Ketika Nyawa dalam Genggaman Tangan
Stase anestesiologi dan terapi intensif mengharuskan para dokter muda (alias ‘dek koas’) untuk melakukan lima kali jaga malam/pagi. Lokasinya bisa di kamar operasi (OK) atau di ruang resusitasi (RR), tempat para pasien kritis. Saya sudah dua kali jaga di RR, dan keduanya terhitung ‘aman’. Pada jaga pertama, hanya ada satu pasien yang kritis yang sempat saya bagging/’ambu’ (memberikan ventilasi tekanan positif/bantuan napas dengan bag/kantung yang dipompa dengan tangan dan tersambung ke sumber oksigen; ‘ambu’ sebenarnya nama merk) selama beberapa saat, namun selalu langsung diambil alih oleh residen anestesi. Sampai akhirnya pasien tersebut dipasang ventilator (bantuan napas menggunakan alat, sehingga tidak perlu di-ambu secara manual dengan tangan), lalu lama-kelamaan keluarga pasien menginginkan endo-tracheal tube (ETT: selang yang dimasukkan ke dalam trakea untuk bantu pernapasan pasien yang tidak sadar) dicabut karena sudah kasihan dengan pasien. Setelah ETT dicabut, tidak lama kemudian, malaikat maut menjemput secara perlahan-lahan. Selain pasien tersebut, hanya ada pasien ‘titipan’ (bukan pasien yang kritis dan memerlukan RR, namun dititpkan di RR untuk alasan tertentu) dan satu pasien neurologi ‘nyasar’ yang akhirnya hanya sempat dipasang monitor dan dipasang infus sebelum dikembalikan ke tempat yang seharusnya yaitu IGD medik.
Jaga kedua, RR benar-benar kosong sampai-sampai saya sudah membuat ‘lapak’ tidur menggunakan tiga kursi yang berjejer ditambah totebag berisi baju sebagai bantal dan jaket yang menjadi selimut. Tetapi, justru datang dua pasien ‘nyasar’ mulai pukul satu pagi. Yang satu adalah pasien anak yang diduga pneumonia dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia harus masuk RR (tidak ada gangguan jalan napas, pernapasan, maupun sirkulasi). Yang kedua, kembali lagi pasien neurologi yang ternyata stroke infark. Itu pun masih dengan napas spontan, saturasi baik, dan tidak ada gangguan lain selain penurunan kesadaran.
Tibalah saat-saat jaga terakhir di RR. Begitu masuk, ketiga tempat tidur di RR sudah terisi. Saya tidak terlalu memperhatikan dengan baik, yang jelas, pasien yang di tengah saat ini sedang di-bagging dengan ambu bag oleh mahasiswa S2 perawat. Tanda-tanda bahwa saya akan bagging lagi kali ini. Dan benar saja, sekitar jam lima sore, beliau meminta saya menggantikannya karena beliau mau sholat. Saya pun tidak keberatan. Setelah bagging selama satu jam, sang chief residen menyuruh saya shalat maghrib dulu, lalu saya digantikan oleh mahasiswa S2 perawat yang lain.
Bagging menggunakan ambu bag |
Pukul enam lewat tiga puluh menit, saya kembali bagging karena sekarang giliran si teteh perawat yang shalat. Satu jam kemudian, saya kembali digantikan. Saya pun izin makan malam dan shalat isya. Kemudian, saya gantikan bagging lagi mulai jam delapan lewat tiga puluh menit.
Pasien ini bernama Bu Yani yang memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus yang tidak terkontrol. Hipertensinya sudah sangat kronis sampai mengakibatkan gagal jantung kongestif (kegagalan jantung untuk memompa darah sehingga darah kembali ke vena dan 'terjebak’ di paru-paru), lalu akhirnya edema paru (kebocoran cairan dari pembuluh darah paru-paru sehingga paru-paru terisi cairan dan bengkak) yang membuat pasien ini sesak dan perlu bantuan napas (bagging). Untuk mengurangi edema paru, pasien diberikan obat furosemide (diuretik), berharap si cairan bisa ‘tertarik’ ke luar paru lalu dikeluarkan melalui urin. Sayangnya, pasien juga mengalami gagal ginjal kronis akibat hipertensi/diabetes yang membuat urin yang dikeluarkan sangat sedikit. Sedangkan, pada orang normal, obat diuretik seperti furosemide justru akan membuat pasien banyak buang air kecil. Jadi, masalah utama pasien adalah di pernapasan (breathing).
Malam semakin larut. Perawat RR dan mahasiswa S2 perawat sudah dismiss sejak pukul sembilan. Menyisakan saya yang entah akan bagging sampai kapan. Sang residen jaga, dr. Michael dari tadi hanya sebentar-sebentar melihat ke arah pasien dan monitor, sebentar-sebentar mengerjakan pekerjaan lain. Barulah kali ini dr. Michael membuat interaksi dengan saya dengan menanyakan apakah saya jaga sendirian. Dilanjutkannya dengan kalimat, "Yah, nggak bisa gantian dong. Anggap aja ibadah ya."
