Jatinangor, 29 November (Hujan)
Di hari penuh kebanggaan itu. Hujan turun. Rintik-rintik. Gerimis. Deras. Hujan yang tak diharapkan. Hujan yang menyusahkan. Hujan yang menggagalkan hampir segala sesuatu. Aku benci hujan.
Ternyata, tak seburuk itu. Hujan mendadak menjadi anugerah. Hujan yang membahagiakan. Hujan yang menggembirakan. Kami bermain dengan hujan. Bernyanyi dalam hujan. Menari dalam hujan.
Aku tak peduli lagi dengan kameraku yang basah. Dan payung yang kugenggam sejak tadi seolah kehilangan fungsinya--kuletakkan begitu saja. Aku pun larut dalam kerumunan. Dengan tali kamera yang masih melingkari leher. Dan kamera yang menggelantung bebas. Bernyanyi dan menari dalam hujan. Tak peduli kamera itu menghantam perutku berkali-kali. Akibat gerak lincahku yang tak terkontrol lagi. Aku terus bermain dengan hujan. Bernyanyi dalam hujan. Menari dalam hujan. Larut dalam hujan.
Aku bahagia saat mereka menarikmu ke tengah. Bahagia bisa melihatmu turut larut. Bahagia bisa bernyanyi dan menari bersamamu. Bahagia pernah terlarut bersamamu. Bahagia pernah dipersatukan denganmu di bawah naungan langit kelabu. Bahagia pernah dipersatukan denganmu oleh suatu cuaca: hujan. Aku cinta hujan. Rasa yang sama. Seperti yang kurasakan padamu.
Bahkan gelapnya malam tak jadi penghalang. Malam justru memberikan daya magisnya. Malam, hujan, dan dirimu di atas sana. Ucapan terima kasih dan senyuman yang terjuntai. Di bawah langit hitam pekat. Larut dalam derasnya hujan. Larut dalam gelapnya malam. Larut dalam alam khayal. Larut dalam angan-angan. "Seandainya waktu dapat berhenti."
Jatinangor, 29 November 2014
Terima kasih hujan. Terima kasih langit kelabu. Terima kasih langit hitam. Terima kasih malam gelap. Terima kasih para rekan sejawat. Terima kasih atas kedatanganmu. Terima kasih Jatinangor. Terima kasih probabilitas yang menjadi posibilitas.
Comments
Post a Comment