Membahagiakan Orang Tua?

Sedang beristirahat dari belajar MDE, iseng buka instagram, dan melihat suatu postingan komik yang berisi dialog, “Lo pernah takut ngga sih?” “Takut apaan?” “Takut orang tua kita pergi duluan sebelum kita sempet bikin mereka bahagia.”
Menjawab pertanyaan tersebut, jujur, saya juga takut. Terlebih dengan kondisi saya saat ini, yang justru meruntuhkan semua ekspektasi tinggi orang tua yang telah saya bangun sejak saya TK.
Sewaktu TK, saya tergolong anak yang cerdas. Lulus Iqra’ pertama, cepat menyerap pelajaran, dan sempat menjadi kandidat juara. Akan tetapi, dulu saya begitu pendiam dan sangat jarang berbicara. Saya hanya berbicara ketika membaca iqra’, diminta bernyanyi, dan jika disuruh saja. Berbicara dengan teman juga cuma seperlunya. Hal itulah yang membuat saya tidak jadi mendapat predikat juara.
Naik ke tingkat SD, saya selalu juara kelas setiap tahun. Antara juara satu atau pun turun sedikit ke juara dua. Setiap tahun pula, saya selalu maju ke panggung untuk menerima piala, ditemani dengan orang tua yang sungguh bangga akan diri saya.
Berlanjut ke jenjang SMP, pun saya masih berprestasi. Juara satu atau dua setiap tahun. Bahkan, nilai Ujian Nasional saya meraih peringkat kedua di sekolah saya. Kembali saya maju ke panggung dan menerima piala. Kedua orang tua saya kembali bangga.
Hingga sampai di masa SMA, pola juara satu dan juara dua saya pun hampir sama dengan masa SMP. Dan di saat pengumuman nilai Ujian Nasional, saya kembali menuai prestasi dengan meraih nilai tertinggi jurusan IPA di sekolah saya. Kali ini, saya maju ditemani kedua orang tua saya. Ditambah lagi dengan diterimanya saya di Pendidikan Dokter Universitas Padjadjaran, Teknologi Bioproses Universitas Indonesia, dan Pendidikan Dokter Universitas Islam Negeri Jakarta. Istilahnya, kurang bangga apalagi kedua orang tua saya?
Menginjak bangku kuliah, semua pola-pola tersebut seolah berubah drastis. Saya  memulai studi dengan terseok-seok, merangkak-rangkak, dan masih trial-and-error dalam mencari cara belajar yang terbaik untuk diri saya sendiri. Di antara teman-teman saya, banyak yang jauh lebih sering berinteraksi dengan buku, banyak yang hanya butuh membaca satu kali untuk mengingat dan memahami secara utuh, jika dibandingkan dengan saya yang lebih sering punya kesibukan di luar akademik dan butuh waktu yang lebih lama untuk menguasai suatu materi. Alhasil, nilai yang saya dapat pun tidak merepresentasikan prestasi saya di masa-masa SD, SMP, hingga SMA. Saya yang dulu selalu juara, kini hanya penghuni kelas menengah yang belum pernah mencapai cum laude, namun alhamdulillah nilai IPK masih terselamatkan dari borderline. Perubahan cara pandang saya terhadap hidup pun berubah. Saya tidak seambisius dan se-nilai-oriented dulu. Bagi saya, nilai bukan masalah, asal saya sudah berusaha semaksimal mungkin dan setidaknya ada yang bisa saya pahami dari apa yang saya pelajari. 
Lantas, bagaimana dengan pandangan orang tua saya?
Sekalipun orang tua saya selalu mengatakan bahwa mereka bangga dengan saya, tapi saya merasa sebenarnya jauh di dalam lubuk hati mereka tetap ada sedikit kekecewaan (semoga saya salah). Terlebih lagi, kini justru kakak saya yang begitu membanggakan. Padahal, dulu prestasinya biasa-biasa saja ketika SD, dan mulai meningkat di SMP. Sempat terancam tidak bisa masuk jurusan IPA saat SMA kelas 1, lalu langsung termotivasi dan menjadi juara di akhir masa SMA-nya. Dan ketika memasuki masa kuliahnya, BOOM! Prestasi demi prestasi turut berdatangan. Sampai akhirnya lulus 3,5 tahun dengan predikat cum laude dan menjadi lulusan terbaik Teknik Mesin Universitas Trisakti, serta mendapat beasiswa S2 dan tawaran menjadi dosen di universitasnya. Kini, kakak saya sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Berbanding terbaik dengan saya yang kerjanya hanya bisa menghabiskan uang orang tua yang sedikit-sedikit habis karena suka makan dan urusan-urusan organisasi/kepanitiaan.
Melihat hal tersebut, saya kadang sering bingung. Bagaimana cara saya bisa membanggakan dan membahagiakan orang tua saya kembali? Untuk urusan akademik, saya tidak mau memaksa diri saya terlalu keras, karena saya juga punya kehidupan lain di luar akademik. Tidak mungkin saya keluar organisasi dan kepanitiaan demi mengejar IPK, sedangkan hidup saya justru ada di organisasi. Saya juga tidak mau memaksa diri untuk melakukan penelitian, ikut lomba karya tulis, dan melakukan hal-hal sejenis yang memang bukan passion saya. Saya juga tidak terlalu berambisi untuk mengejar prestasi dalam organisasi, karena entah kenapa, semangat saya tidak se-membara dulu lagi dalam berorganisasi. Toh, orang tua saya juga tidak teralu peduli dengan kehidupan organisasi saya. 
Akhirnya, saya sadar. Kebanggaan dan kebahagiaan orang tua dengan cara-cara yang selama ini saya pikirkan itu tidak apa-apanya dibandingkan dengan kebahagiaan mereka di akhirat nanti. Akan percuma juga jika saya bisa membahagiakan mereka di dunia, namun tidak bisa membahagiakan mereka di akhirat.
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)
Apapun yang saya lakukan saat ini, dengan segala kekurangannya, tentu tidak boleh menghambat saya untuk membahagiakan kedua orang tua saya di akhirat kelak. Saya harus menjadi anak yang shalihah. Sesederhana itu (sekalipun pada kenyataannya mungkin tidak mudah). Supaya nanti, sekiranya orang tua saya dipanggil menghadap-Nya terlebih dahulu, selalu ada do’a-do’a saya yang senantiasa mengiringi dan mempermohonkan ampunan bagi mereka berdua.
Tapi, bukan berarti kita tidak perlu membahagiakan kedua orang tua kita di dunia juga, ya. Tetap lakukan yang terbaik dalam urusan duniawi kita, sembari melakukan yang terbaik juga untuk urusan akhirat.

Bismillaahirrahmaanirrahiim. Yuk, kita sama-sama memperbaiki diri dan belajar untuk menjadi anak yang lebih shalih/shalihah. Karena, dengan begitu, insyaa Allah akan memberikan kebahagiaan bagi diri kita sendiri dan bagi kedua orang tua kita di akhirat nanti :)

Comments

Popular Posts