Berita Kematian - bagian 2 dan 3



[2] Iyen, 62 tahun, kanker payudara, 26 Februari 2020 

Bu Iyen, seorang wanita berusia 62 tahun yang baru saja masuk ke bangsal penyakit dalam di hari pertama saya dinas, yaitu di hari Senin, dua hari lalu. Sewaktu saya periksa, keluhan utamanya adalah sesak. Bagaimana tidak, kanker di payudara kirinya sudah sedemikian menyebar hingga menimbulkan efusi pleura atau adanya penumpukan cairan di antara dua lapisan pleura yang berfungsi sebagai pelumas bagi paru-paru. Penyebaran kankernya juga sudah menyumbat aliran pembuluh limfe di ketiak, sehingga lengan kirinya menjadi bengkak. Bu Iyen sudah dikonsulkan kepada dokter spesialis bedah, mengenai apakah perlu untuk dilakukan penyedotan cairan yang ada di lapisan pleura-nya. Salah satu dokter bedah terbaik yang kami miliki, dr. Tri sudah menyatakan bahwa penyedotan cairan ini tidak akan memberikan manfaat yang banyak. Karena tidak peduli seberapa banyak pun cairan yang disedot, cairan itu akan kembali memenuhi rongga pleura, sehingga nantinya akan tetap menimbulkan sesak. 

Akhirnya, diputuskan untuk merujuk pasien ke Rumah Sakit Kanker Dharmais di Jakarta. Sore itu juga, saya buatkan surat rujukan ke sana dan menghubungi rumah sakit terkait. Keluarga Bu Iyen pun sudah bolak-balik menanyakan surat rujukan tersebut. Setelah saya jelaskan ulang dan memberitahukan bahwa rujukan sedang dalam proses, barulah keluarga beliau lebih tenang. 

Waktu terus berjalan hingga menginjak pukul delapan malam. Saya yang mulai kelaparan, kembali masuk ke kamar jaga dokter, berniat untuk makan telur rebus yang saya bawa. Baru saja saya ketuk-ketuk telur ke meja, tiba-tiba Kang Ruli, perawat jaga malam ini mengetuk pintu. "Dok, Bu Iyen apneu," katanya. Lupakan telur rebus, saya langsung bergegas ke kamar VIP tempat Bu Iyen dirawat, tidak lupa dengan mengalungkan stetoskop. 

Di dalam, keluarga yang berjumlah lebih dari lima orang sudah berkumpul semua. Ada yang menangis, ada yang tampak cemas, ada yang mulai berdoa membacakan ayat suci. Jari telunjuk dan jari tengah langsung saya tempelkan ke nadi karotis. Tidak ada denyut. Saya masih ingin memastikan dengan menempelkan stetoskop ke dada. Tidak ada suara.

Melihat saya masih sedikit bingung, Kang Ruli mengingatkan, "Informed consent RJP, Dok. Sama risikonya." Saya pun menjelaskan kepada para keluarga bahwa saat ini kondisi Bu Iyen sedang henti napas dan henti jantung. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan pijat jantung-paru, dengan risiko bisa mematahkan tulang rusuk. Kemudian saya minta persetujuan keluarga. Saya pun memandangi mereka satu-persatu, khususnya sang anak laki-laki yang sejak tadi paling aktif dan tampak paling diandalkan dalam hal ini. "Gimana, Pak, Bu? Keputusan keluarga gimana? Ini harus cepet," Kang Ruli menegaskan agar keluarga cepat mengambil keputusan, apakah setuju atau tidak untuk dilakukan RJP. Awalnya, saya mengira keluarga akan setuju dan masih mengharapkan usaha yang semaksimal mungkin. Ternyata, mereka pun pasrah dan menolak. "Nggak usah, Dok," kata anak laki-lakinya yang usianya mungkin sekitar 40-an. 

Sesuai prosedur, pemeriksaan EKG pun dilakukan. Singkat dan mudah saja, cetakan pertama langsung menghasilkan garis-garis datar di semua lead. Kang Ruli pun menyerahkan kertas EKG ke tangan saya. Inilah waktunya. Kedua kalinya, saya harus kembali menjadi orang yang memberitakan kematian. 

"Pak, Bu. Saat ini, Bu Iyen sudah meninggal dunia. Semoga amal ibadah Bu Iyen diterima dan diampuni segala dosanya. Dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan." Masih dengan format yang sama dengan kemarin. Masih dengan air mata yang ingin ikut keluar, ditambah dengan pecahnya tangisan keluarga. Saya dan para perawat saling membantu melepaskan EKG dari tubuh beliau, memutar regulator oksigen kembali ke angka nol, kemudian keluar kamar VIP meninggalkan keluarga yang sedang berduka. Dada saya masih sesak. Baru saja setelah menghadapi kematian pertama di hari kemarin, saya sempat terpikir untuk mencari tahu seperti apa breaking bad news yang baik. Belum sempat mencari, ternyata hari ini saya harus menghadapinya kembali. Ditambah lagi, ini nyaris sama seperti kematian di hari kemarin. Baru saja saya buatkan surat rujukan ke rumah sakit yang lebih kompeten untuk merawatnya, namun ternyata Allah sudah memanggil mereka terlebih dahulu. 



