Hujan dan Rindu
Dan dalam setiap tetes hujan yang akan jatuh membasahi bumi Jakarta pada esok hari (menurut aplikasi ramalan cuaca di smartphone-ku, besok akan turun hujan), tertumpah-ruah-lah segala kerinduan yang dibawanya. Rindu yang tertinggal pada masa yang jauh di belakang. Rindu yang terikat pada kekaguman yang tiada batas. Rindu yang tertiup oleh angin menyapa daratan di seberang samudera.
Hujan. Dulu, aku membenci hujan. Hujan membuat basah. Hujan melarangku pergi keluar rumah. Hujan membuat banjir. Hujan membuat genteng bocor. Hujan yang kadang merembes ke dinding kamar. Bunyi hujan berisik. Aku benci bunyi berisik. Hujan juga membuat jemuran tidak kering. Hujan merepotkan! Hujan menyusahkan! Bahkan sampai ada yang membuat lagu. "Hujan hujan pergilah! Datanglah lain hari!"
Hujan. Kini, aku mencintai hujan. Hujan mengingatkanku pada momen-momen indah. Setiap tetes yang melahirkan kebersamaan. Setiap rinai yang menciptakan kenangan. Setiap derai yang mendekatkanku kepada mereka. Mereka, orang-orang yang pernah dan masih bersemayam di relung-relung hati. Mereka yang puing-puing kenangannya masih melekat erat di memori. Aku rindu mereka.
1. Laki-Laki Pertama
Dia yang kukenal sejak bangku SMP. Dia yang dulu menjadi rival terberat sekaligus kekasih tercinta. Dia yang bahkan tak pernah berani menyentuh tanganku. Dia yang sangat menjaga dirinya dan diriku. Dia yang selalu meminta maaf sekalipun tak tahu salahnya apa. Dia yang tak pernah bisa memecahkan kode-kode dari status-statusku di media sosial. Dia yang selalu mengalah menghadapi kemarahan-kemarahan tak bermakna dariku. Dia yang terpaksa melepaskanku. Dia yang menjadi korban keegoisanku.
Oh, hujan. Aku ingat betapa hujan pernah memperlambat waktu kita bersama. Di depan laboraturium sekolah. Aku mengenakan cardigan garis-garis karena mulai terasa dingin. Kau masih asyik menceritakan kelucuan yang kau alami di hari itu. Aku masih mendengarkan dengan seksama. Seluruh raga dan jiwaku larut dalam kebahagiaan.
Namun, kini kau telah jauh di sana. Masa-masa indah itu juga telah jauh di belakang. Yang tersisa hanyalah butir-butir kenangan dan rindu yang terbawa pada setiap tetes hujan. Percayalah. Selama hujan masih turun ke muka bumi dan selama belum ada cincin yang melingkari jari manisku, selalu ada tempat untukmu kembali.
2. Laki-Laki Kedua
Karisma yang tak ada tandingannya. Kemampuan mempertahankan atensi audiens setiap kali ia berbicara. Pembawaan yang santai, menyenangkan namun tetap berwibawa. Pengalaman dan ilmu yang begitu luas. Keramahan yang tak memandang. Lelucon-lelucon yang kadang membuat kesal. Wajah yang selalu tampak bahagia. Senyuman yang menyejukkan mata siapapun yang memandang. Siapa yang bisa menahan untuk menyerahkan hatinya? Yang jelas, bukan aku.
Sore itu, hujan turun membasahi lapangan luas yang menjadi tempat acara kami. Lagu milik almarhum Chrisye dinyanyikan, dan pecahlah suasana. Kau yang masih duduk bersama teman-temanmu, ditarik masuk ke lapangan oleh teman-temanku. Tanpa sadar, kameraku turut mengikutimu dan merekam jejak langkahmu. Kita lalu bernyanyi dan menari bersama. Walaupun tak hanya kita berdua, tapi fokusku hanya padamu. Kita berbahagia bersama pada saat itu. Dan kebahagiaanku lengkap sudah. Menari di bawah hujan, dan bersamamu. Walaupun tak hanya kita berdua, tapi fokusku hanya padamu.
Pada sore yang lain, kukembalikan sesuatu yang telah kupinjam darimu. Kemudian kau bagi sepotong gorengan yang kau beli. Aku tak tahu kalau gorengan itu pedas. Kau pun sempat berniat membelikanku minum, tapi akhirnya aku membelinya sendiri. Kita cukup banyak berbincang. Tanpa bertatapan mata. Sesekali memainkan handphone masing-masing. Sesekali tak peduli kalau yang dihadapannya ingin diajak bicara lebih banyak. Sesekali melemparkan pertanyaan yang terkesan basa-basi. Kau menyuruhku pulang. Kemudian hujan turun. Aku tak bisa pulang. Kau tetap menyuruhku pulang. Tapi, aku tak tahu bagaimana melindungi diriku dari hujan. Kita melanjutkan sedikit perbicangan sampai akhirnya kau meninggalkanku. Tak apa, asalkan pernah duduk satu meja bersamamu. Tak apa. Atau paling tidak, hujan pernah mempersatukan kita sebanyak dua kali. Dan selama rinai hujan masih mengikuti gravitasi bumi, kekagumanku padamu tak akan pernah sirna. Serta mungkin, perasaanku juga.
