Berita Kematian - bagian 1
[1] Syaiful, Leukemia Akut, 24 Februari 2020, 14.20
Jaga pagi kali ini adalah jaga pagi kedua saya yang mengharuskan diri ini cukup sigap untuk bolak-balik dari ruang Alamanda (obgin), Mawar (penyakit dalam), dan Fresia (penyakit dalam). Awalnya, saya mengikuti visite konsulen di ruang Fresia dan Mawar, sebelum akhirnya kembali ke ruang Alamanda untuk menyelesaikan tugas ‘menggantikan’ visite konsulen yang pada hari itu memang tidak terjadwal. Setelah selesai mengunjungi setiap pasien obgin dan melaporkan kepada sang konsulen on call, saya melanjutkannya dengan menuliskan segala advis ke masing-masing status.
Tiba-tiba, HP konsul yang saya letakkan di meja berbunyi dan bergetar. Sebuah panggilan masuk dari Mas Dede, perawat Fresia. "Dok, ke Fresia ya. Ada pasien perburukan," katanya. Tanpa pikir panjang, saya langsung berjalan--setengah berlari--ke Fresia. Pasien perburukan itu adalah Pak Syaiful, seorang pemuda berusia 26 tahun yang mengidap leukemia akut. Baru saja beberapa saat yang lalu, saya membuatkannya surat rujukan untuk mencari rumah sakit yang memiliki spesialis penyakit dalam konsultan hematologi-onkologi medik.
Saya masuk ke dalam kamarnya. Keluarganya sudah mengelilingi dan sudah mulai membacakan ayat-ayat suci. Pertama, periksa kesadaran. Mata masih terbuka dengan spontan. Dari mulutnya masih terdengar suara, walau tidak jelas. Saya coba cek rangsang nyeri dengan menekan lekukan jari tengah saya ke bagian sternumnya. Tangannya merespon. Tampak seperti menjauhi rangsang, tapi sepintas mirip postur deserebrasi. Di otak saya belum tergambar akan apa yang menjadi penyebab penurunan kesadarannya. Beruntung, perawat yang membersamai saya berinisiatif untuk memeriksa gula darah sewaktu. Namun, hasilnya normal.
Saya menuju ke meja perawat. Beruntung, ada dr. Nina, sang pembimbing internship kami di rawat inap. Beliau menyuruh saya untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis penyakit dalam, yaitu dr. Yayan. Awalnya saya mau menghubunginya via Whatsapp, namun saya disarankan untuk langsung menemuinya di poli sambil membawa statusnya.
Dengan setengah berlari, saya melangkahkan kaki ke poli penyakit dalam. Pasien di hari itu sedang sangat banyak, tapi alhamdulillah setelah perawat poli meletakkan status di meja dr. Yayan, beliau langsung memanggil saya. Setelah dilaporkan, beliau menginstruksikan untuk konsultasi ke spesialis saraf dan memeriksa ureum, kreatinin, serta elektrolit. Menurut beliau, kemungkinan terjadi stroke akibat terlalu banyaknya leukosit yang beredar di pembuluh darah.
Kembali, saya setengah berlari ke ruang Fresia. Dokter Nina yang masih ada di tempat yang sama, menyarankan saya untuk melakukan pemeriksaan neurologis yang benar sebelum konsul. Ketika saya cek ulang kesadaran pasien, kali ini sudah tidak ada respon terhadap nyeri. Mata sudah tertutup. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Tangisan keluarganya menjadi lebih lirih. Begitu pula lantunan ayat suci yang lebih khusyuk. Refleks fisiologisnya masih ada. Refleks patologis terlewat karena tidak terlintas dalam pikiran. Terdapat lateralisasi ke kiri. Kondisinya koma.
Saya keluar lagi dari kamar pasien, kembali ke meja perawat dan berkonsentrasi membuat laporan konsul ke dokter saraf. Lalu salah seorang keluarga Pak Syaiful mendatangi kami, meminta untuk melihat beliau sekali lagi.
Yang saya temui kali ini adalah sesosok pemuda yang terbujur kaku. Jari telunjuk dan tengah saya lansgung meraba nadi karotis. Tidak ada denyut. Masih belum yakin, malah meraba nadi radialis. Makin tidak ada. Masih berusaha, saya tempelkan stetoskop ke dadanya. Yang terdengar hanyalah suara gesekan antara membran stetoskop dengan kulit, bukan detak jantung maupun suara napas.
"Sebentar ya, Bu, Pak," kata saya kepada para keluarga, sembari berlarian keluar untuk meminta pertolongan dari para perawat. "Pasiennya apneu," singkat saja, kemudian mereka memakai sarung tangan, masker, membawa mesin EKG, dan ambu bag.
Satu orang perawat langsung dalam posisi siap untuk RJP. Namun, sejujurnya saya sedikit lupa akan apa yang terjadi. Apakah ada yang sudah melakukan informed consent untuk RJP, atau sudah ada penolakan atau tidak. Seingat saya, keluarga menolak. Sehingga kami langsung memasangkan EKG di semua lead. Datar. Dalam cetakan pertama dan kedua. Kemudian hasil EKG diserahkan kepada saya. Waktunya saya menyampaikan berita kematian ini kepada para keluarga.
Ini kali pertama harus melakukan breaking bad news kematian kepada keluarga pasien. Saya tidak pernah mempersiapkan ini sebelumnya. Dan tidak terpikir juga bahwa akan menghadapi kematian pasien di hari kedua dinas. Saya coba menarik napas. Sekali. Dua kali. Melihat raut sedih di wajah para keluarga pasien, air mata saya tiba-tiba mendesak ingin ikut keluar juga.
"Pak, Bu... Pak Syaiful sudah meninggal ya..."
Tangisan mereka langsung pecah. Kelenjar lakrimal saya pun ingin ikut berpartisipasi. Saya coba mengatur napas, kemudian berusaha melanjutkan perkataan, sekalipun bingung harus menyatakan apa.
"Bisa dilihat ya, ini hasil rekam jantungnya udah datar. Kemungkinan besar meninggalnya karena sel darah putihnya terlalu banyak. Bapaknya nggak kuat. Jadinya bikin pembuluh darah di otak pecah.." itu yang terpikir tentang patofosiologi stroke terkait leukemia. Padahal, yang lebih tepat sepertinya kondisi leukostasis, yang membuat pembuluh darah di otaknya tersumbat/iskemik, bukannya perdarahan/hemoragik.
"Kalau dari pihak kami ada kesalahan, saya mohon maaf. Semoga almarhum meninggal dalam kondisi husnul khotimah, diampuni dosanya. Dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan," tutup saya. Kemudian, semua lead EKG dilepaskan. Saya keluar dari kamar. Masih dengan air mata yang sudah berkumpul, siap dilepaskan kapan saja. Namun, saya mencoba menepis segala emosi yang saya rasakan. Saya tidak boleh ikut menangis. Saya harus kembali fokus, untuk selanjutnya membuat surat kematian dan melaporkan kematian kepada dr. Yayan.
Jakarta, 8 Maret 2020
ASN
Keterangan: nama-nama tokoh yang disebutkan bukanlah nama sebenarnya
Comments
Post a Comment