Lebih 'Manusia' dari yang (Merasa) Normal
Apakah pernah kita melihat orang yang memiliki gangguan jiwa, kemudian kita memandangnya sebelah mata? Menganggap mereka tidak lebih ‘manusia’ dibanding kita, merasa mereka tidak mungkin bertingkah laku selayaknya manusia ‘normal’?
Atau, pernahkah kita melihat perilaku manusia (yang katanya)
‘normal’ yang justru tidak beradab, biadab, serta tidak manusiawi? Atau justru
kitalah yang pernah melakukannya?
Siang itu, saya kembali mengunjungi Adenium, bangsal pasien
jiwa. Begitu masuk, Pak Beben sudah mengintip lewat lubang yang biasa digunakan
untuk membagikan makanan. “Dok, Pak Freddy udah pulang?” tanyanya kepada saya
dan Novia. Saya jawab tidak tahu, karena memang saya baru datang lagi di hari
itu, sehingga belum sempat melihat daftar pasien. Novia justru bertanya
kembali, apakah ia sudah mencari Pak Freddy. “Nggak ada, Dok. Udah saya cari ke
mana-mana, nggak ada,” pasien favorit saya itu masih mempertahankan argumennya.
Pak Beben dan Pak Freddy adalah dua sosok yang kontras. Pak
Beben dengan segala waham kebesarannya[1] sebagai keturunan raden dan kapten yang
berani melawan Kim Jong Un, mood-nya yang manik, nyanyi-nyanyiannya dengan
suara keras yang terdengar hingga lantai tiga, bicaranya yang banyak, sangat
detail, berapi-api, dan kadang berloncat-loncat, godaan-godaan iseng terhadap
koas dan residen wanita, serta tingkah lakunya yang kerapkali membuat kami
tidak sanggup menahan tawa. Sedangkan, Pak Freddy yang didiagnosis skizofrenia[2] paranoid[3], bertingkah laku sebaliknya. Beliau cenderung pendiam, menarik diri,
lebih sering tidur, wajahnya murung, bicaranya pelan, badannya selalu tampak
lemas, ditambah waham curiganya terhadap ibunya sendiri yang ia sangka teroris.
Tapi, mereka memiliki kesamaan, yaitu inteligensi yang cukup baik dan wawasan
pengetahuan yang luas.
Beberapa hari sebelumnya, saya sempat bertanya kepada Pak
Beben, mengenai siapa pasien yang paling dekat dengannya. Ia dengan yakin
menyebutkan nama Pak Freddy, karena katanya hanya dengannya ia bisa ‘nyambung’
berbicara. Bahkan Pak Freddy langsung dipanggilnya mendekat. Mereka mengaku
suka membicarakan mengenai agama, khususnya bagaimana orang-orang saat ini
sudah tidak berpegang teguh kepada agamanya. Wajar saja jika mereka bisa saling
bertukar pikiran. Pak Beben, walau katanya hanya lulus penyetaraan paket C,
namun ingatan dan pengetahuannya luar biasa. Sepertinya ia memiliki
photographic memory. Ia juga mengaku banyak membaca buku. Di sisi lain, Pak
Freddy sendiri merupakan seorang sarjana sosial. Beliau adalah satu-satunya
pasien yang memiliki gelar pendidikan di bangsal Adenium kali ini. Pantas saja
mereka bisa cocok satu sama lain.
Saya kemudian mengecek kertas berisi daftar nama pasien
beserta tanggal masuk, diagnosis, dan informasi penting lain. Nama Pak Freddy
masih terpampang, lengkap dengan gelarnya. Saya pun tidak sempat berasumsi apa-apa, karena tak lama berselang, Pak Freddy muncul dari pintu tempat saya
masuk tadi. Ternyata, beliau baru saja dijenguk keluarganya. Pak Beben langsung
menyambutnya dengan penuh kebahagiaan, seperti bertemu kawan lama yang sudah
tidak dijumpainya bertahun-tahun. Pak Freddy pun dibawakan sejumlah makanan
oleh keluarganya, termasuk beberapa bungkus keripik yang langsung diserahkan
kepada teman-temannya melalui lubang kecil tersebut. Pak Beben yang pertama meraihnya,
kemudian membuka bungkusnya, dan mulai mencicipinya. Melihat hal itu, para
pasien lain mendekat dan ikut makan keripik bersama, begitu pula Pak Freddy
yang kembali masuk ke dalam bangsal. Tak terkecuali Pak Amir. Lelaki berusia 56
tahun dengan skizofrenia hebefrenik[4] itu disuapi keripik oleh salah seorang
pasien. Awalnya saya heran mengapa beliau harus sampai disuapi. Oh, ternyata
kedua tangan beliau sedang diikat di kursi. Sepertinya beliau sempat agresif
tadi.
Para pasien bangsal laki-laki pun hari itu berbahagia.
Sesederhana memakan keripik bersama sambil sedikit bercengkerama, entah
membicarakan apa. Saya yang memperhatikan dari balik kaca pun terharu
dibuatnya, karena sekalipun mereka mengalami gangguan jiwa, ternyata kepedulian
mereka tidaklah luntur. Mereka tidak mau Pak Amir melewatkan sesi makan keripik
hanya karena tangannya sedang diikat. Walaupun Pak Amir termasuk sangat jarang
berbicara dan tidak terlalu bersosialisasi, ditambah kadang-kadang agresif, itu tidak membuat pasien lain mengabaikannya.
Pikiran dan/atau mood mereka mungkin terganggu, tapi tidak dengan nurani
mereka. Lantas, bagaimana dengan kita, yang (katanya) ‘normal’? Sudahkah kita
memperhatikan orang-orang di sekitar kita?
Bandung, 14 Oktober 2018
ASN
Catatan kaki:
[1] Waham kebesaran: keyakinan bahwa dirinya adalah seseorang yang sangat kuat, sangat berkuasa, atau sangat besar
[2] Skizofrenia: suatu sindroma (kumpulan gejala) yang ditandai oleh penyimpangan pikiran dan persepsi, serta afek yang tidak wajar dan tumpul (afek adalah emosi atau perasaan yang dikemukakan pasien dan dapat diperiksa/diamati orang lain; afek disebut tidak wajar jika ekspresi yang ditunjukkan penderita berbeda dengan emosi yang diutarakan pasien; afek tumpul jika tidak terdapat ekspresi perasaan, muka tidak berubah, dan suara monoton)
[3] Skizofrenia paranoid: skizofrenia dengan gejala halusinasi/waham seperti suara yang mengancam, memberi perintah; halusinasi bunyi peluit, mendengung, tawa; waham/keyakinan bahwa pasien dikendaliksn, dipengaruhi, atau dikejar-kejar, dst
[4] Skizofrenia hebefrenik: skizofrenia dengan perilaku yang tidak bertanggung jawab, tidak dapat diramalkan, kecenderungan menyendiri, perilaku hampa tujuan dan hampa perasaan, afek dangkal dan tidak wajar, disertai cekikikan, perasaan puas diri, senyum sendiri, tinggi hati; disorganisasi pada proses pikir dan pembicaraan dan menentu serta inkoheren; dst
Comments
Post a Comment