Dehidrasi
Lagi-lagi, kisah dari bangsal penyakit dalam dengan segala kesibukannya. Pagi itu aku cukup bersemangat menjalani hari. Betapa tidak; aku sudah terlanjur jatuh cinta dengan pekerjaanku, yaitu saat ini sebagai dokter jaga ruangan rawat inap. Kebetulan, spesialis paru kami hari ini tidak visite, karena memang bukan jadwalnya. Sehingga, aku harus memeriksa semua pasiennya, memastikan semua terapinya dilaksanakan, lalu melaporkannya via telepon. Dari laporan tersebut, biasanya jawabannya ada tiga macam; terapi lanjut, tambahan pemeriksaan, atau terapi tambahan. Ada pula pilihan jawaban lainnya yang mungkin lebih jarang namun tetap menjadi favoritku: BLPL (baca: be-el-pe-el) alias pasien ‘boleh pulang’.
Aku melangkahkan kaki ke kamar 7, yaitu ruang isolasi pasien TB. Ketika aku sedang mendengarkan suara paru dari seorang pasien, tiba-tiba ada suara berisik di luar sana. Tentu tidak terdengar dengan jernih, karena earpice stetoskop cukup baik dalam menghalangi suara-suara luar untuk masuk ke dalam telinga. Tapi, suaranya terdengar seperti kepanikan dan kegawatan. Aku langsung melepaskan stetoskop dan mencari sumber suara.
Salah seorang istri dari pasien di kamar 7 berbicara dengan heboh, yang bahkan aku tak ingat tentang apa yang dibicarakannya. Ternyata, ada pasien di kamar seberang yang terjatuh. Sebut saja namanya Bu Zulfa. Aku langsung menghampirinya, bersama dengan para perawat yang bertugas di hari itu. Dibantu seorang satpam, kami mengangkat kembali tubuhnya ke atas tempat tidur.
Kami semua penasaran dengan kronologi kejadian. Menurut keluarga pasien lainnya di kamar itu, Bu Zulfa bangun dari tempat tidurnya dan berjalan sendiri. "Ibu tadi mau ke mana, Bu?" tanya Teh Juli, salah satu perawat. Dengan suara yang begitu lirih dan lemas, ia menjawab, "Ke kamar mandi".
Bu Zulfa adalah pasien berusia sekitar 50 tahunan yang datang dengan gastroenteritis akut alias diare dan muntah, ditambah dengan ketidakseimbangan elektrolit. Yang mengejutkan adalah, ternyata infus Bu Zulfa sudah terlepas sejak semalam, namun tidak ada yang melaporkannya kepada perawat. Sang suami pun seringkali pergi meninggalkan ruangan rawat. Di saat kondisi seperti ini, suaminya baru datang. Bukannya khawatir, sang suami justru memandangi istrinya dengan wajah kesal.
Bu Zulfa tampak sangat lemas. Jika ditanya, ia masih bisa menjawab, namun dengan suara yang amat pelan; hampir tidak terdengar. Teh Juli langsung mengambil spigmomanometer untuk memeriksa tekanan darahnya. Berkali-kali, tidak terdengar. Teh Juli pun memintaku memeriksa tekanan darahnya untuk memastikan pendengarannya. Sama saja. Tidak ada suara dari membran stetoskop yang ditempelkan ke arteri brachialis. Arteri radialisnya pun tidak teraba sama sekali. Ujung-ujung kaki dan tangannya dingin. Jelas sekali, ini merupakan kondisi syok hipovolemik, yaitu hilangnya darah dan/atau cairan tubuh dalam jumlah besar, sehingga jantung tidak dapat memompa cukup darah ke seluruh tubuh. Tanpa basa basi, Teh Juli langsung memerintahkan perawat lain untuk menyiapkan infus dan memasangkannya kembali.
Aku lalu memanggil suami Bu Zulfa beserta anak perempuannya yang baru datang. Seperti biasa. Menjelaskan kondisi pasien, bahwa saat ini sedang mengalami perburukan berupa syok. Kondisi ini sedang kami coba atasi, namun tetap saja berisiko mengalami perburukan lebih lanjut, hingga yang paling fatal berupa kematian. Keluarga pun tampak menerima.
Satu kantung labu infus ringer laktat (RL) langsung ‘diguyur’ untuk mengganti cairan tubuh Bu Zulfa yang hilang dengan cepat. Sambil menunggu kantung pertama habis, aku bolak-balik ke kamar pasien lain dan ke kamar Bu Zulfa. Kebetulan, waktu itu ada pasien di kamar lain yang sedang perburukan juga. Ditambah lagi dengan pekerjaanku memeriksa pasien di kamar 7 yang belum selesai.
