Lebih dari Sekadar 'Dokter'
Sabtu, hari dimana bangun tidak sepagi biasanya merupakan ajang ‘balas dendam’ terhadap kurangnya jam tidur selama lima hari belakangan. Namun, lagi-lagi tidak untuk kali ini. Jadwal puskesmas yang buka selama 6 hari seminggu mengharuskan kami untuk ikut pula membantu pelayanan di hari penuh kemalasan ini.
Sesampainya di sana pun, semua orang rasanya tidak ingin turun ke poli. Ketika ditanya mau di poli umum, MTBS, ataupun MTBM, semua menjawab inginnya di kost-kost-an saja. Namun, akhirnya saya memilih poli umum (sekalipun berdasarkan undian, saya mendapat MTBS) karena sedang cukup malas menghadapi anak-anak balita yang baru masuk ke dalam ruangan saja sudah menangis.
Kerja di poli umum pun lebih banyak mengobservasi, sesekali ikut bertanya-tanya ke pasien, sesekali ikut memeriksa bersama dokter yang sedang bertugas. Poli umum ruang 8 hari ini diisi dua orang dokter dan dua orang koas (saya dan Catherine). Salah satu dokter tersebut adalah dr. S (yang bersama Catherine), yang suara seraknya seringkali membuat fokus saya teralihkan kepada bicara beliau. Seorang dokter wanita usia 50-an, tipikal ibu-ibu, yang suka menasehati pasien, walaupun kadang terdengar seperti sedang marah akibat kelakuan pasien yang aneh-aneh.
Seorang bapak-bapak datang kepada dr. S, entah dengan keluhan apa, karena saya masih fokus dengan pasien saya. Si bapak ini mengobrol lama dengan sang dokter. Saya mulai mengalihkan fokus karena tampaknya pembicaraan mulai menarik. Si bapak ingin mendonorkan darah, namun beliau tidak punya ongkos. Butuh 4 ribu rupiah untuk naik angkot. Sang dokter mendukung si bapak untuk mendonorkan darahnya, terlebih lagi di bulan Ramadhan ini yang pahalanya akan dilipatgandakan.
“Saya bayarin ongkosnya, Pak.” Lalu dr. S merogoh isi tasnya. Mengeluarkan uang yang jumlahnya berkali-kali lipat dari ongkos angkot si bapak. Diserahkannya ke tangan si bapak. “Ini saya bayar fidyah, buat anak saya yang nggak bisa puasa hari ini.” Dengan doa-doa yang dipanjatkan untuk sang dokter, si bapak pun keluar sembari berterima kasih.
Beberapa pasien setelahnya, masuklah seorang bapak-bapak dengan baju oranye khas petugas kebersihan, masih dilengkapi dengan sepatu bot setinggi lutut yang masih ditempeli sisa-sisa tanah yang mengering. Penampilannya yang begitu mencirikan profesinya, mengalihkan perhatian saya. Sekalipun lagi-lagi, fokus saya sedikit terpecah dengan pasien yang ada di hadapan saya, sehingga tidak bisa mengingat dengan jelas keluhan si bapak. Yang saya ingat justru ketika dr. S menanyakan seputar pekerjaan dan penghasilan si bapak. Setelah memberi resep obat, dr. S kembali memasukkan tangannya ke dalam tas, lalu mengeluarkan sejumlah uang kertas yang ia lipat-lipat sehingga tidak terlalu tampak dari luar. Disodorkannya kepada si bapak. “Pak, diterima ya. Ini zakat saya.” Dengan gembira, si bapak menyambut dan berterima kasih selagi mendoakan sang dokter.
Setelah saya pikir-pikir, di balik kesibukan menjadi seorang dokter, kadang kita terlalu fokus dengan pekerjaan. Fokus dengan keluhan pasien, fokus dengan concept mapping penyakit yang dialami pasien, bahkan bisa saja justru fokus dengan masalah pribadi kita. Kadang kita terlalu dikendalikan objek yang dihadapi, sampai-sampai lupa bahwa pasien kita adalah subjek; manusia. Manusia yang seringkali butuh lebih dari sekadar resep obat. Yang seringkali butuh lebih dari edukasi standar seperti menjaga kebersihan, menjaga pola makan, dan berhenti merokok. Mereka mungkin bisa minum obat, tapi tidak tahu besok mau makan apa. Mereka mungkin tidak meminta apa-apa, selain kepedulian yang ditunjukkan dalam bentuk tindakan yang nyata. Mungkin sekilas tampak sepele, tentang apa yang telah “diajarkan” oleh dr. S hari ini. Namun, kita tidak pernah tahu seberapa berartinya kebaikan "sepele" yang telah kita usahakan bagi orang lain :)
Bandung, 19 Mei 2018
ASN
Comments
Post a Comment