OSCE Pertama: A-Z

Prolog:
Menjadi mahasiswa kedokteran itu tidak mudah. Tidak mudah. Tapi, bukankah beserta kesulitan itu ada kemudahan? Ya, saya yakin itu. Sulit bukan berarti tidak bisa dilakukan. Justru itu yang harus dijadikan sebagai tantangan yang membuat kita lebih bersemangat dalam menjalani, menghadapi dan menaklukkannya!

Di saat mahasiswa fakultas lain, atau bahkan mahasiswa kedokteran universitas lain sedang asyik menikmati liburannya, atau bingung liburannya mau dihabiskan untuk apa saja, atau malah sudah mulai bosan berlibur, kami masih setia menghuni sebuah kecamatan di Sumedang: Jatinangor. Menurut jadwal, ini adalah hari ujian terakhir kami, seandainya kami tidak remedial. Ujian itu bernama OSCE.

OSCE merupakan kepanjangan dari Objective Structured Clinical Examination. Kalau SOOCA menguji apa yang kami dapatkan di kelas tutorial, OSCE menguji apa yang kami dapat dari clinical skill’s lab. Kalau saat SOOCA dilakukan pengundian tentang case mana yang kami dapat, di OSCE semua yang kami pelajari selama skill’s lab akan diujikan. Untuk tahun pertama, Alhamdulillah masih terdapat 8 station mengenai skill-skill kedokteran yang wajib kami kuasai, yaitu:
1.     Anamnesis
2.     General survey
3.     Vital sign examination
4.     Blood pressure examination
5.     Informed consent
6.     Microscope
7.     Helminth examination
8.     Route of drug administration

H-2 OSCE
Seperti biasa, saya masih belum panik… Di hari itu, saya dari pagi masih belajar sendiri, dan malamnya saya berniat menghampiri Nina di lantai bawah, wing kiri. Ternyata di sana ada OSCE-OSCE-an yang diikuti 8 orang (Nina, Fo, Hapsari, Nana, Elsa, Amel, Taza, Najmia), di mana sistemnya mereka melingkar dan berpindah searah jarum jam untuk setiap station. Sewaktu saya mau mengambil sesuatu di kamar, ternyata di lantai saya juga ada OSCE-OSCE-an di wing kiri. Dan karena mereka kekurangan penguji, saya yang jadi penguji di station informed consent.

H-1 OSCE
Seharian ini dapat dikatakan saya kembali meng-gabut yah… Alhamdulillah, ketika saya membutuhkan orang yang mau diajak OSCE-OSCE-an, tiba-tiba Sakinah nge-line saya dan bilang mau mencoba mengukur blood pressure. Akhirnya kami bergantian, dan saya mencoba mejelaskan direct wet slide untuk helminth examination. Setelah itu, saya kembali beristirahat dan tiba-tiba Agita mengetok kamar saya menawarkan OSCE-OSCE-an. Alhamdulillah, lumayan mendapat tambahan latihan 2 station lagi.

Malamnya, barulah saya ikut OSCE-OSCE-an di lantai 2 wing kiri yang terdiri atas 7 station dan 3 station istirahat. Begiu di bagian informed consent yang diuji Syifa, saya malah lupa menanyakan saksi dari pihak keluarga pasien dan lupa meminta dokter menjadi saksi dari pihak rumah sakit. Seketika saya bilang, “Astaghfirullah! Lupa nanyain pasien dateng sama siapa sama sama minta kesediaan dokter…” Padahal baru kemarin saya yang jadi penguji informed consent-_-

Begitu di station route of drug administration, yang jaga Najmia.. Saya awalnya malah ketawa-ketawa dulu dan susah serius kalo ngeliatin si Jemi-_- Dan yang lebih lucunya lagi, karena obat aslinya nggak ada, saya dikasih botol sambal, permen, spidol, jepit rambut dan benda-benda kecil lain. Katanya, “Udah ini sesuai imajinasi lo aja ya obatnya. Lo boleh ambil apa aja deh di sini buat dijadiin obat.” Hahaha sumpah ini lucu banget._. Akhirnya botol sambal saya jadikan syrup, permen saya anggap vaginal suppository, dan spidol saya anggap nose drops.