Dua jam berlalu. Kadang saya memompa dengan dua tangan, kadang dengan satu tangan yang berganti-gantian. Untungnya, pasien sudah bernapas spontan. Jadi saya tinggal menyesuaikan pompaan dengan inspirasi pasien. Saya mulai bosan, sesekali merebahkan kepala di penyangga tempat tidur pasien yang berwarna hijau dan keras itu. Tiba-tiba, datanglah salah seorang konsulen anestesi yang sudah cukup terkenal sejak saya masih di bangku sarjana: dr. Gezy. Dengan ramah dan penuh empati, beliau mengajak suami pasien mengobrol mengenai penyakit pasien dan rencana tindakannya. Ada beberapa pilihan yang diberikan, yaitu mencari ruang rawat intensif (ICU) di rumah sakit lain karena di RSHS sedang penuh, atau menunggu di RSHS untuk dilakukan cuci darah besok pagi karena masih banyak pasien yang mengantri untuk cuci darah, termasuk kedua pasien RR lainnya. Intinya, obat-obatan yang diberikan sudah gagal untuk memperbaiki kondisi pasien. Adapun pilihan terakhir yaitu membiarkan pasien tetap dengan kondisi seperti ini tanpa dirawat di ICU dan dicuci darah, namun kondisinya ya akan tetap seperti ini. Akhirnya keluarga pasien setuju untuk dilakukan cuci darah esok pagi.
Sudah selesai berkomunikasi dengan keluarga pasien, giliran saya yang didatangi dr. Gezy. Beliau mengambil alih ambu bag saya lalu mencoba memompa. "Kamu ini kayak mompa batako," kata beliau. Beliau pun langsung meminta residen mengganti ambu bag dengan Jackson Rees, yaitu balon pompa yang bisa mengembang sendiri dan jauh lebih tidak keras.
Jackson Rees bag |
"Coba kamu lihat tanda vitalnya di monitor. Normal semua kan? Tapi coba kamu lihat pasiennya. Apa yang normal dari pasien ini? Nggak ada kan? Jadi kamu harus bertanya-tanya. Kenapa saturasi oksigennya 99 persen, tapi perfusi ke otaknya nggak cukup (sehingga terjadi penurunan kesadaran). Nih kamu lihat kulitnya. Bandingin sama kulit saya, kulit kamu. Kuning itu. Terus ureumnya udah ke otak. Jadi racun yang bikin nggak sadar," jelas beliau panjang lebar. Saya hanya bisa mengiyakan sambil mengagumi beliau yang begitu cerdas, karismatik, namun sangat rendah hati mau mengajari saya.
Beliau meminta dr. Michael mendengarkan bunyi paru-paru pasien, kemudian beliau juga dengarkan. Tampak ada yang tidak beres, beliau minta diambilkan sarung tangan, kemudian menyedot lendir pasien dengan selang suction. Ternyata ada gumpalan yang menyumbat, sehingga selang ETT tidak masuk dengan sempurna. Barulah dada pasien bisa mengembang dengan baik, ditambah pompaan balon napas sudah tidak terasa seperti batako lagi.
Selang endotracheal tube (ETT) |
Dokter Gezy selaku konsulen on site meninggalkan RR, sekaligus meninggalkan saya yang kembali bagging sendirian. Kalau pasien baru bisa dicuci darah besok, apakah itu berarti saya harus bagging sampai pagi?
Malam itu pun terasa amat panjang. Para residen tidak ada yang menggantikan saya bagging. Saya mulai kesal. Merasa bahwa ini tidak adil. Bahkan ketika dr. Michael duduk di meja RR sambil tertidur, saya rasanya ingin melemparinya sesuatu agar ia terbangun. Saya tidak rela ia tertidur, sedangkan saya harus terjaga sepanjang malam untuk bagging. Tapi untungnya saya tidak segila itu.
Perlahan-lahan saya mulai mencoba menerima. Memaknai kembali kata-kata dr. Michael tadi. "Anggap aja ibadah." Barangkali, di sinilah letak keberkahan Allah kalau saya melakukannya dengan ikhlas. Barangkali, Allah memang menguji saya dengan tugas seperti ini, karena Dia yakin saya mampu melakukannya. Barangkali, tindakan yang seringkali kita remehkan dan keluhkan inilah yang bisa menyelamatkan nyawa pasien.
Lagipula, saya mencoba memosisikan diri sebagai residen. Kehidupan mereka sudah cukup berat. Melakukan pekerjaan di rumah sakit mulai dari memeriksa kondisi pasien preoperatif, membius pasien di kamar operasi dan memastikan pasien sadar kembali dengan kondisi baik, mengurus pasien di ruang rawat intensif, jaga malam di OK maupun RR, apalagi pasti banyak bagian lain yang konsultasi ke anestesi untuk pendampingan tindakan, manajemen nyeri, pemasangan intubasi, pemasangan kateter vena sentral, dan lain-lain. Itupun belum termasuk kegiatan akademik seperti laporan jaga setiap pagi, bimbingan dengan konsulen, journal reading, atau acara ilmiah lainnya. Ditambah mereka membayar uang kuliah dan tidak digaji selama masa studi. Mereka pun tidak diperbolehkan praktik di sela-sela pendidikannya. Jauh dari suami/istri, anak, dan keluarga. Tidak, tidak. Saya tarik kembali kekesalan saya terhadap mereka. Tidak mungkin mereka menggantikan saya bagging, sedangkan masih banyak yang harus dikerjakan dengan tanggung jawab yang lebih besar. Maafkan saya, Dok. Beristirahatlah; semoga semuanya berjalan lancar malam ini.
