Sudah Cukup Ilmunya?
“Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat.”
“Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina.”
Terlepas dari shahih atau tidaknya, kedua ungkapan tersebut sering saya jumpai di SD saya dulu. Biasanya tertulis dan terhias rapi di atas sebuah papan styrofoam persegi panjang, lengkap dengan tulisan Arab-nya yang ukurannya lebih besar dibanding terjemahannya, kemudian dibungkus plastik transparan dan ditempel kokoh di dinding tangga maupun di koridor sekolah. Mungkin saking seringnya membaca, keduanya begitu menempel di ingatan saya hingga sekarang.
Alhamdulillah, saya disekolahkan di TK dan SD Islam At-Taufiq, dekat rumah saya di Jakarta. Dengan begitu, saya punya basic ilmu agama Islam yang cukup baik (menurut saya), mulai dari aspek akidah, ibadah, fiqih, akhlak, hingga sejarah Islam.
Begitu memasuki SMP dan SMA negeri, alhamdulillah saya masih cukup memegang teguh ilmu agama Islam yang saya miliki. Seminimal-minimalnya, saya masih mendirikan sholat dan berpuasa di bulan Ramadhan. Untuk ibadah lainnya, masih saya lakukan sesekali dan belum terlalu rutin. Selain itu, karena berasal dari SD Islam, alhamdulillah ilmu agama saya (secara akademik) sedikit lebih tinggi di antara beberapa teman yang lain. Jadi, saya merasa sudah cukup akan ilmu agama yang telah saya miliki.
Saya sampai di suatu pemikiran, bahwa jika nanti saya punya anak, saya akan menyekolahkan anak saya di TK dan SD Islam untuk mendapat basic ilmu agama Islam. Setelah itu, saya akan sekolahkan di SMP dan SMA negeri. Membiarkan anak saya merasakan “keras”-nya bersekolah di sekolah negeri, seperti saya dahulu. (Yaa, nggak keras-keras amat sih sebenarnya.) Tidak perlu harus selalu menyekolahkan anak di sekolah Islam mulai dari TK hingga SMA. Karena, pendidikan agama (secara intensif) di SD Islam sudah dirasa cukup.
Saat memasuki bangku perkuliahan yang di dalamnya hampir tidak ada kuliah agama (yaa ada sih lecture-nya hanya 1x tiap semester), alhamdulillah di Mabim Agama Islam, ada kegiatan “mentoring”. Kelompok mentor saya terdiri atas satu orang mentor dan enam orang mentee. Setiap minggu, kami bertemu dan diberikan suatu materi agama Islam. Begitu seterusnya, hingga sempat ada reshuffle, teman-teman mentee saya tidak ada yang lanjut kecuali saya, penambahan mentee baru, dan lain-lain.
Saat itu, saya merasa keberadaan mentoring sudah cukup untuk menjadi tempat saya belajar agama Islam. Di luar itu, saya belum punya keinginan untuk belajar lebih lanjut dengan mendatangi kajian, ta’lim rutin tiap Senin yang diadakan Asy-Syifaa’ FK Unpad, mengikuti mabit, ataupun membaca buku-buku Islam. Sekalipun pernah terbesit keinginan untuk masuk Asy-Syifaa’ (dua kali) atau pun ikut Sekolah Mentor (di tahun 2015) untuk menambah ilmu, namun kedua hal tersebut tidak ada yang terwujud. Waktu itu, saya tidak bisa mengikuti program kaderisasi Asy-Syifaa’, ditambah saya yang sudah cukup banyak mendaftar KKM menggagalkan rencana saya mendaftar Asy-Syifaa’ untuk pertama kalinya. Yang kedua kalinya, saya juga tidak bisa mengikuti program kaderisasinya karena kesibukan saya menjadi menteri di BEM fakultas. Untuk yang Skomen (Sekolah Mentor), saat itu saya masih ragu dan malu, karena saya yang belum berkerudung. Namun, alhamdulillah, akhirnya saya bisa mengikuti Skomen tahun 2016. (FYI, alasan saya akhirnya bisa ikut Skomen bisa dibaca di sini)
Dengan mengikuti Skomen, saya dipertemukan dengan saudari-saudari seiman saya yang ilmunya jauh, jauh, jauh lebih banyak dibanding saya. Ketika diminta membuat presentasi mengenai berita terkini, agama Islam, atau pun motivasi hidup (pilih salah satu), ada yang membahas mengenai Islamophobia, ada yang presentasinya berjudul “Pemuda Islam Pembangun Peradaban”, dan sejumlah tema-tema hebat lainnya. Cukup berat ya? Sedangkan saya, yaa, cukup dengan bercerita alasan saya masuk Skomen. Jauh lebih simple, hehe. Belum lagi masalah hafalan, pemahaman, ibadah, dan akhlak mereka. Saya juga masih kalah jauh. Tapi, di saat itu, saya pun masih merasa cukup-cukup saja. Toh, kami masih sama-sama belajar.
Sampailah di penghujung rangkaian Skomen, yaitu saat pelantikan mentor (selengkapnya di sini), di mana kami melafalkan deklarasi mentor dan diberikan kertas berisi kontrak mentor. Saat itu, saya sempat terpaku sejenak. Sempat muncul keraguan, apakah saya bisa menjadi seorang mentor, sedangkan ilmu saya masih sangat sedikit dan dangkal? Apalagi, ilmu yang akan dibagikan kepada calon mentee saya nanti adalah ilmu agama, yang menyangkut akhirat mereka. Apakah saya pantas? Tapi, saya teringat lagi bahwa, Allah-lah yang telah menggerakkan hati saya untuk menjadi mentor. Dengan menjadi mentor, maka kita bisa membawa seseorang menuju jalan Allah. Dengan begitu, tidak ada jalan untuk berbalik arah. Saya harus tetap melangkah. Dan satu-satunya cara untuk memantaskan diri adalah dengan memperbaiki diri, baik meningkatkan ibadah dan akhlak, maupun menambah ilmu agama yang dimiliki.
Akhirnya, saya sadar bahwa ilmu agama yang saya miliki selama ini masih belum cukup. Untuk bekal dunia saja belum cukup, apalagi untuk bekal akhirat. Untuk bekal diri sendiri saja belum cukup, apalagi untuk dibagikan kepada calon mentee saya nanti. Ya, begitulah. Sampai kapan pun, ilmu kita tidak akan pernah cukup. Maka benarlah kedua ungkapan yang saya tuliskan di awal. Tuntutlah ilmu sejak kecil hingga akhir hayat dan tuntutlah ilmu walaupun harus merantau ke tempat yang jauh. Dalam hal ini, ilmu apapun. Baik ilmu pengetahuan umum, ilmu yang sesuai dengan profesi kita, terlebih lagi ilmu agama.
Jadi, mari kita tanyakan kembali pada diri sendiri,
“Sudah cukupkah ilmu yang dimiliki?”
“…niscaya Allah mengangkat orang beriman dan memiliki ilmu diantara kalian beberapa derajat. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-Mujadilah: 11)
"Barangsiapa yang mencari satu jalan untuk menuntut ilmu niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga."
(HR. Muslim, At-Tirmidzi)
“Barangsiapa yang menginginkan dunia maka hendaklah dengan ilmu, barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaklah dengan ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan keduanya maka hendaklah dengan ilmu."
(Imam Syafi’i)
Jakarta, 12 Juni 2016
ASN
Comments
Post a Comment