengan harapan dan kepasrahan akan prognosis sang buah hati yang juga tak kunjung membaik.

Osteosarkoma sudah berhasil menggerogoti kaki kanannya sampai harus diamputasi setinggi lutut. Sisa bagian tubuh lainnya masih utuh, tetapi sangatlah kurus dan ringkih. Kalau boleh memilih, saya tidak sanggup mengukur tensinya setiap satu jam sekali. Disentuh saja sudah membuatnya merintih, apalagi dengan tensimeter yang secara bertahap memberikan tekanan yang semakin lama semakin besar. “Sakiiit....” rintihnya hampir setiap jam ketika saya datang dan menekan tombol on pada spigmomanometer digital pinjaman residen di lengan kanannya. Simpati tidak diperbolehkan di sini. Yang diizinkan hanyalah empati. Tega tidak tega, kalau tugas sudah diberikan, ya harus dilaksanakan. 

“Tahan sedikit yaa. Biar cepet sembuh. Kamu kuat!” hampir selalu saya coba selipkan di sela-sela detik-detik pengembangan manset spigmomanometer.

Setelah terdiam beberapa detik, saya kuatkan hati saya lalu masuk. Sang ayah pun harus sedikit berpindah tempat agar saya bisa memeriksa. Alhamdulillah, keadaan vitalnya tidak memburuk, sekalipun tidak pula membaik. Setidaknya, kali ini, rintihan sakitnya berkurang. Tidak terbayang, betapa banyak dosanya yang telah Ia gugurkan melalui penyakit yang begitu ganas ini. Semoga saja, ia dan keluarganya selalu dikuatkan dalam segala takdir yang terbaik menurut-Nya.


Jadi, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?


Bandung, 6 Mei 2018
ASN

Comments

Popular Posts