Trilogi A. Fuadi, Passion, dan Tujuan Hidup

Jujur, saya bingung mau memulai tulisan ini dari mana. Pada hari ini--Rabu, 1 Juli 2015---saya baru saja menyelesaikan akhir dari sebuah trilogi yang 'amat panjang': "Rantau 1 Muara" oleh Ahmad Fuadi. Buku pertamanya, "Negeri 5 Menara" saya hatamkan di hari Jumat, 26 Juni lalu. Sedangkan, buku keduanya, "Ranah 3 Warna" baru saja saya selesaikan kemarin, Selasa, 30 Juni. 

Sejak kecil, saya jarang membaca. Satu-satunya yang sering saya baca hanyalah buku pelajaran. Tapi, saya suka menulis. Memang aneh sebenarnya. Karena bagi penulis-penulis hebat, pastilah buku sudah seperti makanan pokok dan camilan di setiap harinya.

Saya mulai suka membaca, khususnya novel, sejak kelas 11 karena mendapat tugas membaca dari guru Bahasa Indonesia saya selama 3 tahun, Bu Rusmini. Di kelas 10, kami juga sudah mendapat tugas yang sama. Tapi, pada waktu itu, tugas tersebut masih bisa 'dimanipulasi', karena kami hanya disuruh menuliskan rangkuman buku, yang bahkan bisa kami contek dari internet. Sejak kelas 11, tugas tersebut pun dilengkapi oleh ikut dikumpulkannya buku yang kami baca. Karena sudah kepalang tanggung, akhirnya saya baca juga novel-novel tersebut. Dan saya sangat menikmati setiap adegan dan detail dari setiap kalimat yang saya baca, sambil sesekali memeragakannya dengan tangan, raut muka, atau pun ikut terbawa suasananya. Saya mulai menikmati membaca.

Sayangnya, karena kesibukan kelas 12, kesukaan membaca saya harus tertahan dan tergantikan oleh "kesukaan" baru membaca buku pelajaran dan soal-soal try out ujian nasional maupun SBMPTN.

Semenjak masuk kuliah, boro-boro baca novel. Baca textbook kedokteran yang tebalnya bukan main dan berbahasa Inggris itu saja, rasanya tidak akan habis-habis.

Barulah semenjak liburan ini, saya berusaha mencari kegiatan yang bermakna. Setelah seminggu lebih bosan dengan rutinitas tak produktif yang hanya berkisar: tidur, makan, main hp, main laptop, dari bangun sampai tidur lagi, akhirnya saya memutuskan untuk membaca novel. Trigger-nya adalah ketika grup Line SCOREpublic mendadak membicarakan novel. Saya langsung mundur dari pembicaraan, mengingat pengetahuan saya akan buku dan novel sangat minim. Lalu saya mulai mencari novel apa yang tersedia di rumah saya. Pilihan saya jatuh kepada Negeri 5 Menara.....

Baru juga 3 buku yang saya habiskan. Tapi rasanya saya sudah "keliling dunia". Mulai dari eloknya Nagari Bayur di Danau Maninjau; menakjubkannya mondok di Pondok Madani, Ponorogo; Universitas Padjajaran, Bandung (dan bahkan ini almamater saya sendiri); kering dan panasnya hawa di Yordania; hangat dan dinginnya 4 musim di Quebec, Kanada; sulitnya bekerja di Jakarta; dan hiruk pikuk kota Washington DC, Amerika Serikat.

Perasaan saya juga bagai diaduk-aduk dalam trilogi ini. Saya begitu kagum dengan semua pelajaran agama, bahasa, dan pelajaran kehidupan yang diajarkan di Pondok Madani (aslinya: Pondok Pesantren Gontor), begitu juga dengan para gurunya yang hebat. Saya ikut sedih dan menangis terisak saat ayah dari Alif meninggal dunia (ya, maafkan kebaperan saya). Saya juga sedih melihat Mado dan Ferdinand melepas kedua anak angkatnya yang harus berpulang ke kampung halamannya. Senyum saya turut terkembang saat melihat Alif mulai merasakan jatuh cinta kepada Raisa, namun hati saya ikut berontak kesal ketika tahu kalau Raisa dan Randai (sahabat Alif) mengabarkan telah bertunangan, hanya sesaat sebelum Alif menyatakan perasaan yang sudah ia pendam selama 2 tahun. Dan ketika melihat Alif, Dinara dan ibunya Dinara bersekongkol untuk membuat ayah Dinara setuju dengan lamaran Alif, saya tertawa kecil pula. Puncak kebaperan adalah saat saya harus membaca adegan-adegan kemesraan antara Alif dan Dinara yang berpacaran setelah menikah. Ah, ternyata bukan cuma SOOCA yang membuat syndrome ingin menikah, ya....

