SUPERCAMP #2: Tobong Jaya, Kebahagiaan yang Sederhana

Minggu, 16 Agustus 2015. Secara random bangun jam 4.23, tidur lagi, dan bangun lagi sewaktu iqamah shalat subuh. Sebelah saya, Teh Ilin sudah beranjak dari kasur dan sedang shalat subuh di ruang tamu. Saya lantas mengambil wudhu dan shalat. Teh Ilin pun sudah membuka modulnya. Kembali belajar untuk OSCE-nya. Selepas shalat, saya masih duduk-duduk di depan, lalu mandi.

Selama menunggu sarapan, saya malah makan beng-beng hasil pembagian snack kemarin dan 2 potong tempe goreng tepung yang sudah tersedia di meja ruang tamu. Sarapan kami baru datang jam 6.20, sedangkan kami sudah harus berkumpul di balai desa jam 6.30. 4 piring nasi goreng sosis + telor dadar + timun terhidang dengan porsi yang sangat banyak. Teh Gweta bertanya, "Kita kumpul jam berapa?" "Jam 6.30" dan masih dijawab santai "Oh yaudah" hahaha. Karena waktu yang terbatas dan kapasitas lambung juga terbatas, kami terpaksa tidak menghabiskan sarapan kami. Duh, maafkan kami, Bu....

Saat perjalanan menuju balai desa, kami melewati halaman depan rumah salah satu penduduk. Salah satu anak yang punya rumah lagi di situ juga, dan bertanya kepada saya, "Mau ke balai desa, Dok?" Saya lantas menoleh dan jawab iya, lalu ia tunjukkan jalannya. Saya mendadak speechless setelahnya.... Saya yang masih mahasiswa kedokteran semester 3, perjalanan masih teramat sangat panjang menuju sumpah dokter, tapi udah dipanggil "Dok" aja... :") And that made my day a lot!!!

Balai desa pun sudah dipenuhi para peserta, Kami berbaris berdasarkan kelompok. Saya ada di kelompok 5 yang akan membantu screening THT-KL. Sisanya, ada yang penyuluhan hipertensi, penyuluhan lansia, survei, dan lain-lain. Pertama, ada pengarahan teknis acara. Kedua, ada evaluasi pelaksanaan, akibat ke-ngaret-an acara. Ketiga, waktunya menuju tempat acara~

Jadi, screening kali ini akan diadakan di PAUD. Di sana, sudah ada beberapa dokter spesialis THT berpolo biru. Katanya, acara baru akan mulai jam 8, sedangkan sekarang masih jam 7. Kami diminta membantu menyiapkan kursi, meja (untuk menunggu dan registrasi), dan kertas form registrasi berisi: nama, umur, kelas, alamat, dan hobi. Target peserta adalah anak SD kelas 4, 5, 6 yang berjumlah sekitar 110, dan warga sekitar berjumlah kurang lebih 20 orang. Sedangkan, dokter-dokter THT menyiapkan 1 ruangan untuk pemeriksaan, dan 1 ruangan untuk audiometri beserta alat-alatnya.

Sekitar jam setengah 8, anak SD sudah mulai berdatangan. Mereka berbaris berdasarkan kelas. Satu persatu ke depan untuk registrasi. Hampir semua anak laki-laki yang daftar ke saya dan Teh Ilin, mengisi kolom hobinya dengan "sepak bola"... Sisanya, ada yang "menggambar", dan malah ada anak kelas 4 SD yang hobinya "balap motor"... Yang perempuan, ada satu anak yang hobinya "belajar".... So ambis. Dan ke-21 anak yang mengisi, alamatnya di "Menol" (salah satu daerah di sekitar SD mereka) semua.... Setelah mengisi kertas registrasi, mereka juga ditanya "Apakah rumahnya dekat dengan tempat yang ramai seperti pabrik industri, rel kereta api, tempat pemotongan, jalan raya, dll", "Apakah telinganya suka berdenging", "Apakah pendengaran telinga kanan dan kiri sama", dan "Apakah terasa nyeri pada telinga". Yang bertanya adalah Teh Ilin dengan 80% Bahasa Sunda, sedangkan saya yang mencatat. Keempat pertanyaan ini adalah bagian dari form screening mereka nanti.

