Malam Penuh Sesak, Penuh Sesal
Wanita muda itu usianya hanya 22 tahun. Lebih muda dua tahun dari dokter jaga ruangan rawat inap malam itu. Berlatar di bangsal penyakit dalam kamar 8. Lengkap dengan monitor yang telah tersambung dengan sejumlah elektroda di dadanya.
Ia datang dengan penurunan kesadaran, anemia, dan ketidakseimbangan elektrolit. Anemia dan ketidakseimbangan elektrolit telah teratasi, terbukti dengan hasil hemoglobin dan natrium terbaru pasca-transfusi dan pasca-koreksi natrium. Namun, kesadarannya tetap tidak membaik. Tidak tampak kelainan neurologis yang bisa diperiksa menggunakan palu refleks. Sudah dikonsulkan ke spesialis saraf, baru mendapat jadwal CT scan dua hari lagi.
Malam itu, ia tampak sesak. Dokter jaga memeriksa saturasi oksigen, ternyata memang turun. Didukung dengan napasnya yang semakin menggebu-gebu. Digantilah selang oksigen yang tadinya hanya berupa nasal canule menjadi non-rebreathing mask yang mampu menghantarkan oksigen dalam kadar yang lebih banyak.
Diraba badannya, panas. Diukur suhunya, 40 derajat Celcius; tidak kurang. Segera dimasukkan infus paracetamol, ‘diguyur’ hingga habis satu gram. Nadi mulai meningkat hingga 150 kali per menit. Dokter jaga masih berpikir, barangkali ini adalah efek demam. Karena normalnya, kenaikan suhu tubuh akan meningkatkan laju nadi pula.
Perburukan. Sang perawat mengingatkan si dokter jaga untuk melakukan informed consent, alias menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa saat ini kondisinya sedang perburukan, bahkan kondisi ini nantinya bisa menyebabkan henti napas dan henti jantung; dengan kata lain, kematian. Menanggapi hal itu, suami pasien hanya bisa pasrah, dengan wajah datar seolah tak berekspresi. Berbeda dengan sang ayah yang menyatakan, "Ya, kalau udah waktunya dipanggil mah, ya kita bisa apa ya. Hahaha. Ya, kalau ga dibawa ketawa mah, stres, Dok." Masih bisa tersenyum dan tertawa, bahkan di kondisi seperti ini. Kuat sekali, pikirnya.
Observasi berlanjut. Tiba-tiba monitor menunjukkan frekuensi nadi yang luar biasa tinggi. 210 kali per menit. Dokter itu berinisiatif melakukan pemeriksaan rekam jantung alias EKG, bersama dengan perawat. Setelah kertas EKG tercetak, ia hendak mengonsultasikan sandi-sandi rumput itu kepada sang dokter spesialis penyakit dalam. Spesial, konsultasi kali ini langsung ditujukan kepada satu dari tiga spesialis yang dianggap paling ahli terkait jantung.
Sambil harap-harap cemas dan bolak-balik mengobservasi pasien itu dan pasien lain, ia menunggu jawaban dari sang spesialis. Ada balasan! Sayangnya, beliau tidak memberi balasan terkait hasil EKG. Tidak menyerah, ia tanyakan kembali tata laksana untuk kondisi jantungnya.
Beberapa saat berlalu, masih belum ada balasan. Sayangnya, ia tidak bisa hanya fokus di satu pasien, karena masih ada beberapa pasien lain yang membutuhkannya, dan tak bisa pula ia tinggalkan. Di saat-saat genting seperti ini, otaknya seringkali mendadak beku. Tidak terpikir olehnya bahwa hasil EKG menunjukkan supraventricular tachycardia, yang harusnya bisa ia tangani sendiri, hanya jika tersedia obat-obatan yang diperlukan. Namun gambaran EKG yang berbeda dari apa yang biasa terpampang di buku, serta perlunya menangani pasien-pasien lain, jadi mengeruhkan pikirannya dan membuatnya bergantung pada sang spesialis.
Sampai akhirnya, dokter jaga kembali dipanggil untuk memeriksa. Kali ini, sang ayah yang menyatakan bahwa tampaknya si anak sudah tinggal ‘sedikit’ lagi. Datanglah ia bersama dengan perawat. Benar saja, napasnya mulai ‘satu-satu’. Laju nadi masih tetap tinggi, namun denyut nadi di pergelangan tangan mulai tidak teraba. Dilakukanlah bagging alias pemberian napas buatan dengan sungkup oksigen yang dipompa secara manual oleh tangan, sembari tersambung ke regulator oksigen. Saturasi justru semakin menurun. Sepertinya ada masalah dengan ambu bag-nya. Dipasangkanlah kembali non-rebreathing mask. Saturasi naik kembali, hanya saja tidak bisa maksimal. Nadi semakin melemah. Melemah. Melemah. Hilang.