Yang fatal adalah ketika saya di station istirahat, saya udah stand-by memegang jam weker yang digunakan sebagai bel. Tiba-tiba ada yang bilang, “Loh kok Cuma 6 orang yang masuk?” dan secara tiba-tiba juga, Saras keluar dari sebuah kamar. “Eh ini nggak ada yang masuk?” Dan ternyata saya harusnya ke station-nya Saras dulu… Akhirnya, saya buru-buru masuk, melakukan vital sign examination, dan lupa menanyakan apakah pasien sudah menunggu lama dan apakah pasien sempat meminum kopi/merokok sebelum pemeriksaan…

Kamis, 8 Januari 2015. Bangun jam 4, tidur lagi, baru bangun jam 5. Mandi, sarapan dan cus ke kampus sekitar jam 6. Langsung naik ke “Padang Mahsyar” (C6.3), dan sudah terlihat lautan manusia di sana. Kali ini, saya merasa cukup tegang dan deg-deg-an. Dibandingkan dengan SOOCA, OSCE jauh lebih mendebarkan menurut saya. Dan ketika si bapak pemanggil nama mulai menyalakan mikrofon sekitar jam 7, bapak itu berkata, “Andini Woro. ADINDA SYARIFAH NOOR.” Waduh! Kloter 1 banget nih? Saya antara senang karena tidak harus menunggu lama sampai siang dan tegang juga karena siap tidak siap, bagaimana pun OSCE perdana ini harus saya hadapi.

Seperti biasa, kami berbaris terlebih dahulu di depan lapangan. Kami dibagi menjadi 4 baris yang menandakan 4 kloter yang berbeda yaitu A, B, C, D. Saya mendapat kloter D. Kami pun langsung turun, dan seperti biasa, manusia-manusia yang masih di lapangan futsal bertepuk tangan seolah melepas kami ke medan perang. Dan di saat-saat seperti ini, beberapa yang laki-laki malah main bola di lapangan…..

Well, saya mendapat ruangan di C5.1. Saya satu kloter dengan Faisal, TM, Brandon, Andini, Dani, Gianta, Adim, Refi, Grace, Aneu dan Denfa. Karena saya berdiri di urutan ke-5, maka saya akan mendapat station 4 terlebih dahulu karena ada rest station di setiap 2 station. Yang saya tau, kalau urutannya sesuai skill’s lab, maka station 4 berisi blood pressure examination… Duh, saya sangat takut denyut nadinya tidak kedengaran…..

Setelah menunggu cukup lama (bahkan yang kloter C sudah masuk duluan) karena ada seorang dokter penguji yang ditunggu, akhirnya kami masuk juga. Pertama, kami berdiri di station masing-masing. Dokter Achadiyani memberikan instruksi. Jadi, pada bel pertama, kami mulai membaca soal yang ada di depan ruangan. Satu menit kemudian, aka nada bel lagi, kami masuk ke ruangan dan mengerjakan ujian selama 9 menit. Bel berikutnya, kami langsung keluar ruangan dan langsung membaca soal di station berikutnya. Bel 1 menit kemudian, kami masuk dan mengerjakan ujian kembali. Begitu juga seterusnya. Ada 8 station, ditambah rest station yang berada di setiap 2 station.

Station 4
Alhamdulillah, ini adalah station general survey! Langsung saja saya isi absen dan mulai melakukan GS kepada pasien. Alhamdulillah, saya selesai cukup cepat, dan sang dokter menyuruh saya langsung keluar. Eh, ternyata yang sudah selesai harus menunggu di dalam. Saya pun masuk lagi, dan karena tidak ada kursi, saya disuruh berdiri, menunggu di pojokan….(ini serius) Alhamdulillah seorang bapak-bapak memberikan saya kursi. Dan ke-awkward-an pun terjadi karena tidak terjadi percakapan antara saya dan dokter penguji yang saya tidak ketahui namanya itu. Barulah tiba-tiba beliau memecah keheningan.