3. Laki-Laki Ketiga
Kecerdasan luar biasa. Kepintaran yang sudah terbukti pada setiap jenjang. Kedalaman ilmu dan pengetahuan yang dimiliki. Senyuman yang mampu mencairkan hati. Pendengar yang teramat sangat baik. Pendiam yang dalam diamnya terdapat pemikiran-pemikiran ilmiah. Kemanjaan yang kadang membuat kita menggelengkan kepala. Menaruh hati kepadamu barangkali salah satu keputusan terkonyol yang pernah kubuat.
Hujan yang memaksa kita untuk makan bersama, berdua. Hujan juga yang membuktikan bahwa kau adalah lelaki sejati. Bukan dengan kekuatan fisik yang sanggup menembus derasnya hujan. Tapi, dengan kesediaanmu meminjamkanku payung. Sesederhana itu. Padahal, kau yang sedang tidak sehat pada waktu itu. Ditambah lagi dengan kerelaanmu mendengarkan semua ceritaku yang sebenarnya tak berarti apa-apa bagimu. Bahkan di saat kau sangat asyik dengan gadget-mu (ya, kau sangat maniak dengan gadget-gadget-mu itu), kau langsung menoleh setiap kali kupanggil. Kau langsung menatapku dan terus menatapku sampai aku selesai bicara. Kau menjadi pendengar yang baik, di saat aku sering tak didengar. Kau seketika menjadi kebutuhkanku. Sekalipun tak berlaku sebaliknya bagimu. Karena aku tetaplah bukan siapa-siapa untukmu.
Saat ini, kau sedang jauh. Jauh di mata, jauh di hati. Menyeberangi samudera luas demi ilmu dan pengalaman baru. Sedangkan, aku hanya terjebak di ibukota yang sementara ditinggalkan lebih dari setengah penghuninya. Hanya doa yang bisa kupanjatkan untukmu. Walaupun ragaku dan hatiku tak akan pernah sampai menyeberangi samudera luas itu, namun sudah kutitipkan kebaikan-kebaikan melalui tangan Tuhan yang bagi-Nya, bahkan mengarungi separuh belahan bumi hanyalah perkara menjentikkan jari. Jadi, cukuplah doaku dan turunnya hujan yang mengingatkan bahwa pernah ada perasaan yang tumbuh karenanya (hujan), dan karena-Nya.
Hujan. Turunlah, hujan. Tanah kami sudah mulai kering. Debu-debu berterbangan menyesakkan dada. Nyamuk-nyamuk berterbangan menyisakan gatal dan penyakit. Tanaman kami sudah mulai kehausan. Terik matahari semakin menyilaukan dan menghitamkan. Panas. Pemakaian listrik semakin boros. Panas. Aku ingin dingin. Aku ingin hujan.
Hujan. Turunlah, hujan.
Turunlah. Sampaikan salamku pada lelaki yang jauh berada di masa lalu itu.
Turunlah. Sampaikan rasa yang tak pernah padam pada lelaki yang selalu kukagumi itu.
Turunlah. Sampaikan ceritaku pada lelaki di separuh belahan bumi yang lain itu.
Turunlah. Sampai tubuh ini larut terbawa olehmu.
Oh, hujan. Aku ingat betapa hujan pernah memperlambat waktu kita bersama. Di depan laboraturium sekolah. Aku mengenakan cardigan garis-garis karena mulai terasa dingin. Kau masih asyik menceritakan kelucuan yang kau alami di hari itu. Aku masih mendengarkan dengan seksama. Seluruh raga dan jiwaku larut dalam kebahagiaan.
Namun, kini kau telah jauh di sana. Masa-masa indah itu juga telah jauh di belakang. Yang tersisa hanyalah butir-butir kenangan dan rindu yang terbawa pada setiap tetes hujan. Percayalah. Selama hujan masih turun ke muka bumi dan selama belum ada cincin yang melingkari jari manisku, selalu ada tempat untukmu kembali.
2. Laki-Laki Kedua
Karisma yang tak ada tandingannya. Kemampuan mempertahankan atensi audiens setiap kali ia berbicara. Pembawaan yang santai, menyenangkan namun tetap berwibawa. Pengalaman dan ilmu yang begitu luas. Keramahan yang tak memandang. Lelucon-lelucon yang kadang membuat kesal. Wajah yang selalu tampak bahagia. Senyuman yang menyejukkan mata siapapun yang memandang. Siapa yang bisa menahan untuk menyerahkan hatinya? Yang jelas, bukan aku.
