Analogi Korek Api dan Cinta dalam Doa

Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukmantan novel Bernard Batubara

Hai, Fauzan. Lama tak jumpa, ya? Hahaha aku hanya bercanda. Kita 'kan bertemu setiap hari di sekolah. Bahkan kita berada dalam satu kelas. Hanya saja, aku tak terlalu merasa "bertemu" lagi denganmu. Kini semuanya berubah. Walaupun kau masih suka meminta roti coklatku, ataupun menanyakan soal matematika kepadaku. Kadang kau duduk di sebelahku saat teman sebangkuku pindah tempat duduk. Tapi semuanya tak terasa sama ya? Oh, jelas sekali. Sapaan "aku-kamu" yang dulu terdengar begitu manis, kini berubah menjadi "gue-lo". Kau juga sekarang sering menceritakan tentang gadis itu. Gadis tinggi berambut panjang yang begitu cantik, tak seperti aku hahaha.

Aku masih ingat saat aku memutuskan hubungan kita, sekitar dua bulan yang lalu. Semua orang begitu terkejut dan bertanya, "Kenapa putus sih?" Dan hanya beberapa orang yang kuceritakan dengan detil semua kronologis dan alasan kita putus. Selebihnya hanya kuberikan gambaran singkat. Mereka bertanya lagi, "Masa cuma gara-gara satu hal, lo putus?" Hahaha. Lucu sekali. Mereka tak tahu apa-apa, Zan. Hanya kita yang tahu persis apa yang telah terjadi pada kita. Akhirnya, kurasa cukup kujelaskan, "Ibarat korek api, satu masalah itu cuma pemicunya. Tapi, bahan bakarnya sudah banyak."

Kau tahu mengapa aku tak banyak menceritakan alasan kita putus? Pertama, cukup lelah hatiku mengingat kenangan pahit itu, Zan. Aku tak mau mengingatnya lagi. Kedua, aku tak mau orang lain terlalu menyudutkanmu dan mengganggap ini semua salahmu--tentu saja tidak! Hubungan ini kita yang jalani berdua, jadi pastilah aku juga punya andil dalam setiap kesalahan yang kita perbuat terhadap satu sama lain.

Jujur, aku masih menyayanginu, Zan. Aku masih sangat menyayangimu. Tapi aku tahu, ini tak akan berjalan seperti semestinya lagi. Aku dan kau sama-sama terjebak dalam keegoisan. Bukan karena tak bisa, hanya saja tak ingin lagi memaksakan diri untuk saling mengerti. Sebuah rantai implikasi yang panjang, telah membentuk diri kita seperti saat ini. Dirimu yang tak lagi mengerti aku. Diriku yang tak lagi sudi mendengarkanmu.

Zan, aku masih terlalu menyayangimu. Tapi aku tahu, saat ini berteman denganmu adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepadaku. Banyak di antara mereka yang tak lagi menjalin hubungan pertemanan dengan mantan kekasihnya. Itulah yang membuatku sangat bersyukur, Zan. Paling tidak, aku masih bisa melihat senyumanmu, mungkin sekitar satu atau dua minggu lagi. Karena setelah itu, kita akan sibuk dengan seleksi masuk perguruan tinggi yang akan kita jalani masing-masing.

Zan, memang semuanya telah berubah, tapi tidak perasaanku. Hanya saja, kini aku mencintaimu dengan cara yang lain. Aku tahu, aku tak bisa lagi berlama-lama chatting denganmu di Line ataupun Whatssapp. Aku tahu, aku bukan perempuan yang bisa kau antarkan pulang ke rumah (seperti gadis tinggi berambut panjang yang kau ceritakan itu.) Satu-satunya yang bisa kulakukan untukmu adalah mendoakanmu. Iya, kau sering menjadi topik pembicaraanku dengan-Nya di sela-sela sujudku. Aku meminta-Nya untuk terus menjagamu dan memberikan kebahagiaan untukmu, dengan ataupun tanpaku, Zan.

Aku akan terus menyayangimu dengan perantara Sang Ilahi. Dengan begitu, tak ada yang bisa memisahkan kita, bukan? Maut pun tak bisa pisahkan kita. Hanya doa yang bisa menghubungkan kita, andai salah satu dari kita pergi menghadap-Nya lebih cepat.

Dering nada telepon dariku bisa saja kau abaikan. Ribuan sms yang kukirim bisa kau hapus. Semua media sosialku bisa kau blok. Tapi, bagaimana dengan doa? Apa kau bisa mengelak dari kehendak Tuhan yang selama ini terucap dalam doaku kepada-Nya?

Semoga saja kau selalu berada dalam lindungan dan kasih sayang-Nya, Zan. Masih banyak yang ingin kusampaikan, tapi ibarat lagu milik Oasis - Wonderwall, "There are many things that I would like to say to you, but I don't know how".

Hanya terimakasih yang bisa kusampaikan. Terimakasih untuk 13 bulan yang paling manis sekaligus paling pahit dalam hidupku. Terimakasih telah menjadi kenangan terindah di masa SMA-ku. Terimakasih untuk semua dekapan, kasih sayang, pengorbanan, dan waktu yang kau habiskan bersamaku. Semua itu akan abadi, Zan. Semuanya akan tersimpan rapi di suatu laci dalam hatiku, yang akan kubuka lagi jika suatu saat nanti kau kembali.

Comments

Popular Posts