SKOMEN 2016: Kenapa Tidak?
SKOMEN adalah singkatan dari Sekolah Mentor yang diadakan oleh Asy-Syifaa' FK Unpad. Di sini, kita belajar untuk menjadi seorang "mentor". Apa itu mentor? Jadi, pada masa bimbingan (mabim) FK Unpad di semester pertama, di dalamnya terdapat juga Mabim Agama Islam (MAI) yang wajib diikuti seluruh mahasiswa baru yang beragama Islam. Isinya adalah ta'lim dan juga mentoring, suatu kelompok kecil berisi kurang lebih 5 orang mentee yang memiliki 1-2 mentor. Biasanya, mentor berasal dari kakak tingkat. Di dalam mentoring, kami belajar agama Islam, dimediasi oleh kakak mentor kami dan juga sebagai tempat untuk sharing.
Alhamdulillah, tahun ini, saya mendaftar Skomen. Mungkin, banyak yang bertanya-tanya kenapa orang seperti saya bisa tiba-tiba terpikir dan akhirnya mendaftar... Karena, dibandingkan teman-teman pengurus Asy-Syifaa' dan teman-teman/kakak-kakak yang sudah menjadi mentor, tentu saya bukan apa-apa. Amalan dan perilaku saya masih kurang dari baik. Masih sangat kurang. Belum lagi, selama ini saya lebih dikenal sebagai orang yang aktif di organisasi dan kepanitiaan yang tidak pernah bersifat keagamaan. Lantas, kenapa?
Jadi begini ceritanya.... Selama semester 2 dan semester 3, saya begitu disbukkan oleh beragam organisasi, kepanitiaan, dan pelatihan keorganisasian. PH (SPK), CIMSA (SCORE), futsal, dan Obscura. Kepanitiaan IEE, Summit AOMKI, panitia acara-acara SCORE CIMSA yang super hectic, fasil OPPEK, fasil mabim, TAP Olymphiart, Tim Ad Hoc revisi UU KKM. Pelatihan BOLT, VOLT, T-REX, SCORE, LKMM ISMKI Wilayah 2. Dan masih ada beberapa yang belum disebutkan secara eksplisit.
Akibat belum perah berorganisasi selama SMP dan SMA, saya menjadi haus akan ilmu dan mencoba beragam bidang yang berbeda. Di organisasi, bidang yang saya geluti adalah minat bakat dan research exchange. Di kepanitiaan, mulai menjadi panitia publikasi dan dokumentasi, acara, LO, fasil, konseval, sampai menjadi ketua pelaksana pernah saya lakukan. Dari semua yang saya sebutkan, kelebihannya adalah: saya bisa mendapat berbagai pengalaman dan pengetahuan dari berbagai hal yang saya ikuti. Kekurangannya: saya tidak pernah fokus terhadap satu hal, dan justru ini yang membuat saya belum menemukan passion saya. Bisa dibaca secara eksplisit dalam postingan saya yang ini mengenai kegalauan saya yang belum menemukan passion, dan secara implisit di postingan ini. Ditambah dengan kegalauan akan jembatan menuju masa depan saya yang belum jelas.
Sedikit saya ulas, kalimat Kiai Rais dalam novel Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi, “Berusahalah untuk mencapai sesuatu yang
luar biasa dalam hidup
kalian setiap tiga sampai lima
tahun. Konsistenlah selama itu, maka Insya
Allah akan ada terobosan prestasi yang
tercapai.” Konsisten-lah. Konsisten. Selama ini, saya tidak pernah konsisten akan apa yang saya jalani. Pindah dari satu bidang ke bidang lainnya, loncat sana loncat sini, tidak pernah fokus dan terarah. Masih bingung harus mendalami bidang apa. Bahkan masih bingung akan hal apa yang disukai.
Ditambah lagi dengan cerita Gde yang menceritakan salah seorang dokter lulusan FK Unpad yang saat ini melanjutkan studi Jepang. Ketika ditanya aktivitasnya selama jadi mahasiswa S. Ked, beliau hanya mengikuti SRC karena memang sudah bercita-cita untuk melanjutkan studi di Jepang, dengan berbekal ilmu dan pengalaman di bidang penelitian. Beliau membangun jembatan menuju masa depan yang dituju, dengan tekun dan dalam. Sedangkan saya? Saya bahkan tidak tahu mau jadi apa nantinya. Kalaupun saya tahu (saya pernah merasa bercita-cita menjadi relawan daerah bencana/anggota BASARNAS), saya tidak tahu bagaimana membangun jembatan itu (tiga kali gagal mengikuti organisasi/divisi yang fokusnya di bidang pengabdian).
Begitulah kegalauan yang saya alami di semester 2 dan 3. Bagaimana dengan semester 4? Jujur, semester ini saya justru super kacau. Mulai dari urusan organisasi, hingga akademik. Kesibukan yang dulu saya alami justru berkurang drastis. Saya mencoba fokus. Tapi itu tidak membuat apa yang saya jalani jadi terfokuskan dan terurus dengan baik. Saya justru sangat denial akan hal yang saya jalani. Berbulan-bulan, hingga sampai di satu titik terendah. Saya sadar bahwa ada yang tidak beres dalam hidup saya, namun semuanya seolah sudah terlambat dan tidak bisa diperbaiki. Yang ada justru semakin menjauh dari masalah, yang malah tidak menyelesaikan apa-apa. Merasa kehilangan kebahagiaan. Merasa tidak bermanfaat.
Sewaktu muncul publikasi Skomen, saya awalnya sempat ragu. Dengan tagline #LearningBySharing yang menurut saya lebih "ringan" dari tagline tahun lalu (#TerbinaDenganMembina). Lalu saya teringat akan nasehat Imam Syafi'i. Man
saara
ala
darbi
washala. Siapa
yang berjalan
di jalannya
akan
sampai
di tujuan. Saya berpikir ulang. "Jalan apa yang akan saya ambil?"
Di saat saya bingung memilih jalan, ternyata ada jalan yang tidak pernah terpikirkan dan tidak pernah saya lihat (bahkan saya lirik) sebelumnya. Padahal, jalan itu adalah jalan yang insyaa Allah sudah pasti benar, sudah pasti baik, dan sudah pasti bermanfaat. Saya pun bertanya kepada diri sendiri, "Kenapa tidak?"
Comments
Post a Comment