Psikiatri: Pasien Pertama dan Waham-wahamnya
Dari dulu, saya selalu tertarik terhadap bidang-bidang yang sedikit “berbeda” dibandingkan dengan yang biasa ditekuni orang (dalam hal ini, para rekan sejawat) kebanyakan. Setelah dulu nekat mengambil penelitian kualitatif yang hanya 10/200 dari populasi mahasiswa kedokteran seangkatan, kini saya menghadapi stase yang luar biasa unik. Stase yang mungkin bagi sebagian rekan saya terkesan abstrak. Tidak bisa dilihat dengan hasil laboraturium, foto X-ray, maupun nuklir. Untuk mencari penyebab, harus menggali informasi sebanyak-banyaknya dari pasien dan keluarganya. Tentang masa kecilnya, pola asuhnya, riwayat pendidikan dan pekerjaannya, kisah asmara dan seksualitasnya, masalah hidup yang pernah menimpanya, dan lain-lain. Semua itu nantinya akan dianalisis untuk mencari tahu hubungan antara faktor-faktor predisposisi dan presipitasi dengan manifestasi gejala. Stase itu adalah Ilmu Kedokteran Jiwa. Stase yang menjadi impian sejak awal masuk kedokteran.
Pagi itu diawali dengan visite besar, alias mengunjungi semua pasien satu persatu yang dilakukan oleh seorang konsulen, semua residen, dan semua koas. Ini kali pertama saya memasuki ruangan Adenium, bangsal pasien jiwa. Baru saja masuk, dari bangsal laki-laki, ada seorang pasien yang menggedor-gedor pintu. Dilanjutkan dengan ruangan observasi berisi dua pasien yang di-restrain alias diikat di tempat tidur. Yang pertama karena tangannya baru saja dijahit sehingga ditakutkan ia berusaha membuka jahitannya ketika sedang agresif. Sedangkan, yang satunya lagi sedang dipasang infus.
Tibalah di dalam bangsal perempuan berupa lorong lurus, dengan kamar-kamar tidur di sisi kanan dan ada kamar mandi di ujung sisi kiri. Di lorong itulah tempat para pasien duduk-duduk sambil menonton televisi. Tampak Bu Desi yang sedang duduk di lantai dan menolak duduk di kursi karena merasa lebih nyaman demikian. Ia pun kemudian melantunkan lagu dengan suara cukup keras. Ah, bisa dipastikan kalau ia adalah pasien mania[1]. Pasien-pasien lainnya belum terlalu menarik perhatian saya pada waktu itu, selain Bu Susi yang tampak terbaring lemah tanpa semangat, yang saya duga depresi.
Kemudian, berpindahlah kami ke bangsal laki-laki yang lebih luas karena terdapat area lapang berisi meja besar dan bangku-bangku panjang yang mengelilinginya, di samping lorong berisi kamar tidur dan kamar mandi. Ketika dikunjungi, mereka cenderung diam, kecuali salah satu pasien yang tiba-tiba mendekati salah seorang residen dan bercerita kalau tadi dia disuntik. Pasien itulah yang nantinya menjadi pasien jiwa favorit saya: Pak Beben.
Siang harinya, kami kembali ke Adenium untuk mencari kasus yang akan kami pelajari dan selanjutnya dipresentasikan. Kami dibagi ke dalam tiga kelompok. Saya meminta rekomendasi dari residen yang merupakan LO kami di Adenium, pasien mana saja yang cocok untuk kami tanya-tanyai. Saya dan Inggrid mendapat pasien Pak Beben. Kami diantarkan ke sebuah ruangan kecil bersofa yang diduduki oleh Pak Beben beserta ibu dan istrinya yang sedang menjenguk.
Pertama-tama, kami perkenalkan diri kami. Sesuai pesan ‘turunan’, katanya kita sebaiknya tidak memberikan identitas asli kepada pasien. Inggrid memperkenalkan diri sebagai Dokter Juli. Lalu saya bingung karena belum mempersiapkan nama. Tiba-tiba saya terpikir tentang nama bulan. Karena bulan Juli sudah diambil, maka saya spontan mendapatkan ide nama ‘Mei’.
