Telinga Tanpa Stetoskop



Sabtu, 23 Februari 2019.
Pasien saya kali ini bernama Bu Endang. Rambutnya yang sebagian ditumbuhi uban, beliau potong pendek dengan panjang kurang lebih tiga sentimeter. Kulitnya sudah mulai keriput, begitu pula wajahnya yang berkerut. Selaras dengan usianya yang sudah tergolong lansia, yaitu 65 tahun. 

Bu Endang datang ke IGD dengan keluhan nyeri ulu hati disertai mual dan muntah sebanyak tiga kali. Di samping keluhan tersebut, Bu Endang juga memiliki penyakit hipertensi, hipertensive heart disease alias penyakit jantung yang disebabkan oleh hipertensi, juga atrial fibrilation yang mana terjadi gangguan irama jantung akibat atrium jantungnya ‘bergetar’ dengan irama yang tidak teratur; bukannya berkontraksi dan berelaksasi secara ritmis.

Penyakitnya diawali dengan hipertensi yang terdiagnosis sejak 4 tahun yang lalu. Satu tahun berselang, ternyata hipertensinya yang sudah kronis menyebabkan dinding jantungnya menebal untuk mengompensasi tekanan darahnya yang tinggi, ditambah adanya gangguan irama jantung yang sejujurnya lupa saya tanyakan sejak kapan. Beliau mengaku rutin meminum obat untuk hipertensi dan penyakit jantungnya. Kemudian, entah berhubungan atau tidak, ternyata bukan kali ini saja si ibu mengeluhkan nyeri ulu hati yang masih terasa hingga hari ini. Padahal, beliau sudah dinyatakan boleh pulang oleh dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) dari penyakit dalam.

Tidak sekali, melainkan sudah empat kali beliau datang ke IGD atau poli untuk keluhan yang sama. Melihat adanya kecenderungan kuat bagi penyakitnya untuk kambuh, tentu saya sebagai (calon) dokter mencurigai adanya gaya hidup yang perlu dibenahi. Saya pun menanyakan apakah beliau suka mengonsumsi makanan yang pedas atau asam, serta apakah jadwal makannya tidak teratur. Begitu pula penggunaan obat-obatan pereda nyeri. Beliau menyangkal semua yang saya tanyakan. Hal terakhir yang terpikir adalah faktor psikolososial. Lantas, tanpa banyak berekspektasi, saya menanyakan pertanyaan klasik, “Ibu lagi banyak pikiran, mungkin?” Dengan volume suara yang mendadak dipelankan, beliau menjawab, “Iya. Habisnya, anak ibu nakal.” Tatapannya kini kosong, mengarah ke langit-langit di atas tempat tidur. 

Saya berusaha mendengarkan curahan hati beliau dengan penuh empati. Anak laki-laki satu-satunya yang beliau miliki, mengalami depresi setelah beberapa kali ditolak untuk masuk kepolisian. Ia (anak beliau) pun sudah beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri dengan melompat dari atas gedung bertingkat. Saat ini, anaknya sudah tidak punya keinginan untuk bunuh diri lagi, namun ia justru beralih ke minuman keras. Beliau sudah menyuruh anaknya untuk bekerja ikut dengan pamannya, tapi ia menolak. Setiap punya uang sedikit, pasti langsung dibelikan minuman keras. Kerjanya hanya di rumah dan mabuk-mabukan. 

Si ibu juga seringkali terbangun malam hari karena rasa sakitnya. Kadang-kadang pikirannya justru dipenuhi kecemasan ketika yang menungguinya di rumah sakit belum juga datang. Suaminya pun sudah berpulang terlebih dulu kepada-Nya. “Gimana ya? Ibu udah berdoa, kapan ya anak ibu bisa dapet hidayah? Enakan punya anak perempuan ya, Dok. Baik-baik,” gumamnya dengan suara lirih. 

Setelah beliau selesai bercerita, saya coba jelaskan kalau nyeri di perutnya bisa sangat dipengaruhi faktor psikologis. Kemudian karena keluarganya sudah datang, saya merasa tidak enak kalau berlama-lama membicarakan hal yang cukup pribadi. Akhirnya saya tutup dengan sedikit nasehat untuk beristirahat, tetap meminum obat jantung dan hipertensi, bersabar, dan terus berdoa untuk anaknya. Lalu saya meninggalkan ruangan bersama dengan ucapan terima kasih yang beliau ucapkan dengan tulus. 

Saya teringat kembali pelajaran yang selalu ditekankan ketika sistem Family Medicine sewaktu masih menjadi mahasiswa S1 tentang aspek biopsikososial yang seringkali terabaikan. Kita sering lupa bahwa pasien kita adalah manusia yang tidak hanya punya jantung, lambung, telinga, kaki, atau organ-organ lainnya. Mereka juga punya jiwa yang terkadang lebih membutuhkan ‘obat’. Rupa ‘obat’ itu pun bisa sesederhana keinginan untuk didengarkan. Pada saat tertentu, tidak seharusnya kita memotong pembicaraan mereka karena terlalu fokus dengan pertanyaan-pertanyaan yang ingin kita ajukan demi mencapai diagnosis yang tepat. Tidak jarang kalau mereka hanya butuh telinga tanpa stetoskop untuk menjadi teman bicaranya. 

“The good physician treats the disease; the great physician treats the patient who has the disease.” - William Osler 

Bandung, 24 Februari 2019
ASN

Comments

  1. Kaka, berncana ngambil spesialis atau program lain?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Rencananya mau ambil spesialis kesehatan jiwa :)

      Delete
    2. wahh imajisi aku seru keknya wkwk. Semoga sukse kak!

      Delete

Post a Comment

Popular Posts