Selain perasaan saya yang larut dalam haru biru atau pun riang gembira dalam alur, yang tak kalah terpengaruh adalah otak saya. Pikiran saya. Idealisme saya. Saya yang pada awal liburan sempat berpikir ulang mengenai tujuan hidup, pun menjadi kembali mengulang untuk berpikir ulang (??)

Man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Apakah selama ini saya masih kurang bersungguh-sungguh dalam belajar dan menggapai cita-cita?

Man shabara zhafira. Siapa yang sabar akan beruntung. Apa selama ini saya masih kurang sabar? Ingin semuanya terwujud secara instan tanpa menikmati proses? Tapi, saya merasa selalu menikmati prosesnya... Sekali lagi, apa mungkin selama ini saya masih kurang bersabar dan banyak mengeluh?

Man saara ala darbi washala. Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan. Nah, ini dia. Masalah utamanya adalah: jalan apa yang saya ambil? Apa tujuan hidup saya yang sebenarnya? Apa yang menjadi nafas pada setiap langkah kaki yang saya tempuh? Apa yang menjadi nadi dalam setiap gerakan tangan, tulisan, dan ketikan yang saya perbuat?

Kata seorang tokoh besar dalam trilogi tersebut, Kiai Rais, beliau berpesan (if I'm not mistaken) bahwa jalan yang kita ambil adalah sesuatu yang telah kita lakukan dan kita dalami secara konsisten selama 3-5 tahun. That's the point! "Dalami" dan "konsisten". Itulah yang selama ini hilang dari diri saya. Tak ada disiplin ilmu yang spesifik, yang saya jalani dan dalami secara konsisten, bahkan dalam 2 tahun terakhir. Saya selalu melakukan segala sesuatu secara superficial, hanya kulit luarnya saja. Entah dimulai dari mana 'kesalahan' ini. Barangkali, ini karena dulu semasa SMP dan SMA, saya terlalu fokus belajar dan tidak memanfaatkan keberadaan kegiatan ekstrakurikuler yang dapat menambahkan softskill untuk saya, dan mungkin membantu saya menemukan passion.

Wait a sec.... What did I just say? Passion?! Geez... Where have you been, passy? I've been loking for you and I've got nothing. Where can I found you? Or, HOW can I find you?

Bicara soal passion, inilah yang mengusik saya beberapa minggu terakhir. Pilihannya tiga: akademisi, aktivis, atau peneliti. Mau memperbaiki IPK? Mau aktif di berbagai organisasi? Atau mau membuat banyak karya tulis dan essay ilmiah? Apa pun itu, saya selalu teringat dengan kata-kata Kang Dudu saat judicium mabim. Beliau bilang, setiap akan melakukan sesuatu, tentukan dulu "why"-nya. Apakah karena ingin bermanfaat bagi orang lain? Apakah sekadar ingin terlihat impresif di mata seseorang? Atau karena kita suka melakukannya, karena memang sudah passion-nya?

Damn, I'm talking about you again, passy...

Well, beginilah saya yang semasa SMP dan SMA tak tersentuh oleh organisasi, semacam OSIS atau MPK. Pernah menjadi anggota OSIS saat SMP, tapi sama sekali tak funsgional. Sampai akhirnya keacuhan saya terhadap organisasi kemahasiswaan pun diruntuhkan oleh para master-master organisasi, Kang Dudu dan Kang Anta Nasution (sepertinya saya sudah beberapa kali membahas hal ini di postingan sebelumnya). Saya menjadi haus akan organisasi, haus akan pengalaman. Dan sesaat setelah masuk SCORE CIMSA, saya mengenal sosok-sosok peneliti jenius yang kaya pengalaman, bahkan sudah melalang buana ke berbagai negara: Teh Bunga Diela dan Kang Afandi Charles. Kekaguman terhadap mereka dan teman-teman penelitinya membuat saya penasaran dengan dunia penelitian, per-esai-an, per-KTI-an, dan semua lomba-lomba adu kejeniusan itu.