“Gimana rasanya kuliah kedokteran?”
“Yaa emang nggak gampang sih, Dok. Tapi yaa sejauh ini saya seneng-seneng aja ngejalaninnya.”
“Iya, di kedokteran emang gitu, kita nggak kenal libur di sini. Gimana dosen-dosennya?”
“Yaa kalo dosennya macem-macem sih, Dok. Tiap orang beda-beda. Tapi baik-baik sih.”
“Enakan dosen muda apa tua?”
“Wah, relative sih Dok. Kalo dokter muda biasanya lebih santai. Kalo dokter yang tua biasanya penyayang gitu."
"Ada yang galak nggak?"
"Yaa ada sih, Dok..."
"Siapa?"
"Dokter ***** Dok hehe. Tapi kalo ngajar lecture enak banget.. Cuma pas tutor suka galak."
"Oh dia emang kata orang-orang galak hahaha."

TEEEEEEEEEET

"Ya udah, makasih, Dok."

Station 5
Saya keluar dan langsung membaca soal. Jeng jeng jeng..... Blood pressure. Pas masuk, saya isi absen, perkenalkan diri ke pasien, tanya-tanya pasien, dan melakukan semuanya sesuai prosedur. Begitu palpasi arteri radialis buat estimasi, saya kaget, kenapa di angka 80 mmHg denyutnya sudah hilang... Tapi, saya bilang ke doktrnya kalau estimasinya 100 mmHg, karena sepertinya tidak mungkin kalau saya start penghitungan dari 110 mmHg,--terlalu rendah. Dan begitu penghitungan pertama, saya tidak mendengar apa-apa... Anehnya, begitu saya pompa, raksanya baru naik setelah beberapa saat. Tapi begitu saya berhenti memompa, raksanya masih naik. Raksanya juga mendadak stuck di angka 50 atau 60. Di sini pun saya agak curiga dengan kondisi spygmomanometernya... Nah, di penghitungan kedua, saya sempat mendengar sayup-sayup suara detak yang super tidak jelas. Terlebih lagi, stetoskopnya yang bercabang (jadi dosennya ikut dengar juga). Jadi, akhirnya saya bilang, "Jadi, Dok, tadi saya sempat mendengar, sekali pun tidak begitu jelas. Tekanan darah pasien adalah 110/70, yang masih termasuk normal." Yaa siapa tau sayup-sayup denyut yang saya dengar ternyata sama dengan pendengaran sang penguji... 

Station 6
Vital sign examination yang dihuni oleh dr Leo. Perintah soalnya adalah: lakukan pemeriksaan vital sign dengan peralatan yang tersedia. Pertama, axillary thermometer. Kedua, tympanic membrane thermometer. Tapi termometernya masih mati. Duh, saya lupa cara menyalakannya. Saya tekan tombol belakang, masih mati. Di bagian depan ada 3 tombol vertikal. Saya tekan tombol paling, bawah yang tulisannya 'melody', malah keluar lagu-lagu polifonik. Saya tekan dua tombol di atasnya, barulah termometer menunjukkan suhu, dan langsung saya periksakan ke telinga pasien: 35.1 derajat celcius. Ketiga, ada termometer digital, tapi entah untuk apa, karena ujungnya agak membengkok. Tapi saya asumsikan untuk axilla, dan hasilnya: 36.1 derajat celcius. Keempat, hitung denyut nadi, dengan hasil 64 denyut per menit: normal. Kelima, hitung respiratory rate. Sejujurnya, saya mendapati RR pasien ini 27 kali per menit, padahal batas atas normal adalah 24 kali per menit... Well, karena bingung, saya terpaksa bilang ke dokter Leo kalau RR-nya masih 24 kali per menit... (JANGAN DITIRU GUYS) Akhirnya, saya cabut termometer axilla, hasilnya 36.3 derajat celciu, dan saya duduk sebentar lalu pergi meninggalkan ruangan. Dari tadi, dr. Leo hampir tidak bersuara, padahal biasanya kalau tutorial, beliau suka banyak cerita. Hmm....