[3] Ela, 21 tahun, Meig syndrome, 27 Februari 2020

Masih di malam yang sama, namun sudah tanggal sudah berganti. Setelah tugas-tugas terselesaikan, saya masih duduk di nurse station bangsal penyakit dalam. "Istirahat aja, Dok," ujar Kang Ruli kepada saya. Saya lihat jam di gawai, ternyata sudah pukul setengah satu dini hari. Saya pun masuk ke dalam kamar jaga, lalu bersiap untuk tidur. Karena saya cenderung berada dalam kondisi ‘waspada’ setiap jaga malam, alhasil saya baru bisa benar-benar terlelap setelah satu jam memejamkan mata di tempat tidur. 

Sekitar pukul tiga pagi, saya sempat terbangun sebentar karena mendengar suara tempat tidur pasien yang didorong. "Ah, pasien baru nih kayaknya," pikir saya. Salah satu tugas kami saat jaga bangsal adalah memeriksa ulang pasien yang baru masuk dalam waktu maksimal 1x24 jam. Namun, karena masih sangat lelah dan umumnya pasien dewasa kondisinya cenderung stabil, maka saya kembali tidur dan berniat akan memeriksanya nanti setelah shalat Subuh. 

Setengah jam kemudian, Kang Ruli kembali mengetuk pintu kamar jaga. Saya refleks bangkit dari tempat tidur, langsung berjalan ke arah pintu dan membuka pintu. Saya tanya, "Ada apa, Kang?" "Ada pasien apneu, Dok. Yang baru masuk," kedua kalinya, Kang Ruli menyatakan hal yang sama. Seketika, saya langsung sadar penuh. Dalam kondisi kamar jaga yang masih gelap, saya berusaha mengingat di mana saya letakkan stetoskop dan gawai saya. Kemudian saya segera menuju kamar si pasien. 

Tampaklah seorang perempuan muda dengan non-rebreather mask, yaitu jenis masker oksigen paling maksimal yang bisa diberikan ke pasien. "Permisi ya, Bu. Mau diperiksa dulu sama dokter," Kang Ruli membukakan jalan bagi saya. Seperti biasa, raba nadi karotis. Salah satu keluarga pasien bertanya, "Gimana, Dok, masih ada (baca: masih hidup) ngga?" Miris rasanya mendengarnya. Sebagai tenaga medis, tentu kami sangat memahami bahwa tak terabanya nadi karotis merupakan pertanda yang sangat buruk. Pertanyaan semacam itu menandakan bahwa mereka benar-benar menunggu pernyataan dari saya, sang dokter jaga, sekaligus ‘hakim’ yang berhak menyatakan apakah seseorang masih hidup atau telah kembali pada-Nya. 

Entah mengapa, saya tetap penasaran dan tetap mencoba melakukan auskultasi, siapa tahu masih ada bunyi jantung/napas. Siapa tahu indera perabaan saya tadi yang kurang baik. Namun, hasilnya sama saja. Lagi-lagi, saya lakukan informed consent terkait tindakan RJP, beserta dengan risikonya. Salah seorang keluarga pasien menjawab, "Jangan di-gitu-gituin, Dok.." sambil menangis dan memeragakan gerakan RJP. Karena sudah ada penolakan, maka sekarang waktunya pemeriksaan EKG. Ternyata, keluarga pasien juga sudah menandatangani pernyataan do not resuscitate (DNR) yaitu penolakan tindakan RJP saat di IGD. 

Cetakan EKG pertama, masih ada sedikit aktivitas listrik jantung yang terekam, di antara sebagian besar garis datar. Kemungkinan masih ada pengaruh dari dopamin atau dobutamin yang sempat disuntikkan di IGD tadi. Kemudian dilakukan pencetakan kedua, lalu seperti biasa, kertas EKG diserahkan oleh perawat ke tangan saya. Kali ketiga, masih sama saja beratnya. Saya harus mengatur napas terlebih dahulu, sebelum akhirnya menyampaikan berita kematian. Seorang ibu-ibu yang sepertinya adalah ibu pasien, sontak histeris. "Yaa Allah, Eneeeng!" tangisnya seketika pecah. Saya bisa membayangkan betapa sedihnya seorang ibu yang ditinggalkan anak perempuannya yang masih muda. Bahkan masih lebih muda dari saya. Mendengar hal itu, membuat saya hampir tidak bisa menahan tangis. Kemudian si ibu terjatuh ke lantai, lalu meraung-raung, hingga akhirnya dipindahkan ke luar kamar oleh keluarga yang lain. 

Saya pun meninggalkan ruangan dan ikut terbawa emosi. Pertama, saya tidak menyangka bahwa ini adalah kematian kedua dalam semalam. Bahkan, ini baru dinas ketiga saya, dari total tiga bulan dinas di bangsal rawat inap. Kedua, melihat kenyataan bahwa seorang ibu baru saja kehilangan anak perempuannya, membuat saya tidak kuasa menahan tangis. Mungkin hanya satu atau dua tetes. Tapi saya coba tepis kembali semua emosi itu. Bagaimana pun, saya harus kembali fokus. Fokus kembali. Tulis surat kematian, tulis kronologis kematian, melaporkan kematian ke dokter spesialis yang merawat, lalu menyelesaikan jaga malam dengan baik. Jadikan kematian sebagai pengingat bahwasanya ia bisa mendatangi siapa saja, kapan saja, dalam kondisi apa saja. 

Cileungsi, 8 April 2020 
ASN

Comments

Popular Posts