Rindu [Cerpen]
Sudah tiga puluh menit. Setengah jam yang penuh ketidakpastian. Setengah jam berpotensi melahirkan kesia-siaan. Setengah jam yang bisa saja berujung pada kekecewaan. Tapi aku masih di sini, akan terus di sini, dan tak akan beranjak satu meter pun.
Aku merindukannya.
Di sini, di tempat yang penuh kenangan ini, tempat kami biasa menghabiskan masa remaja kami. Memang hanya sebuah minimarket merangkap kafe kecil-kecilan, yang letaknya tak jauh dari SMA kami. Namun di sini lah kami banyak berbagi canda, tawa, suka dan duka bersama.
Aku sungguh merindukannya.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat tiga puluh menit. Ah, mengingatkanku pada tanggal 15 Februari 2012. Pada jam yang sama, di hari itu, ia mengutarakan perasaannya padaku. Ehm, tidak, tidak. Maksudku, ia langsung menanyakan kesediaanku untuk menjadi kekasihnya. Ya, dia memang tak banyak basa basi dan langsung <i>straight to the point</i>. Begitu juga diriku ini. Karena kita sudah saling tahu perasaan masing-masing, maka tak pantaslah aku mengulur-ulur waktu untuk banyak bertanya. "Mau," jawabku singkat, dengan sedikit anggukan dan seuntai senyuman. Betapa bahagianya hari itu.
Ah, aku semakin merindukannya.
Empat tahun lamanya kami menjalin kasih. Dan dari empat tahun itu, sudah dua tahun ia meninggalkanku. Waktu yang terasa sangat lama, setelah selama dua tahun kami biasa bertemu setiap hari.
Aduh, aku terlalu merindukannya.
Ia pergi ke suatu tempat yang tak begitu jauh, namun bagiku rasanya jauh sekali: Magelang. Ia pergi demi menggapai cita-citanya sedari kecil yaitu menjadi seorang tentara. Yang membuatnya semakin jauh adalah sebuah masalah utama dalam sebuah hubungan. Yap, komunikasi. Seandainya ia seorang mahasiswa, pastilah handphone-nya selalu dalam genggaman. Tapi tidak bagi seorang perwira akademi militer. Sepertinya tak perlu kujelaskan betapa disiplinnya mereka.
Rasanya perasaan rindu ini mulai meledakkan ubun-ubunku.
Bagaimana denganku? Aku tetap di Jakarta, demi meraih cita-cita menjadi seorang dokter. Jauh berbeda memang, tapi aku berharap suatu saat nanti kami bisa saling mengisi dengan profesi kami masing-masing. Bagaikan air teh dan gula, katanya dulu. Air teh saja tak akan manis tanpa gula. Sedangkan manisnya gula saja akan terasa hampa tanpa seduhan daun teh. Begitulah ia memberi perumpamaan pada sifat-sifat, latar belakang, dan cara pandang kami yang sungguh berbeda 180 derajat.
Sial, aku tak bisa lagi menahan rasa rindu yang menyesakkan dada ini.
"Permisi, mbak. Apa betul, mbak ini mbak Alena Syailendra?" segetar gelombang bunyi menyapa daun telingaku. Merusak segala khayalan dalam lamunanku. Menyadarkanku dari sebuah dunia yang kosong dan penuh kehampaan. Memulangkanku kepada realita.
"Maaf, anda siapa?" tanyaku keheranan terhadap seseorang yang sama sekali tak kukenal, tetapi bisa-bisanya mengetahui nama lengkapku.
"Saya Hakim, Mbak. Temannya Mas Fauzan Aldrian di Akademi Militer Magelang."
Aku langsung mempercayainya sekali melihat rambut cepak, badan tegap, dan nada bicara tegasnya.