Station 7
Setelah di rest station terlebih dahulu, kemudian saya masuk. Informed consent bersama penguji dr. Achadiyani. Intinya seorang ibu membawa anaknya yang diare dan dehidrasi, oleh karena itu akan saya berikan IV catheter alias infus. Alhamdulillah, cukup lancar di sini~

Station 8
Route of drug administration (RODA).  Bersama dokter penguji yang superdingin. Di kertas absen tertulis namanya dr. Vycke. Tapi saya agak kurang yakin, karena mukanya cukup berbeda dibandingkan dengan saat lecture... Jadi, kasusnya adalah seorang bapak mengalami hemoroid dan membutuhkan rectal suppository. Sedangkan, anaknya asma dan butuh obat aerosol. Yang bikin agak aneh adalah karena di ruangan ini tidak ada pasien, sehingga saya harus mengganggap sang dokter penguji sebagai pasien. Tapi, pasiennya laki-laki padahal dokternya perempuan. Saya jadi memanggil beliau "Pak"... Duh, maaf ya, Dok hehehe.

Saya mulai dengan menjelaskan rectal suppository dengan mannequin. Tapi dokternya tidak membantu saya membalikkan mannequin, padahal tadi saya sempat melihat beliau membantu teman saya yang sebelumnya..... Ya sudah. Saya kuat kok, Dok :") Dan selanjutnya, saya jelaskan cara menggunakan inhaler asma. Lalu beliau bertanya, "Ada yang mau ditambahkan?" Saya pun berfikir. "Oh iya. Apakah sudah jelas, Pak? Atau ada yang ingin ditanyakan?" <-- ada di ceklis

"Kalo nanti buang air besar saya udah nggak berdarah lagi, masih harus dipake obatnya?"
"Kalo udah berhenti, bisa dihentikan pemakaiannya, Pak."
"Itu kalo asma anak saya kambuh lagi, dikasih lagi?"
"Iya, dikasih lagi, Pak, tapi cuma boleh diulangi sekali." (Karena di soal, ada kalimat 'It can only be repeated once' yang saya kurang paham maksudnya)
"Terus kalo abis itu kambuh lagi, bisa dikasih lagi nggak?"

Saya berfikir keras. Dalam hati, "Tapi kalo nggak dikasih lagi, mati dong..." Barulah saya jawab, "Ya, bisa dikasih lagi, Pak, kalo kambuh." Alhamdulillah, dengan bertaya demikian, sang dokter justru membantu saya untuk menambah nilai. Setelah itu, kembali terjadi ke-awkward-an antara saya dengan dokter penguji....

Station 1
Mikroskop..... Jadi, saya lakukan semua step-step pengoperasian mikroskop, sampai akhirnya tiba saat mengobservasi bakteri.. Saya coba berulang kali, gambarnya kurang jelas. Setelah menemukan 'sesuatu', saya bilang ke dokter, "Sudah saya temukan, Dok." Beliau melihat, dan katanya, "Ini apa yang kamu temukan? Kamu mau liat apa, gelap begini?" Okay, saya memang agak sedikit mengarang di sini karena sudah cukup desperate... Tapi saya belum menyerah. Bakteri yang seharusnya dilihat dengan perbesaran lensa objektif 100x, saya ganti ke 40x dan saya bisa melihat pewarnaan biru... Begitu saya berikan mikroskopnya untuk dilihat penguji, tiba-tiba saja ada bunyi "TEEEEEEEEEEEETTT". "Ya kamu silakan keluar." "Terima kasih, Dok."