Ketika screening akan dimulai, hanya tersisa anak kelas 4. Sisanya, "mengungsi" dulu ke madrasah supaya tidak berisik. Satu persatu namanya saya panggil untuk diberikan form screening, lalu masuk untuk diperiksa. Beberapa anak terlihat takut, dan sebagian anak laki-laki menakut-nakuti temannya dan bilang kalau mereka akan disuntik. Duh, dasar anak-anak... Akhirnya saya dan Teh Ilin berkali-kali mengingatkan, "Nggal disuntik kok, Dek. Cuma diperiksa, terus kalau kotor, nanti dibersihin.."

Selama menjadi petugas registrasi dan pemanggil nama, saya seringkali menyaksikan proses screening. Sesuai dengan namanya, THT berarti memeriksa telinga, hidung, dan tenggorokan. Telinga diperiksa dengan semacam senter berlensa (entah apa namanya) yang dimasukkan ke telinga tengah. Hidung diperiksa dengan nasal speculum. Sedangkan tenggorokan diperiksa dengan menggunakan alat berbentuk stik es krim (ini nggak tau juga namanya) yang diletakkan di tenggorokan sambil disorot lampu senter. Kalau yang di telinganya terdapat serumen atau kotoran, mereka "pindah" ke dokter lain yang tugasnya membersihkan serumen. Pertama, ada semacam cairan yang dimasukkan ke dalam telinga. Lalu, barulah sang dokter memasukkan alat untuk mengeluarkan kotorannya. Saya yang menyaksikan kadang justru ikut tegang juga. Apalagi ada seorang ada perempuan yang perasaan saya kok nggak selesai-selesai telinganya "diutak-atik" sama dokternya. Ternyata serumennya cukup besar... Wah, pasti pendengarannya langsung 'plong' setelahnya.

Salah satu kejadian terunik adalah ada seorang anak laki-laki yang menurut para dokter, serumen di telinganya begitu keras sampai tidak bisa dikeluarkan. Dia akhirnya diberi surat rujukan, dan surat rujukannya malah dirobek... Dia sempat menangis lalu kabur.... Para dokter mengkhawatirkan dia, dan solusinya adalah dengan memberitahu gurunya ditambah dengan membuat surat rujukan baru.

Ada juga ketika salah satu anak perempuan yang mengobrol sama teman-teman perempuan lainnya dalam bahasa sunda. Dia bicara ke mereka sambil sedikit-sedikit melihat ke arah saya, dan pembicaraannya terkesan "rahasia" karena sambil memelankan suara.... Padahal mah, saya juga nggak akan ngerti sama yang mereka bicarakan, wong saya nggak bisa bahasa sunda hahaha. Ini lucu pisan sih. Tapi dari gerak-geriknya, sepertinya mereka membicarakan tentang screening barusan.

Belum lagi sewaktu para anak perempuan duduk-duduk menunggu giliran audiometri, ada salah satu dokter THT yang 'iseng', yaitu dr. Fahmi. Beliau iseng bertanya-tanya ke anak-anak itu. "Siapa nama presiden Indonesia?" "Kalau nama wakil presidennya siapa?" "Siapa yang mau jadi guru? Siapa yang mau jadi dokter? Wah, cuma satu ya." "Siapa yang memimpin wilayah provinsi? A. Gubernur, B. Walikota, C. Camat" (malah kayak soal ujian/cerdas cermat). Kadang diwaro, kadang anak SD-nya cicing wae. Dan ada salah satu dokter yang bilang, "Lo tau nggak, Mi, kenapa dari tadi mereka nggak jawab pertanyaan lo? Soalnya mereka dari tadi ngga boleh ngomong." Ya, maklum saja. Untuk kepentingan pemeriksaan pendengaran, memang kita dilarang berisik sepanjang acara screening hahaha.

Ketika pasien anak SD sudah habis, sekarang waktunya para warga yang berdatangan. Mereka datang dari berbagai lapisan usia, mulai dari bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa, sampai lansia. Nah, datanglah seorang kakek-kakek yang dari cara jalannya, tampak sudah tua. Jalannya sudah bongkok dibantu dengan sebatang tongkat. Bicaranya sudah kurang jelas. Begitu ditanya umurnya berapa, beliau jawab 50... Dan begitu ditanya tahun lahir, katanya "Ya genep puluhan (1960-an) lah". Saya dan Teh Ilin mendadak bingung dan menulis apa adanya seperti yang dikatakan si kakek. Barulah dokter Yati (residen THT) keluar dan mengajak si kakek masuk. Ruang pemeriksaan mendadak ramai. Setelah si kakek selesai diperiksa, salah satu dokter THT bilang ke dokter Fahmi, "Dia cuma nurut sama lo, Mi.."