Tadinya, aku dan Teh Juli berencana untuk melaporkan kondisi Bu Zulfa ke dr. Yayan SpPD yang sedang ada di depan ruang rawat, namun sebetulnya bukan jadwal visite-nya. Namun, Teh Juli berubah pikiran. "Udah, Dok. Kita tanganin dulu aja. Nanti kalau udah ngga bisa, baru dikonsulin," katanya. Aku setuju dengannya, karena kondisi kegawatan seperti ini harusnya masih menjadi kompetensiku. Bahkan, aku sudah meresepkan obat dopamin untuk berjaga-jaga apabila resusitasi cairan belum berhasil juga.
Kantung infus pertama hampir habis. Keluarga Bu Zulfa baru saja kembali dari nurse station menuju ke kamarnya. Ketika aku menanyakan tentang apa yang mereka bicarakan, Teh Juli mengatakan bahwa mereka berniat untuk membawa Bu Zulfa ke rumah sakit lain di Jakarta, yang lebih dekat dengan rumahnya. Tentu saja itu hak keluarga, namun kondisinya masih buruk begini, yang benar saja?
Teh Juli sudah menjelaskan ke keluarga bahwa kondisinya benar-benar buruk. Tapi entahlah. Akhirnya aku menghampiri mereka ke kamarnya sambil membawa kantung infus kedua. Aku pun menjelaskan bahwa kondisinya sangat buruk. Nadi tidak teraba, tensi tidak terdengar, ujung kaki dan tangan dingin. Sang suami dan anak perempuannya masih bersikeras membawa Bu Zulfa pulang, alias pulang atas permintaan sendiri.
"Bu, Pak. Saya serius. Ini bener-bener bisa meninggal di jalan loh," ujarku dengan melesatkan tatapan tajam kepada si anak perempuan. "Ya, nggak apa-apa," jawabnya. Aku alihkan pandanganku kepada si suami. "Pak, gimana? Yakin mau dibawa sekarang?" tanyaku sekali lagi. "Ya udah," jawabnya singkat. "Saya masukin infus satu kantung lagi ya, buat nambahin cairan tubuhnya?" saya masih mencoba bernegosiasi. Yang ada, justru anaknya meminta infus ibunya dicabut karena melihat ibunya tampak tidak nyaman. Sang ibu pun tidak mengatakan apa-apa, tidak lain karena kondisinya jelas membuatnya sangat lemas.
Sebuah dilema. Di satu sisi, aku ingin melaksanakan kewajibanku yang dulu ku ucapkan dalam sumpah dokter. Aku hanya ingin menyelamatkan pasienku. Setidaknya, sampai kondisinya stabil terlebih dahulu. Di sisi lain, keluarga pasien juga punya hak. Di sisi yang lainnya lagi, aku bukanlah orang yang cukup ‘keras kepala’ untuk memperjuangkan apa yang menurutku benar terhadap orang lain. Apalagi dalam kondisi yang mana ‘orang lain’ itu tetap bersikeras dengan pendapatnya. Lagipula, aku merasa tidak berhak untuk menghakimi tentang apa yang terjadi pada keluarga ini. Dan yang pasti, hanya Dia-lah Yang Maha Kuasa atas hidup dan mati hamba-Nya. Yang kami coba sampaikan hanyalah kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa terjadi berdasarkan keilmuan kami yang masih sangat sedikit ini.
Akhirnya, aku pun pasrah. Labu RL yang sedari tadi ku tenteng, ku kembalikan lagi ke tempat asalnya. Rasanya masih tidak habis pikir. Aku membayangkan jika seandainya aku berada di posisi Bu Zulfa. Mungkin aku akan merasa terkhianati oleh suami dan anakku sendiri. Mungkin juga tidak. Ah, sudahlah. Waktunya melanjutkan pekerjaan yang sedikit terbengkalai. Sembari menyaksikan Bu Zulfa didorong keluar dari ruang perawatan menggunakan kursi roda. Kami pun hanya bisa berdoa, semoga Bu Zulfa masih diberi-Nya kekuatan untuk tetap bertahan. Dan semoga Dia juga mengampuni kami yang barangkali masih belum maksimal dalam berikhtiar.
Cileungsi-Jakarta-Citeureup, 5 November 2020
ASN
Comments
Post a Comment