Station 1
Cellotape (helminth) examination yang diuji oleh "dokter cantik" (dr. Anggita). Di sini, saya agak berantakan menyebutkan step-step-nya. Pertama, saya memberi tahu kapam dilakukan pemeriksaan, memakai hand glove, baru saya sebutkan alat, bahan, dan melabeli object glass. Selanjutnya, saya praktikkan cara menempel cellotape pada mannequin berbentuk bokong manusia. Cellotape-nya menempel terus dengan hand glove. Sampai saya ambil sekali lagi yang baru. Kemudian, menyebutkan jenis telur cacing yang terlihat di mikroskop, menghitung jumlah telur cacing yang gambarnya ditempel di dinding, dan membuat laporan. Alhamdulillah, masih ada kertas laporan bekas peserta sebelumnya, jadi ada "referensi" hahaha

Station 2
Setelah dari rest station, akhirnya saya ke station terakhir! History taking/anamnesis yang diawasi oleh dokter Ismed :") Seorang dokter yang sudah cukup berumur namun begitu friendly kepada setiap mahasiswanya. Begitu masuk, kata beliau, "Kamu kenal saya?" "Kenal, Dok. Dokter Ismed, kan?" "Kenal dari mana?" "Dari temen, Dok. Hehehe."

Saya mengisi absen. Saya duduk. Beliau membaca nama saya. "Adinda Syarifah Noor. Kamu orang Kalimantan ya?"
"Palembang, Dok."
"Ooh Palembang. Biasanya yang ada 'Noor'-nya itu orang Kalimantan."
"Hehehe. Boleh saya mulai, Dok?" Saya takut kalau saya tidak bertanya seperti ini, beliau justru melanjutkan obrolan hahaha.

Saya pun meng-anamnesis si ibu yang mengeluh diare. Saya bukannya fokus kepada diare-nya, justru lebih fokus kepada rasa sakit di perutnya. Sekali pun sudah bertanya banyak, ternyata waktu saya masih bersisa. Dokter Ismed pun mengajak ngobrol saya. "Kamu waktu masih lama, kamunya udah selesai aja."

"Kamu SMA-nya di Palembang?"
"Nggak, Dok. Di Jakarta."
"SMA berapa?"
"SMA 77 Jakarta, Dok."
"Di mana itu?"
"Jakarta Pusat, Dok. Cempaka Putih."
"Ooh kalo saya di Boedoet. *dengan bangga* Kalo jaman saya dulu sih Cempaka Putih masih buntu."

"Gimana station-station sebelumnya?"
"Ya alhamdulillah bisa, Dok. Tapi ada yang belum selesai tadi yang mikroskop. Begitu ketemu bakterinya, langsung bel."
"Wah remedial dong?"
"Iya kayaknya, Dok."

Setelah beliau bertanya tentang asal SMP, nilai SOOCA, dan pempek Palembang, bel pun berbunyi, tandanya OSCE pertama saya berakhiiiiiiirrrr :") Well, karena ini hari kedua OSCE, maka, pengumuman remedial akan diberitahukan sore ini juga.

Jum'at, 9 Januari 2015. Sesuai prediksi mengenai kesalahan fatal yang saya buat, saya remedial di station blood pressure dan microscope. Dua station tersebut memang memiliki probabilitas tidak ditemukannya sesuatu yang kita cari, yaitu suara detak jantung dan bakteri. Dan ternyata, angka mortalitas dalam kedua station itu memang paling besar, yaitu lebih dari 60 siswa yang tidak lulus.

Pagi ini, saya berangkat bersama Nina yang remed station RODA dan juga dengan Elsa. Entah berasal dari mana, di sepanjang perjalanan kami dari keluar bale hingga pujasera, terdapat banyak cacing...  Padahal semalam tidak hujan. Dan ini di aspal, bukan di tanah. Saya berjalan sambil sedikit melompat ke sana ke mari untuk menghindari para cacing, sembari mengutuk "Hina! Hina banget! Hina!" Sepertinya mereka aspal-transmitted helminth, spesies endemik Jatinangor...

Ketika sampai di FK, kami kembali berkumpul di "Padang Mahsyar" C6.3 dan terlihat lautan manusia yang terdiri atas angkatan Proxima dan Nostra yang remedial. Di sini lah kami merasa bahwa kami tidak sendirian.

Singkat cerita, nama saya dipanggil di kloter ketiga, dan kami langsung digiring ke gedung C3.3 yang ternyata juga dipenuhi lautan manusia Proxima yang menunggu giliran remedial. Mereka duduk mengantri berdasarkan station yang remedial, dan setelah cukup lama menunggu, saya duduk di bagian mikroskop.

