Dia Kakakku [Cerpen]

"Ji! Erzi! Lo biasa aja ngeliatin gue nya. Hahaha."

Suara itu seketika memecah lamunanku. Suara Dira. Perempuan yang menjadi obsesiku sejak kelas 1 SMP itu menyadari juga kalau aku menatapnya dengan tatapan yang tak biasa. Untung saja wajahnya tak habis tergerus tatapanku yang tajam.

"Eeh, maaf, maaf. Tadi gue lagi mikirin sesuatu."

"Mikirin sesuatu apa mikirin seseorang? Cieee sampe bengong gitu lo hahaha."

Sayang sekali aku harus berbohong kepadanya untuk yang ke sekian kalinya. Andai dia tahu kalau yang kumaksud dengan 'sesuatu' itu tak lain adalah dirinya sendiri. Tapi aku sadar, aku sama sekali tak punya hak untuk berkata jujur tentang perasaanku padanya. Semua sudah terlambat.

Obsesiku berawal dari Masa Orientasi Siswa saat SMP. Pada waktu itu, aku masuk ke dalam kelas yang sudah ditentukan yaitu kelas 7-3. Aku datang terlalu pagi sehingga belum ada satupun yang datang. Aku tertidur. Tiba-tiba, ada yang menyentuh tanganku. Tangan itu lembut sekali. Lantas aku terbangun. Kulihat matanya, pipinya, bibirnya, dan juga kecantikannya yang terpancar dari setiap sudut wajahnya. Senyumannya lembut sekali. "Boleh kenalan, nggak? Gue Dira," katanya. Suaranya lembut sekali. Pagi itupun kami habiskan berdua, sampai akhirnya siswa lain datang.

Hari-hari berikutnya kami lewati bersama. Bermain bersama, belajar bersama, mengerjakan PR bersama, hingga pulang bersama. Sejak saat itulah aku mulai tak bisa hidup tanpanya.

Setiap waktu istirahat tiba, seperti biasa kantin mendadak dipenuhi siswa-siswi kelaparan, termasuk aku sendiri. Seperti biasa pula, aku pergi ke sana sendirian. Bukan karena tidak punya teman, hanya saja aku menghabiskan waktu di kantin lebih lama dari teman-temanku yang lain. Bukan juga masalah makanan, melainkan yang lebih penting: Dira. Setiap selesai makan, aku masih menetap di tempat dudukku demi melihat senyumnya, canda tawanya, dan hal-hal kecil lain yang ia lakukan. Entahlah, aku juga tak tahu mengapa aku tak pernah bosan melakukannya.

Sewaktu ibu Dira meninggal dunia, aku yang mengantarnya ke rumah duka. Aku mencoba menenangkannya, menghapus air matanya, dan menghiburnya. Sampai ia mengatakan, "Ji, makasih ya lo selalu ada buat gue. Jangan pernah tinggalin gue ya." Ayahnya pun berpesan padaku, "Erzi, selama ini kan kamu dekat sama Dira dari kelas 1 SMP. Om minta tolong jagain Dira, ya. Apalagi setelah kepergian mamanya. Jangan biarin Dira sedih, ya." Sejak saat itu, aku berjanji kepada diriku sendiri untuk selalu bersama dan menjaga Dira.

Tiga tahun masa SMP kamu lalui bersama. Persahabatan yang kami jalin begitu erat, hingga banyak yang mengira kalau kami berpacaran. Andai saja apa yang mereka kira benar-benar menjadi kenyataan...

"Woy! Bangun, Zi! Udah bel pulang. Lo mau nginep di sekolah, apa?"

Suara itu. Suara yang lembut itu. Lagi-lagi membangunkanku. Ya Tuhan! Sudah setengah jam aku tertidur. Aku harus segera pulang.

Aku langsung setengah berlari keluar kelas, dan tiba-tiba langkahku terhenti melihat seorang perempuan bersuara lembut itu lagi. Dira, maksudku. Ia berjalan berdampingan dengan seorang siswa lain. Siswa itu hanya lebih tua setahun dariku. Ia kakak kelas kami.

"Lo mau ikut ke gramed nggak bareng gue sama Dira?" tanya siswa itu.

"Nggak usah deh. Gue langsung pulang aja," jawabku singkat. Aku hanya tak mau mengganggu mereka, sekalipun tawaran itu begitu menggiurkan. Memberi kesempatanku untuk memandangi Dira lagi. Tapi, ya, sudahlah.

"Ya udah, ayo kita pergi, Sayang. Ji, duluan ya," kata Dira. "Iya, Ji, kita duluan ya," tambah siswa itu. Akhirnya mereka pergi berboncengan naik sepeda motor.

Dari panggilan 'sayang', sudah jelas bahwa siswa itu adalah pacar Dira. Padahal mereka baru saling mengenal semenjak kami masuk di SMA yang sama. Sedih dan miris memang. Tapi aku memaksa diriku untuk percaya, bahwa dia lebih pantas untuk Dira. Dia bisa menjaga Dira. Dia mampu membahagiakan Dira. Dia lebih baik dariku. Karena dia kakakku.

Comments

Popular Posts