Sekitar jam 11, pasien kami habiiiis, dan tugas kami pun selesaaaiii~ Ditutup dengan sesi foto-foto, beserta pemberian kenang-kenangan kepada ibu kepala sekolah. Para peserta udah kepengen pulang, tapi kami masih disuruh untuk ke SD (tempat yang lain melakukan penyuluhan). Oh iya, btw, di screening kali ini, mahasiswa kedokterannya hanya saya dan Luthfi (anak Twinning). Sisanya koas dan residen. Tapi saya malah sekelompok sama 2 teman serumah saya, Teh Gweta yang membantu proses screening (karena sudah lewat stase THT) dan Teh Ilin (sesama petugas registrasi).

Perjalanan menuju SD ternyata cukup jauh ya (atau mungkin perasaan saya aja). Begitu sampai di SD, tersisa beberapa orang dan kondisinya mulai sepi. Anak SD udah pada pulang, sebagian peserta sedang survei ke rumah penduduk, sebagian peserta yang udah bertugas tadi pagi, hilang entah ke mana. Yang tersisa ada 1 orang anak SD kelas 1 (atau mungkin 2) namanya Cindy. Dia kerjaannya jalan-jalan bolak-balik, dan katanya dia cuma mau diajak ngobrol sama Suryo hahaha. Dan benar. Saya coba tanya-tanya "Namanya siapa?" "Kelas berapa?" "Kok belum pulang?" tapi nggak diwaro sama sekali... Teman-teman pun bilang kalau Suryo sudah menemukan 'kuncup desa' nya hahaha (kalau kembang desa kan udah dewasa gitu...)

Dimulailah kegabutan di SD. Kerjaan saya awalnya duduk, ngobrol, ngeledekin Suryo, dan tak lupa melaksanakan ibadah sholat zuhur. Selanjutnya masih sesi ngobrol dan ketawa-ketawa nggak jelas bareng Fardin, Muyas, Taza. Karena cuaca cukup panas, kami berniat mencari minuman dingin. Sayangnya, di warung dekat SD, nggak ada minuman dingin.. Akhirnya kami malah jajan dan nongkrong-nongkrong di warung, soalnya ada tempat lesehannya gitu. Sederhana sih, tapi cukup nyaman dan yang terpenting adalah nggak kepanasan lagi. Begitu makan siang mulai didistribusikan, kami main ambil aja dan lanjut numpang makan di warung sambil menonton ayam dan burung yang suka berseliweran di tanah mencari makan.

Sehabis makan, kami kembali ke SD dan terjadi kegabutan jilid dua, sesi ngobrol jilid dua, dan ketawa-ketawa nggak jelas jilid dua. Sempat juga ngobrol bareng Mugi dan Teh Amal, ngomongin OPPEK, fasil, dan lain-lain. Terus pindah ke tempat Mbakfir dan Sri Rahayu. Terus pindah ke depan. Pokoknya rusuh banget deh. Karena kami merasa lama-lama kami mengganggu ketenangan, kami kembali nongkrong-nongkrong cantik di warung tadi. Si ibu penjaga warung baik banget lah pokoknya. Bahkan kami sampai 'menggusur' bapak-bapak yang lagi duduk di situ hahaha.

Puas nongkrong cantik, kami kembali ke SD dan penasaran sama acara panjat pinang yang kita disuruh tonton nanti jam 4. Tempatnya ada di lapangan belakang SD. Kami pun ke sana, dan sudah ada tiang untuk panjat pinangnya. Perhatian kami justru tertuju ke pertandingan voli putri antardesa (atau antar-RT, atau antar-RW, atau siapa ajalah ya). Kata Kang Toha, "Olymphiart nih," hahaha. Dan mereka ternyata mainnya jago-jago banget. Lagi seru-serunya pertandingan, tiba-tiba Teh Dewi datang dan bilang kalau sekarang waktunya briefing.