Saat yang remedial blood pressure dipanggil, saya pun masuk, dan kami masih harus diisolasi lagi, atau lebih tepatnya menunggu giliran di dalam ruang tutorial. Parah. Bosannya minta ampun. Sangat lama saya menunggu, sampai saya sempat tidur di ruangan itu. Tapi yang bikin saya cukup lega adalah adanya desas desus kalau pada remedial kali ini, dosen-dosennya sangat baik dan kami tidak diberi waktu selama 9 menit lagi. Pokoknya, sampai kami ketemu, sampai kami selesai.

Akhirnya tiba saat saya remedial blood pressure bersama dr. Yuni. Saya lakukan step-step-nya seperti biasa, dan saat mengukur tekanan darahnya, saya mendengar bunyi ketukan lain selain detak jantung. Saya berasumsi kalau si bapak pasien mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Ketika mau saya ulangi pengukurannya sekali lagi, dr. Yuni bilang, "Nggak perlu. Kamu nggak liat itu pasien kamu udah kesakitan? Saya aja bisa liat dari sini kalau ujung jarinya udah biru-biru. Lain kali, kamu harus perhatiin ekspresi muka pasien kamu ya. Itu juga kamu kekencengan ngiketnya. Ya udah, kamu saya lulusin. Tapi kamu belajar profesional ya." Alhamdulillaaaah baik banget dr. Yuni :") Terima kasih yang sangat banyak sekali, Dok, sudah meluluskan saya dan mengoreksi semua kesalahan-kesalahan saya... Dengan begitu, saya akan lebih berhati-hati lagi di kemudian hari, Dok :")

Setelah menunggu lama lagi, di saat ibu-ibu penjaga OSCE telah tiada dan dosen-dosen laki-laki sudah sholat Jum'at, barulah saya remedial station mikroskop bersama dr. Intan. Awalnya beliau bertanya mengapa saya sampai remed, dan menyuruh saya langsung ke langkah-langkah melihat bakteri. Saya lakukan step-step-nya dengan baik, dan dengan mudah saya dapatkan bakteri yang saya cari karena saya sudah tahu letak kesalahan saya di mana. Kemarin, coarse knob (makrometer)-nya tidak saya naikkan sampai menyentuh lensa objektif karena takut rusak... Padahal harusnya sampai menyentuh supaya emmersion oil-nya merata. Beliau juga tadi bertanya kenapa harus diberi immersion oil. Awalnya, saya bilang karena spesimennya adalah bakteri. Lalu beliau mengoreksi kalau immersion oil itu diberikan bukan karena spesimennya, melainkan untuk observasi dengan perbesaran lensa objektif 100x pada spesimen apa pun. Baiklah, terima kasih banyak, dokter Intan yang meluluskan dan mengoreksi kesalahan saya :")

Epilog:
Alhamdulillah, akhirnya saya bisa lulus dan tidak perlu mengulang OSCE lagi tahun depan. Intinya, banyak sekali pengalaman dan pelajaran yang didapat dari OSCE pertama ini. Dibandingkan dengan SOOCA, menurut saya OSCE jauh lebih menegangkan dan seru. Tapi, ya itu. Angka morbiditas dan mortalitasnya jauh lebih besar. Remedial OSCE itu menjadi hal yang sangat sangat wajar. Tapi, remedial itu justru mendatangkan banyak hikmah. Saya jadi diingatkan lagi kalau memasang cuff untuk blood pressure tidak boleh terlalu kencang. Saya jadi belajar kalau untuk mengukur blood pressure, saya harus memperhatikan kenyamanan pasien saya. Saya jadi belajar kalau mengobservasi spesimen pada mikroskop, coarse knob-nya harus digerakkan sampai mentok dulu, baru diturunkan. Saya jadi belajar kalau emmersion oil itu digunakan untuk perbesaran objektif 100x. Saya jadi belajar untuk tetap semangat walaupun waktu "liburan" terpaksa berkurang sekali. Dan, ya, saya jadi belajar bersyukur dengan segala hasil yang saya dapatkan :))

Comments

Popular Posts