Kontras



Sangatlah manusiawi jika dokter, perawat, atau tenaga medis lainnya merasa kesal akan pasien maupun keluarga pasien yang tergolong ‘rewel’. Bagaimana tidak. Semua upaya perawatan terbaik yang bisa dilakukan, telah diusahakan. Kadar oksigen yang diberikan sudah disesuaikan dengan hasil analisis gas darah; tidaklah sembarangan. Cuci darah sudah dilakukan berkali-kali mengingat kadar ureum dan kreatinin-nya selalu tinggi; menandakan adanya kegagalan pada ginjal yang sudah kronis, menahun. Begitu pula obat-obatan penunjang lainnya guna mengurangi bengkak pada tangan dan kakinya, serta sesak napasnya yang merupakan akibat dari kombinasi gagal jantung dan ginjal. 

Awalnya, Pak Raja jarang didampingi oleh keluarganya di ruang rawat isolasi paru (hampir lupa, ia juga menderita tuberkulosis). Yang paling setia di sisinya adalah Pak Budi yang tak lain merupakan sopir pribadinya. Usia mereka berdua tampak tak jauh berbeda. Sama-sama lansia di atas enam puluh tahun.

Pak Raja seringkali mengeluhkan sesak napas. Tentu saja. Semua kombinasi penyakitnya memang berkolaborasi secara sinergis untuk menyebabkan keluhan tersebut. Kalaulah ia merasa sesak, pastilah ia menyuruh Pak Budi untuk memanggil perawat dan dokter untuk memeriksanya. Berkali-kali dalam sehari. Setelah diperiksa dan dilaporkan kepada dokter spesialis terkait, advisnya hampir selalu sama. Terapi lanjut. Edukasi pasien dan keluarga. Semua pengobatan sudah disesuaikan. Tidak mungkin diberikan melebihi dosis. Apa boleh buat? Berkali-kali, berhari-hari seperti itu. 

Pernah suatu ketika, istrinya datang. Tak jauh berbeda, istrinya juga sama ‘rewel’-nya. Namun, satu hal yang kami tangkap adalah istrinya terlihat kesal dengan kondisi ini. Tampak tidak menerima, juga menganggap penyakit suaminya adalah beban baginya. Dalam hal ini, kami merasa iba dengan Pak Raja. Ditambah anak-anaknya juga nyaris tidak pernah menjaganya. Tapi, ah, siapalah kami ini. Tidaklah sedikitpun kami berhak menghakimi. Yang bisa kami lakukan hanyalah melakukan pelayanan dan perawatan yang terbaik, yang kami mampu. Itu saja. 

Pada kesempatan lainnya, tatkala aku bertugas memeriksa semua pasien dengan penyakit paru, yang ku temui di samping Pak Raja adalah seorang wanita dengan usia tak jauh berbeda darinya. Wanita itu tidak lebih tinggi, namun terlihat lebih bersahabat dibanding istrinya. Ia merupakan adik dari Pak Raja. Kali ini, Pak Raja seolah ‘melunak’. Lebih dari itu. Kontras. Pak Raja menangis sembari berbincang dengan sang adik yang juga berderai air mata. "Iya, semoga yang terbaik aja ya. Mudah-mudahan bisa sembuh," rintih sang adik, mengadu kepadaku. Begitu juga Pak Raja yang sesungguhnya, ucapannya tak bisa ku dengar dengan jelas. Aku mencoba menenangkan mereka berdua yang tengah penuh haru.

Waktu terus berjalan sebagaimana mestinya. Semakin merenggut segala hal yang memang tak abadi. Pun, kondisi kesehatan Pak Raja yang kian memburuk. Kini, ia alami penurunan kesadaran. Tak ada lagi keluhan ‘sesak’, ‘tidak bisa tidur’, atau ‘nyeri leher’ keluar dari mulutnya. Setelah dirangsang nyeri sekali pun, tangannya tidak berusaha menepis jemariku yang menekan-nekan ujung atas tulang sternum-nya. Kedua kelopak matanya enggan membuka. Satu kata: koma. 

Dalam kondisi demikian, untungnya sang istri setia mendampinginya. Lagi, pemandangan kontras yang ku saksikan. Hilang sudah semua kemarahan-kemarahan yang pernah ia lontarkan pada suaminya, Pak Budi, maupun para tenaga medis. Ia pegangi tangan suaminya. Air mata mengalir di sela-sela wajahnya. Sebagai dokter jaga, aku berusaha menjelaskan kondisi suaminya. 

"Ya, yang namanya umur kan semua kuasa Allah ya. Kalau emang waktunya dipanggil, saya udah ikhlas aja, Dok. Yang penting kita udah berusaha maksimal," ucapnya lirih. Sungguh di luar ekspektasiku. Padahal, menurut sejawatku yang kemarin dinas di ruangan ini, istri dan keluarganya sama-sama tidak terima atas kondisi perburukan yang dialami Pak Raja. Semuanya murka, mencoba menyalahkan para tenaga medis, bahkan mengancam ingin menuntut. Untung saja, sekarang mereka sudah mulai bisa menerimanya. 

Aku beranjak memeriksa pasien lain dalam satu kamar yang sama. Sewaktu aku kenakan stetoskop ke telinga, samar-samar aku mendengar suara dari arah tempat tidur Pak Raja. "Pa, maafin Mama ya..." kata sang istri semakin lirih. Aku menghentikan pemeriksaanku sejenak. Seraya melayangkan pandanganku ke sumber suara itu. Hatiku turut hancur pula dibuatnya. Sungguh, ini bukanlah pemandangan yang ku harapkan. Aku selalu berkeinginan untuk melihat pasien-pasienku sembuh dari sakitnya dan pulang dengan sunggingan senyum yang paling lebar. 

Selesai memeriksa para pasien, aku kembali ke nurse station dan mulai melaporkan kondisi pasien ke spesialis terkait. Tiba-tiba, istri Pak Raja mendatangi kami dengan tersenyum. Tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ia berterima kasih dan mengatakan bahwa kondisi suaminya sudah membaik. Katanya, tadi Pak Raja sudah mulai menggerakkan tangannya. Aku ikut bahagia mendengarnya dan berharap bahwa ini adalah pertanda baik. Akan tetapi, ketika aku memeriksanya kembali, hasilnya sama saja. Tak ada perubahan dari pemeriksaan terakhirku. 

Tak disangka, barangkali kondisi ‘perbaikan’ yang disaksikan oleh istrinya merupakan ‘salam perpisahan’ baginya. Ya, itu adalah pemeriksaanku yang terakhir terhadapnya, sebelum akhirnya ia menghembuskan napas terakhir, di dini hari esoknya. 

Selamat jalan, Pak Raja. Semoga Surga, yang ditemui di akhir masa. 

Jakarta, 4 Juni 2020 
ASN

Comments

Popular Posts