Di titik inilah saya galau. Bukan, bukan galau soal percintaan dan tetek bengeknya. Tapi, saya sadar. Saya tidak akan sanggup meng-handle keduanya secara bersamaan. Benar juga kata Kang Charles sewaktu saya tanya "Kenapa sih, Kang, kok ikut organisasinya yang ga jauh-jauh dari research?" beliau menjawab "Supaya nggak pusing." Saya yang tadinya tidak sepaham dengan jawaban tersebut, akhirnya tertunduk juga. He was right. Lebih baik 100% dalam 1 hal, daripada 20% dalam 5 hal sekaligus. Dan 1 hal itu, merupakan satu hal yang benar-benar menjadi passion...

Where What are you, passy?

Untuk mencari passion yang belum ditemukan itu, satu-satunya cara menurut saya adalah: mencoba semua kemungkinan. Kadang, saya tidak menyukai sesuatu karena belum mencobanya, atau belum mempelajarinya. Baiklah. Saya pun mencoba mewujudkannya dengan RTHO (Regional Town Hall Online), sebuah kelas online dari MEP ISMKI yang kali ini menggandeng BAPIN ISMKI sebagai mitranya. Materinya adalah "benda-benda" yang membuat saya penasaran semenjak saya mengenal Teh Bunga, Kang Charles dan segala embel-embel keilmiahan: KTI, scientific poster, public poster, dan essay. Saat materi public poster, berbeda dengan materi lainnya, saya begitu antusias. Saya aktif memberikan pendapat dan bertanya, walaupun akhirnya saya ketiduran karena kelelahan seharian. Kemudian saya juga mendapat tugas membuat poster untuk publikasi suatu acara SCORE. Awalnya saya belajar photoshop, lalu saya menemukan web pembuat poster yang lebih mudah dalam proses pembuatannya. Saya pun bisa membuat poster. Saya coba buat lagi. Saya bahkan iseng mencari lomba poster dan langsung membuat posternya saat itu juga. Saya ketagihan masuk ke dalam dunia poster... Bahkan hampir lupa waktu karenanya.

Great! I've found you, passion! But, I know, you're not alone. I gotta find another kind of you!

Kembali ke novel, Ada kalimat going the extra miles yang (again, if I'm not mistaken) disampaikan oleh wali kelas Alif saat masih kelas 1 di Pondok Madani, Ustadz Salman. "Melebihkan usaha di atas rata-rata orang lain." Saya jadi tersindir dengan cara belajar saya selama ini. Boro-boro melebihkan usaha. Lebih tepatnya saya melebihkan jam tidur saya di atas rata-rata jam tidur anak FK kebanyakan... Saya pun bertekad untuk mengubah semua itu mulai dari semester depan. Semoga saja ini semua bukan sekadar wacana..

Kalimat motivasi lain yang menggugah bagian terdalam dari diri saya adalah, sebuah terjemahan syair Imam Syafi'i:

Orang pandai dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Dari sini, hati saya langsung berontak. I do really have to go abroad. I gotta get that research exchange. I gotta try for London MUN the next year. I do really have to go abroad.

Terakhir, sebelum saya akhiri, ada satu kalimat lagi yang menggetarkan sanubari saya. Sebuah pesan dari Imam Al-Ghazali yang tertulis secara eksplisit dalam trilogi terakhir. "Jika kau bukan anak raja juga bukan anak ulama besar, maka menulislah." Saya pun teringat cita-cita saya yang lain: menjadi jurnalis. Walaupun sedikit mengintervensi pencarian passion dan tujuan hidup, minimal tulisan saya masih hidup melalui tumpahan-tumpahan isi otak saya ke dalam blog ini. Dan barangkali, dengan semakin banyaknya buku yang saya baca, maka semakin kaya jugalah saya akan kosakata dan hal-hal sastrawi yang juga akan memperkaya tulisan-tulisan saya selanjutnya :)

Comments

Popular Posts