Selanjutnya, kami mulai menganamnesis sesuai dengan modul panduan. Sekilas, Pak Beben ini tampak seperti orang tanpa gangguan jiwa. Ia bisa menceritakan dengan gamblang mengenai asal mula ia ‘sakit’. Ia begitu terbuka kepada kami, bahkan kadang menjelaskan apa yang belum kami tanya. Memorinya juga tidak terganggu. Ia bahkan bisa mengingat dengan detail mengenai beragam hal, mulai dari alamat, tanggal-tanggal ia dibawa ke rumah sakit, nama dokter-dokter yang menanganinya, nama saudara-saudaranya beserta gelar masing-masing, dan lain-lain. Pak Beben mulai sedikit berapi-api ketika membahas kakak-kakaknya yang sudah memiliki gelar semua, baik yang sarjana maupun diploma. Sedangkan ia, merasa kecil hati karena hanya bersekolah sampai kelas 2 SMA, lalu mengambil penyetaraan paket C. Ia juga malu karena BPJS-nya kelas 3, padahal ia masih punya keturunan raden. Nah, di sinilah waham[2] itu mulai terungkap.
Saya dan Inggrid mengalihkan pembicaraan mengenai fungsi-fungsi vegetatifnya[3]. Ketika ditanyai mengenai buang air kecil, katanya ia suka menahan buang air kecil. “Saya ngga mau ke kamar mandi, Dok,” katanya. Begitu saya tanyakan alasannya, awalnya ia mengatakan kalau takut dikira bohong. Setelah kami berusaha meyakinkan kalau kami siap mendengarkan, barulah ia ucapkan, “Itu, Dok. Elit global.” Nah ini dia! Waham curiga[4] yang selama ini disebut-sebut oleh pemeran Aming di sinetron Dunia Terbalik, ataupun yang hanya saya dengar dari standardized patient psikiatri selama skill’s lab sewaktu tahap sarjana, kini saya dengar langsung dari pasien sungguhan. Ia menambahkan kalau di sudut-sudut ruangan ada CCTV, bahwa kami selalu diawasi melalui satelit, ditambah pembahasan singkat mengenai keluarga Rockerfeller, Yahudi, dan lain-lain. Dari situ, tampaklah kalau terdapat waham kebesaran[5], waham curiga, bahkan waham bizzare[6] kalau menurut preseptor kami.
Kami pun mengakhiri sesi karena sudah waktunya keluarga pasien untuk pulang, ditambah kami memang sudah kehabisan ide untuk mengobrol lebih lanjut. Pak Beben pun kembali ke dalam bangsal, lalu kami membaca-baca rekam medisnya untuk menyesuaikan riwayat penyakitnya dengan temuan kami tadi. Pak Beben pun memanggil-manggil kami dari balik kaca bangsal, lalu bicara melalui lubang yang biasa dipakai untuk membagikan makanan. “Dok, ayo sini, ngobrol lagi,” katanya memelas. Kami tolak dengan halus dan kami katakan kalau obrolan akan kami lanjutkan besok. Tapi rasanya cukup senang punya pasien yang begitu terbuka, bahkan senang berbicara dengan kita.
Hari mulai sore. Kami berdiskusi bersama teman-teman yang lain dan residen yang menjadi LO kami. Beruntung, pasien kami saat kooperatif dan masih cukup ‘nyambung’ diajak bicara, sekalipun kadang arus pikirannya yang cepat membuatnya suka berloncat-loncat dari satu topik ke topik lainnya. Sedangkan, kedua pasien lainnya ada yang menjawab pertanyaan dengan tidak relevan, cenderung tertutup, atau hanya menjawab singkat jika ditanya. Yang jelas, semua pasien tentu memiliki keunikan masing-masing dan membutuhkan keahlian yang harus terus-menerus diasah untuk bisa menggali informasi sebanyak-banyaknya. Inilah yang membuat psikiatri menarik bagi saya. Baru hari pertama saja, saya langsung jatuh cinta.
Kamis, 4 Oktober 2018
ASN
Catatan kaki:
[1] Manik: status mental abnormal yang ditandai dengan euforia, disinhibisi sosial, aliran pikiran yang cepat, susah tidur, berbicara terus menerus, mudah mengambil resiko dan bersifat iritabilitas
[2] Waham: isi pikiran tentang suatu keyakinan yang tidak sesuai dengan kenyataan dan tetap diyakini meskipun hal itu telah dibuktikan salah
[3] Fungsi vegetatif: fungsi yang berkaitan dengan pertahanan tubuh, misalnya fungsi yang berhubungan dengan makan, tidur, buang air kecil, aktivitas seksual, dll
[4] Waham curiga: keyakinan akan adanya seseorang/sekelompok orang yang berusaha merugikan/mencelakai dirinya
[5] Waham kebesaran: keyakinan bahwa dirinya adalah seseorang yang sangat kuat, sangat berkuasa, atau sangat besar
[6] Waham bizzare: keyakinan yang aneh, mustahil, dan keliru (misal: makhluk luar angkasa menanamkan elektroda di otak manusia)
Comments
Post a Comment