Napas spontan Bu Yani kembali hilang. Seiring dengan angka nol yang terpampang di monitor bagian laju napas, selaras dengan tulisan berlatar kuning di sudut kanan atas yang menyatakan ‘Respiratory apnea’, ditambah bunyi berisik monitor yang menandakan ada yang tidak beres pada tubuh pasien. Itu berarti pasien tidak bernapas sama sekali. Satu-satunya napas yang beliau dapatkan hanyalah hasil pompaan dari tangan saya ini. Ya, kali ini nyawanya seolah ada dalam genggaman saya. Kalau saja saya lalai dengan tidak memompa beberapa saat, saturasi oksigennya bisa langsung turun dan mengundang malaikat maut untuk mendekat. Saya harus terus memompa, selelah apa pun, se-mengantuk apa pun. Walaupun terkadang saya tertidur sekitar 1-2 detik, saya selalu langsung terbangun dengan tangan yang langsung refleks memompa balon Jackson Rees.
Kondisi seperti ini membuat saya bisa melihat keluarga pasien dengan lebih dekat. Sang suami yang sejak sore setia menunggu, kadang mengeluhkan kepada saya, bahwa istrinya kemarin malam masih baik-baik saja. Hanya memang istrinya tiba-tiba membeli makanan sendiri, yaitu makanan yang manis, asin, pokoknya yang menjadi pantangan bagi orang dengan hipertensi dan diabetes. Si bapak kadang mengiyakan gejala-gejala yang selama ini dialami isitrinya, mulai dari sering buang air kecil, sering haus, banyak makan, serta lebih mudah lelah. “Semoga ada keajaiban ya..“ gumamnya. Begitu pula anak-anaknya yang berganti-gantian duduk di samping ibunya. Mereka (termasuk si bapak) seringkali melantunkan ayat suci Al-Qur’an, baik berdasarkan hafalan yang dimiliki, menggunaan aplikasi dari gawai, mau pun dari Al-Qur’an langsung. Tak jarang pula air mata mengalir keluar dari kedua mata mereka, tidak terkecuali dari sang anak laki-laki yang berusaha sekuat mungkin menyembunyikan tangisannya dengan menempelkan wajahnya ke lengan.
Kalau dipikir-pikir, mungkin malam ini akan menjadi sangat panjang dan melelahkan. Tangan pegal, kaki dan pinggang mungkin pegal, mata mengantuk, haus dan lapar, serta berbagai keluhan lainnya. Akan tetapi, semua lelah yang saya rasakan ini sesungguhnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang dialami Bu Yani beserta keluarganya. Rasa kantuk ini toh akan terbayar juga dengan tidur esok pagi, berhubung malam ini malam Sabtu. Rasa pegal-pegal di tangan juga rasanya tidak akan bertahan sampai satu minggu. Sedangkan, tidak dengan mereka. Entah sampai kapan mereka harus menanggung derita semacam ini. Dengan prognosis penyakit yang tidak begitu baik, barangkali si ibu harus menjalani beberapa kali cuci darah. Belum lagi keharusannya dirawat di ICU yang biasanya tidak sebentar. Seketika saya merasa tidak pantas untuk mengeluh.
Sekitar pukul tiga pagi, pasien di sebelah Bu Yani yang sudah menggunakan ventilator, akhirnya kembali kepada-Nya. Kata dr. Michael, ventilatornya akan dipindahkan ke Bu Yani, sehingga saya tidak perlu memompa lagi. Alhamdulillah, akhirnya beliau mendapatkan ventilator mulai pukul setengah empat pagi. Setelah itu, saya tinggal meminta perawat untuk mengambil darah Bu Yani, lalu disuruh tidur oleh dr. Michael. Saya pun baru bangun kembali mendekati waktu dismiss, yaitu jam tujuh pagi. Alhamdulillah, kondisi Bu Yati masih stabil dengan ventilator, sampai akhirnya bisa dilakukan cuci darah di jam delapan pagi. Dengan demikian, saya bisa melanjutkan tidur lebih nyenyak lagi. Walaupun apa yang saya kerjakan semalam bukanlah sesuatu yang begitu besar (apalagi jika dibandingkan dengan peran residen anestesi yang jaga malam ini), namun setidaknya, atas izin Allah, bisa sedikit berguna bagi keberlangsungan hidup ke Bu Yani :)
Bandung, 27 Desember 2018
ASN
Comments
Post a Comment