Kami kembali ke SD, lewat tengah lapangan, dan langsung diliatin peserta lain... Dosen yang sedang memberi briefing pun tiba-tiba bilang, "Kalian 3 orang yang dibelakang nanti ikut balap karung yaa." Ternyata beliau memberi briefing soal lomba 17-an yang akan diadakan besok hahaha. Dan saya ikut lomba yel-yel antardesa bareng Citra, Aneu, Ujun, Taza, Al, dan lain-lain. Pertama, Citra sempet bikin lirik lagunya dengan nada lagu Balonku. Kedua, teteh-teteh Statera (punten lupa namanya teh) udah mikirin pake nada lagu Big Fat Pony. Dannn lirik yel-yel Desa Tobong Jaya adalah sebagai berikut:

Bong tobong tobong jaya
Bong tobong tobong jaya
Bong tobong tobong jaya
Desa Tobong Jaya

Kami dari Tobong Jaya
Paling dekat dari Bandung
Paling jauh dari pantai
Tapi ada sinyal

Sleeping bag enggak dibuka
Mau tidur ada kasur
Mau mandi banyak air
Itu Tobong Jaya

Bong tobong tobong jaya
Bong tobong tobong jaya
Bong tobong tobong jaya
Desa Tobong Jaya

Well, lirik buatan Citra ini agal sombong ya sebenernya. Tapi, yang bagian "tapi ada sinyal" sepertinya cuma berlaku buat telkomsel... Dan alhamdulillah, kami nggak perlu tidur tanpa kasur (seperti Desa Ciheras), di tenda (Desa Nagrog dan Pameutingan), atau pun kekurangan air untuk mandi. Jadi, anggap saja yel-yel ini sebagai rasa syukur kami hahaha.

Kemudian, teteh-teteh Statera dan ibu-ibu dokter residen datang dan mau ikutan juga. Terjadilah perdebatan mengenai gerakan. Sampai akhirnya diputuskan: pertama, formasi 4-5-4-5 yang menghadap ke belakang, lalu satu-satu menghadap ke depan sambil menjentikkan jari (tiap "bong tobong tobong jaya"). Lalu nyanyi paragraf pertama sekali lagi sambil membuat formasi setengah lingkaran. Pas paragraf kedua, di bagian "tapi ada sinyal" diperlambat sambil mengeluarkan handphone dari kantong. Setelah Teh Shereun teriak "krrrriak" (kayak kalo lagi tari Saman), baru lanjut ke paragraf ketiga. Dari paragraf ketige ke keempat, Teh Shereun teriak "huu!". Di paragraf terakhir, kami berpasang-pasang berjoget ala-ala Big Fat Pony. Selesaiiiiii~

Sekarang adalah waktunya nonton panjat pinang! Kami semua langsung bergerak ke lapangan belakang SD. Suasana begitu ramai dipadati manusia-manusia berbaju polo putih bertuliskan "From Rancabadak to Cipatujah" dan juga warga sekitar. Ada banyak jajanan di sekeliling, ada yang main sepeda, ada juga yang latihan paskibra untuk upacara bendera besok. Awalnya, saya ikut asyik menonton panjat pinang. Tapi, karena dari tadi mereka jatuh-jatuhan terus, saya malah bosan.. Ditambah lagi rasa haus dan keinginan untuk jajan. Lantas saya keliling mencari jajanan sama Mbakfir, tapi sebelumnya foto-foto tutor 23 FBS I-II bareng Citra, Aneu, Ujun, dan Muyas (minus catherine yang masih survey). Melihat para dokter residen minum es kelapa, rasanya jadi makin haus... Yang beli es kelapa malah Mbakfir, saya justru beli minuman (entah apa namanya) yang pokoknya berisi kelapa, mutiara, dan cincau (agak lupa juga sih apa aja isinya) ditambah susu.

Selama menyantap minuman saya, saya dari tadi memperhatikan suasana sekitar. Saya melihat anak-anak, orang tua, semuanya berkumpul di lapangan, semuanya bahagia. Dan bahagia mereka sesederhana itu. Mereka nggak butuh teknologi yang canggih untuk bisa bahagia. Mereka nggak sibuk dengan laptop, tab, handphone, bermain dengan media sosial, chatting, mengupload foto, menge-tag teman, menge-tag lokasi, dan sebagainya. Mereka cukup bertemu langsung dan melakukan apa saja yang bisa dilakukan bersama. Ah, saya jadi sedikit merenung di sini. Bagi saya yang sejak lahir tinggal di perkotaan dengan lingkungan rumah yang tertutup, saya sangat jarang merasakan suasana seperti ini. Yang bisa menghentikan kebahagiaan mereka mungkin hanya hujan (atau malah semakin bahagia karena main hujan-hujanan) dan malam hari (udah disuruh pulang orang tuanya), bukannya kuota yang habis atau baterai yang lowbatt. Bahagia itu sederhana ya...

