CTP: Cemas Tentang Passion?
Hari pertama Clinical Transition Phase (CTP) kemarin membuat saya mempertanyakan kembali, apakah menjadi dokter benar-benar passion saya. Melakukan anamnesis saja nge-blank. Otak kosong. Sudah semester akhir tapi kok ya kepala ini kopong sekali rasanya. Belum lagi harus tahan dengan tatapan meragukan para orang tua pasien yang mayoritas menyangka kami dokter–padahal belum; bahkan sarjana saja belum–tapi terkesan begitu kebingungan dan tidak menguasai apa yang dikeluhkan pasien. Atau, hanya perasaan saya saja ya?
Tapi, perjalanan sudah sejauh ini.
Di sisi lain, saya selalu membayangkan saat dimana saya sudah bisa menganamnesis dengan lancar dan mengarah ke diagnosis, melakukan pemeriksaan fisik secara tepat dan sesuai kebutuhan, mendiagnosis secara akurat, memberikan obat sesuai indikasi dan karakteristik pasien, serta mengedukasi pasien secara komprehensif dengan bahasa yang mudah dimengerti dan menghasilkan tingkat kepatuhan yang tinggi.
Ah, bisa kok!
Terkadang, bukan kita yang harus mengikuti passion, karena passion tidak selalu muncul di saat yang kita inginkan. Terkadang, kita harus fokus dengan apa yang dikerjakan; nanti juga passion akan datang dengan sendirinya!
Saya pun ingat cita-cita saya yang lain. Saya selalu ingin menjadi dokter sekaligus jurnalis. Kalau ingin menjadi jurnalis saja (tanpa mengurangi rasa hormat dan kagum saya terhadap profesi jurnalis), tentu keinginan saya sudah terlambat, karena menurut Bu Ira (dosen Fikom), kalau mau belajar jurnalistik ya tempatnya di pendidikan sarjana, bukan di magister. Dan tentu saja, jurnalis di bidang kesehatan masih belum banyak. Tidak mungkin kan kita memaksa anak jurnalistik belajar materi-materi kesehatan untuk bisa memahami sepenuhnya dunia kesehatan dan seluk-beluknya? Oleh karena itu, bagaimanapun juga, saya tetap harus menjadi dokter terlebih dahulu sebelum menjadi jurnalis (kesehatan) nantinya!
Satu hal lagi yang baru saya sadari. Ternyata, semua ini ada di luar comfort zone saya. Yap, di situlah intinya. Ketimbang menjadi terlena dalam kenyamanan, ketidaknyamanan ini justru semakin mendesak saya untuk memacu diri, memaksimalisasi potensi, dan melampaui batas yang sesungguhnya hanya ada dalam pikiran saya!
Ingat, Allah masih dan selalu ada kok!
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan.” (QS Al-Insyirah: 5-6)
Yakinlah, ada sesuatu yang menantimu setelah banyak kesabaran (yang kau jalani), yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa betapa pedihnya rasa sakit. (Ali bin Abi Thalib)
Bandung, 19 September 2017
ASN
Comments
Post a Comment