Sore itu, hujan turun membasahi lapangan luas yang menjadi tempat acara kami. Lagu milik almarhum Chrisye dinyanyikan, dan pecahlah suasana. Kau yang masih duduk bersama teman-temanmu, ditarik masuk ke lapangan oleh teman-temanku. Tanpa sadar, kameraku turut mengikutimu dan merekam jejak langkahmu. Kita lalu bernyanyi dan menari bersama. Walaupun tak hanya kita berdua, tapi fokusku hanya padamu. Kita berbahagia bersama pada saat itu. Dan kebahagiaanku lengkap sudah. Menari di bawah hujan, dan bersamamu. Walaupun tak hanya kita berdua, tapi fokusku hanya padamu.
Pada sore yang lain, kukembalikan sesuatu yang telah kupinjam darimu. Kemudian kau bagi sepotong gorengan yang kau beli. Aku tak tahu kalau gorengan itu pedas. Kau pun sempat berniat membelikanku minum, tapi akhirnya aku membelinya sendiri. Kita cukup banyak berbincang. Tanpa bertatapan mata. Sesekali memainkan handphone masing-masing. Sesekali tak peduli kalau yang dihadapannya ingin diajak bicara lebih banyak. Sesekali melemparkan pertanyaan yang terkesan basa-basi. Kau menyuruhku pulang. Kemudian hujan turun. Aku tak bisa pulang. Kau tetap menyuruhku pulang. Tapi, aku tak tahu bagaimana melindungi diriku dari hujan. Kita melanjutkan sedikit perbicangan sampai akhirnya kau meninggalkanku. Tak apa, asalkan pernah duduk satu meja bersamamu. Tak apa. Atau paling tidak, hujan pernah mempersatukan kita sebanyak dua kali. Dan selama rinai hujan masih mengikuti gravitasi bumi, kekagumanku padamu tak akan pernah sirna. Serta mungkin, perasaanku juga.
3. Laki-Laki Ketiga
Kecerdasan luar biasa. Kepintaran yang sudah terbukti pada setiap jenjang. Kedalaman ilmu dan pengetahuan yang dimiliki. Senyuman yang mampu mencairkan hati. Pendengar yang teramat sangat baik. Pendiam yang dalam diamnya terdapat pemikiran-pemikiran ilmiah. Kemanjaan yang kadang membuat kita menggelengkan kepala. Menaruh hati kepadamu barangkali salah satu keputusan terkonyol yang pernah kubuat.
Hujan yang memaksa kita untuk makan bersama, berdua. Hujan juga yang membuktikan bahwa kau adalah lelaki sejati. Bukan dengan kekuatan fisik yang sanggup menembus derasnya hujan. Tapi, dengan kesediaanmu meminjamkanku payung. Sesederhana itu. Padahal, kau yang sedang tidak sehat pada waktu itu. Ditambah lagi dengan kerelaanmu mendengarkan semua ceritaku yang sebenarnya tak berarti apa-apa bagimu. Bahkan di saat kau sangat asyik dengan gadget-mu (ya, kau sangat maniak dengan gadget-gadget-mu itu), kau langsung menoleh setiap kali kupanggil. Kau langsung menatapku dan terus menatapku sampai aku selesai bicara. Kau menjadi pendengar yang baik, di saat aku sering tak didengar. Kau seketika menjadi kebutuhkanku. Sekalipun tak berlaku sebaliknya bagimu. Karena aku tetaplah bukan siapa-siapa untukmu.
Saat ini, kau sedang jauh. Jauh di mata, jauh di hati. Menyeberangi samudera luas demi ilmu dan pengalaman baru. Sedangkan, aku hanya terjebak di ibukota yang sementara ditinggalkan lebih dari setengah penghuninya. Hanya doa yang bisa kupanjatkan untukmu. Walaupun ragaku dan hatiku tak akan pernah sampai menyeberangi samudera luas itu, namun sudah kutitipkan kebaikan-kebaikan melalui tangan Tuhan yang bagi-Nya, bahkan mengarungi separuh belahan bumi hanyalah perkara menjentikkan jari. Jadi, cukuplah doaku dan turunnya hujan yang mengingatkan bahwa pernah ada perasaan yang tumbuh karenanya (hujan), dan karena-Nya.
***
Hujan. Turunlah, hujan. Tanah kami sudah mulai kering. Debu-debu berterbangan menyesakkan dada. Nyamuk-nyamuk berterbangan menyisakan gatal dan penyakit. Tanaman kami sudah mulai kehausan. Terik matahari semakin menyilaukan dan menghitamkan. Panas. Pemakaian listrik semakin boros. Panas. Aku ingin dingin. Aku ingin hujan.
Hujan. Turunlah, hujan.
Turunlah. Sampaikan salamku pada lelaki yang jauh berada di masa lalu itu.
Turunlah. Sampaikan rasa yang tak pernah padam pada lelaki yang selalu kukagumi itu.
Turunlah. Sampaikan ceritaku pada lelaki di separuh belahan bumi yang lain itu.
Turunlah. Sampai tubuh ini larut terbawa olehmu.
Comments
Post a Comment