Dari tempat saya duduk, saya bisa melihat Kang Dhiya Ihsan main bola sama anak-anak. Ada juga satu teteh-teteh, sepertinya Teh Shereun (ya, karena dia satu-satunya anak futsal Statera di sini). Selesai minum pun saya mendekat ke arah mereka dan ikut main bola! Teh Shereun jadi kiper, sisanya nggak jelas siapa lawan siapa kawan. Pokoknya asal lari-lari ngejar bola, asal ngerebut bola, terus tendang ke gawang! Semua lawan kiper.... Tapi yaa saya kurang bisa menendang ataupun merebut bola. Maklum, jiwa kipernya keluar. Bawaannya pengen nangkep bola aja dari tadi. Akhirnya saya yang jadi kipernya. Eh, tiba-tiba ada satu anak yang berdiri di belakang saya. Dia bilang dia jadi "bayangan". Maksudnya jadi kiper bayangan hahaha. Di sebelah kanan saya juga ada yang jadi bek. Alhamdulillah, minimal saya nggak sendirian :")

Ah, kebahagiaan yang sederhana lainnya... Di sini udah nggak peduli lagi kalau mereka anak-anak desa, dan kami mahasiswa kedokteran. Nggak peduli capek, nggak peduli lapangan kurang rata. Yang penting terus lari, kejar bola, hadang bola, rebut bola, tendang bola. Semuanya ketawa, semuanya bahagia. Nggak peduli siapa yang menang dan siapa yang kalah, karena nggak peduli juga siapa teman dan siapa lawan. Bahkan saya nggak peduli sama celana saya yang ikut kotor kena tanah merah gara-gara sempat jatuh pas mencoba menangkap bola hahaha. Dan sesi main bola random ini ditutup dengan foto-fotooo (anak FK banget nggak sih).

Karena yang lain udah jalan duluan, saya akhirnya jalan pulang bareng Teh Shereun. Tapi, begitu sampai di rumahnya, giliran saya berjalan sendirian ke rumah saya. Saya nggak tau jalan... Tapi, saya menikmati perjalanan sendirian ini sih. Saya selalu memperhatikan kiri dan kanan saya. Kadang ada semacam kolam degan air berwarna hijau, kadang ada ayam beserta anak-anaknya, kadang ada sawah, kadang ada rumah-rumah sederhana penduduk desa. Bahagia itu sederhana, ketika bisa melihat pemandangan yang sangat jarang ditemui. Saya hanya bisa tersenyum sepanjang jalan. Sambil menghirup udara segar pedesaan. Sendirian. Seolah memberikan saya kekuatan baru. Ya, memang terkesan dramatis atau hiperbola sih. Tapi, saya bahagia bisa tersasar sendirian di sini. Karena "getting lost is the good way to find yourself".

Beruntungnya, saya bertemu Teh Ilin di jalan. Kami jalan ke warung untuk membeli odol, dan akhirnya pulang juga ke rumah. Waktunya mandi dan sholat. Begitu saya masuk kamar, Teh Gweta, Teh Aisyah, dan Teh Ilin sedang membicarakan tentang........jodoh. Dari topik jodoh beralih ke per-koas-an, per-residen-an, dan masa-masa klinik yang masih sangat jauh di depan mata. Kemudian saya duduk di ruang tamu, dan justru membicarakan per-CIMSA-an dengan Teh Aisyah, karena dulu dia anak SCORP. Nggak lama, makan malam kami datang: nasi putih, ayam goreng, mie, tahu, sambal, timun, dan kerupuk. Pertamanya, saya ambil sedikit. Tapi saya ketagihan. Ayamnya enak, sambalnya enak. Saya tambah lagi nasi dan mie-nya. Eh, ayamnya kurang. Saya ambil ayam satu lagi hahaha.

Malam ini pun berakhir dengan Teh Gweta dan Teh Aisyah yang sudah berbaring di kasur, sedangkan Teh Ilin masih menggelar sleeping bag di lantai dan masih belajar. Saya yang nggak mau rugi karena udah nyewa sleeping bag seharga dua puluh lima ribu, sok-sok-an tidur di sleeping bag. Pertama, lantai keramiknya ada yang lepas, menjadikan lantainya nggak rata. Kedua, sleeping bag-nya cukup tipis. Saya udah mencoba tidur, tapi nggak tidur-tidur. Bahkan sampai Teh Ilin tidur. Akhirnya saya pindah ke kasur juga... Dan masih susah tidur. Entah kenapa saya malah kepanasan. Entah kenapa saya malah merasa kurang nyaman, padahal kemarin nyaman-nyaman aja. Dan barulah saya bisa tidur setelah sekian lagu terputar melalui headset...

Comments

Popular Posts