"I-iya, tapi Fauzan-nya m-mana?" kataku gugup. Aku mendadak gemetar begitu mendengar nama itu disebut. Timbul kebahagiaan kecil di hatiku, karena paling tidak ada secercah harapan dari segenggam kabar yang dibawa oleh Hakim. Tapi di sisi hatiku yang lain, aku khawatir. Aku takut kalau saja ia membawa kabar buruk yang menimpa Fauzan.
"Sebelumnya maaf, Mbak, tapi Fauzan-nya nggak bisa datang. Dia tiba-tiba ada acara keluarga. Karena kebetulan saya ke Jakarta bareng dia, jadi saya disuruh menyampaikan ini ke mbak."
"APA?! Nggak bisa dateng?! Acara keluarga?! Kenapa dia nggak bilang ke saya? Kenapa dia nggak sms atau telepon saya? Saya udah nunggu setengah jam, Mas! Masa saya nggak dikabarin sama sekali?" aku menggertak seiring dengan bertambahnya kesesakan di dadaku akibat desakan emosi yang tak terkendali.
"Kayanya handphone-nya rusak deh, Mbak. Aduh maaf saya kurang tahu. Saya permisi dulu ya, Mbak."
Aku ditinggalkannya begitu saja, dalam keadaan seperti ini. Bingung, marah, kesal, tak tahu harus berbuat apa, tak tahu haus ke mana sekarang. Kali ini yang bisa kulakukan hanyalah menangisi keadaan. Aku tahu menangis tak akan menyelesaikan masalah sedikit pun. Tapi entahlah. Segala bentuk emosi yang memuncak hanya bisa kuekspresikan melalui derai air mata. Ya, apa pun itu. Entah perasaan senang, sedih, marah, atau pun perasaan bersalah. Aku berharap setiap tetes air yang keluar dari bola mataku, mengiringi setiap satuan emosi yang terlepas bebas dari dalam dadaku. Setidaknya itu lebih baik daripada diam dan memendam segala perasaan yang membebani, karena itulah yang bisa membuat kita gila. Iya, kan?
Ya, tapi aku mulai muak juga dengan keadaan. Menunggu bertahun-tahun untuk bertemu walau hanya sehari, namun pada akhirnya aku hanya datang untuk membuat diriku pantas ditertawakan seperti ini. Entah siapa yang harus kubenci sekarang. Seorang Alena Syailendra yang telah dengan bodohnya membuat dirinya sendiri jatuh ke dalam kesia-siaan, ataukah seorang Fauzan Aldrian yang hanya memberikan harapan palsu yang berujung pada kekecewaan?
Sudahlah, rasanya cukup memikirkan ini semua. Setidaknya aku masih punya kehidupan, yang memang biasa kujalani tanpa dirinya selama dua tahun, bukan?
Lantas aku beranjak meninggalkan minimarket penuh kenangan itu. Aku setengah berlari dan setengah menunduk, karena aku tak suka jika aku tertangkap basah sedang menangis, sekalipun mereka bukan orang yang kukenal. Tapi aku tak mau terlihat selemah itu. Aku wanita yang kuat. Lebih kuat dari yang mereka duga.
"Maaf, Mas," aku langsung meminta maaf sesaat setelah hampir menabrak seorang pria berpakaian tentara. Tunggu dulu! Tentara, kubilang?
"Iya, nggak apa-apa, Mbak," balas pria itu.
Suaranya... Nada bicaranya... Aroma tubuhnya... Dan satu setel pakaian tentara lengkap dengan rambut cepak!
"Fauzan...."
"Iya, Alena sayang. Ini aku," jawabnya sambil tersenyum.
Sebuah senyuman yang sudah dua tahun tak menghiasi pandanganku.
"FAUZAAAANNN!!"
Aku refleks memeluknya. Hangat sekali. Itulah kehangatan yang sudah dua tahun tak mendekapku dalam dinginnya rasa sepi.
Rasa rinduku akhirnya tersalurkan juga. Walaupun begitu, rasa rindu ini akan selalu mengiringi penantianku, Zan. Aku akan terus menunggumu, lima, atau mungkin sepuluh tahun lagi.
Comments
Post a Comment