Sementara itu, gambaran EKG di monitor sudah mulai tidak karuan. Terkadang nadinya cepat, lalu melambat. Melambat lagi, lagi, lagi. Lalu mendatar.
Ibu pasien sedari tadi sudah mulai menangis. Si ayah tidak tampak ada di dalam ruangan. Sang suami masih setia di sisi tempat tidur bagian bawah, masih dengan wajah-datar-tanpa-ekspresi-nya.
Dokter jaga meminta izin untuk melakukan resusitasi jantung paru. "Ya, diusahain aja dulu, Dok," ucapnya pasrah. Perawat langsung mengambil posisi dan melakukannya selama beberapa siklus. Sebelumnya, dokter itu sudah memeriksa kedua pupil matanya. Refleks cahaya nihil. Normalnya, pupil akan mengecil ketika disinari. Namun ini tidak. Pupil juga sudah midriasis maksimal, alias melebar. Menandakan sudah adanya kematian batang otak. Yang menjadi ironi adalah, di saat itu, dokter dan perawat sudah paham bahwa pasien telah tiada. Setidaknya, secara teori. Kalau bicara tentang keajaiban Tuhan, itu lain lagi. Sedangkan, keluarga masih menganggapnya ‘ada’ dan masih mengharapkannya kembali lagi.
Akhirnya, dokter itu mengambil keputusan untuk melakukan pemeriksaan EKG. Tanpa bermaksud untuk playing God. Ia mungkin hanya tak memiliki cukup banyak ilmu dan pengalaman untuk menghadapi situasi seperti ini. Karena sepengetahuannya, tanda-tanda kematian batang otak pada pasien sama saja dengan sambutan akan kedatangan Izrail.
Dan kembali lagi, ia harus menyaksikan garis-garis datar pada lembar EKG yang baru tercetak. Tangannya kembali harus meraih lembaran itu. Dengan menarik napas dalam. Ia tatap mata sang suami pasien lekat-lekat. Ini selalu berat. Menyatakan kematian. Sekalipun ini sudah yang ke-delapan kalinya. Sembari menunjukkan garis-garis datar dan menjelaskannya. Lalu mendoakan agar meninggalnya dalam keadaan baik, diampuni dosanya, serta keluarga yang ditinggalkannya diberi ketabahan. Padahal, format kalimatnya selalu sama. Tapi tetap saja berat.
Ibu pasien yang sudah menangis sejak awal, kini semakin histeris. Bisa terbayangkan jika seorang ibu harus kehilangan anak perempuannya yang masih muda. Pun suaminya, yang sejak awal berwajah datar seolah tanpa ekspresi, kini turut pula meneteskan air mata. Kemudian meminta maaf ke mendiang istrinya. Apalagi, mereka sudah dikaruniai seorang anak yang mulai detik ini menjadi piatu.
Melihat pemandangan itu, sang dokter jaga kembali mencoba menahan air matanya yang mulai membasahi kornea. Sambil melepaskan tiap piece EKG dan memutar regulator oksigen kembali ke angka nol. Ia mulai tinggalkan ruangan. Namun, ia bertemu lagi dengan ibu pasien sesaat sebelum keluar pintu kamar. Sang ibu berterima kasih, sembari memeluk dokter itu. Tak terbendung sudah, air mata yang sedari tadi berusaha untuk tidak dikeluarkan. Ia berusaha menenangkan sang ibu dengan lafaznya yang turut bergetar.
Malam itu adalah pernyataan kematian yang paling emosional baginya. Penuh sesak dan sesal. Seandainya ia bisa menolongnya dan menyelamatkan nyawanya. Tapi, semua tentu sudah diatur-Nya. Belajar lagi ya, Dok.
Selamat jalan. Semoga Ia mengampuni segala dosanya. Dosa pasien dan keluarganya, beserta dokter jaga di malam itu. Tidurlah dengan tenang, tanpa sesak dan sesal.
Jakarta-Cileungsi, 26 Mei 2020
ASN
Comments
Post a Comment