Maut yang Menyamar



Majalaya, 21-22 Februari 2019. Kegiatan jaga malam di IGD kali ini berlangsung cukup kondusif. Jumlah pasien tidak terlalu sedikit, namun juga tidak cukup banyak untuk membuat para dokter jaga (termasuk dokter muda) terlalu lama jauh dari tempat duduknya. Kebanyakan pasien yang datang, kalau tidak sindroma dispepsia (atau awamnya disembut ‘maag’/sakit lambung), ya demam dengue yang memang sedang musimnya. Kemudian, datanglah Pak Ujang. Seorang bapak-bapak berusia kurang lebih akhir 50-an atau awal 60-an yang mengenakan kaos berlapis jaket, serta celana panjang. Saya dan Brandon, rekan jaga saya, langsung bergegas menghampiri beliau yang dengan cepat berbaring di tempat tidur. Belum ditanya, beliau langsung mengeluhkan perutnya yang sakit. Belum juga mulai diperiksa, baju kaosnya langsung diangkat hingga mengekspos bagian perut. “Di sini, Dok, sakitnya,” keluhnya sembari menunjuk area tepat di ulu hati. Tidak condong ke kiri, ke kanan, ke bawah ke area suprapubik, maupun ke atas ke area dada.
Keluhan nyeri di ulu hatinya timbul mendadak pada sekitar waktu Maghrib, yaitu kurang lebih enam jam yang lalu. Nyeri dirasakan terus menerus dan tidak semakin parah maupun berkurang dengan pemberian makanan. Nyeri tidak menjalar ke area mana pun. Nyeri tidak disertai mual muntah, apalagi muntah darah maupun BAB berwarna hitam. Beliau memiliki riwayat sakit maag dan memang menyukai makanan yang pedas dan asam. Beliau juga merupakan perokok aktif sejak remaja. Riwayat penyakit jantung, hipertensi, dan diabetes disangkal olehnya. Hasil pemeriksaan fisiknya, tanda-tanda vital (tensi, denyut nadi, laju napas, suhu) normal. Perutnya nyeri jika ditekan di ulu hati. Saya lantas melaporkan hasil temuan saya dan Brandon kepada dokter jaga. Pak Ujang didiagnosis sindroma dispepsia, diberikan obat maag, dan diperbolehkan untuk pulang (tidak perlu dirawat) kalau gejalanya sudah mereda.
Malam pun berlanjut, pasien-pasien datang silih berganti dengan penyakit-penyakit yang alhamdulillah tidak mengancam nyawa. Pak Ujang masih di tempat tidurnya dan masih saja mengeluhkan nyeri di ulu hati dengan suara yang cukup keras, sekalipun obatnya sudah diberikan. Sebagai orang yang memiliki riwayat penyakit maag, saya agak heran. Penyakit maag terparah yang pernah saya rasakan adalah tepat di minggu lalu, ketika gejalanya sudah mirip ulkus peptikum (sudah ada luka di lambung yang mencapai pembuluh darah, sehingga terjadi perdarahan), yaitu nyeri bertambah jika makanan masuk ke lambung. Sudah separah itupun, saya tidak sampai mengeluhkan nyeri saya berkali-kali. Sedangkan, pikir saya, bapak ini kok ya rewel sekali kalau memang sakitnya sekadar sakit maag? Terlebih lagi, setahu saya seharusnya laki-laki memiliki ambang nyeri yang lebih tinggi.
Sekitar pukul satu pagi, saya menemui kembali dokter jaga di nurse station bagian dalam untuk urusan pasien yang lain. Salah satu dokter jaga, dr. Fia menyadari bahwa Pak Ujang sejak awal masuk tak henti-hentinya meraung-raung kesakitan. Dokter Fia tampak berpikir keras, sebelum akhirnya menatap ke arah saya dan meminta saya untuk melakukan pemeriksaan EKG kepada Pak Ujang. Saya dan Brandon segera melakukannya. Sambil memasang tiap chestpiece, datang seorang keluarga pasien lain yang sepertinya adalah saudara/tetangga Pak Ujang. "Iya nih, Bapak yang sakit. Sakit perut sekarang," kata anak perempuan Pak Ujang kepada orang itu. Lalu saya tidak memperhatikan lagi dan kembali fokus dengan pekerjaan kami. Sesekali Pak Ujang masih meneriakkan sakitnya.
Setiap lead sudah terpasang. Mesin EKG sudah menyala. Saya tekan tombol cetak. Hasil EKG Pak Ujang kini di tangan saya. Saya perhatikan setiap lead. Tampaknya bukan EKG yang normal. Segmen ST yang seharusnya sejajar dengan segmen PR, justru meninggi. Bukan cuma di satu lead, melainkan ada beberapa. Di V1 terlihat kurang jelas. Lebih tinggi di V2, semakin tinggi di V3. Mulai berkurang di V4, V5, V6, tapi tetap tinggi. Tampak juga di aVL. Sesuai dengan hasil interpretasi yang tertera di layar mesin EKG: "ACUTE MI / STEMI" alias serangan jantung! Bagian jantung yang terkena adalah anteroseptolateral, yaitu bagian depan, septum, dan sisi luar. Cukup luas. Yaa Allah. Ini betul-betul kondisi gawat darurat. Tanpa berpikir panjang, saya langsung berjalan cepat ke dr. Fia dengan membawa hasil EKG tersebut. "Tuh kan. Baru aja mau gue suruh pulang pasiennya," kata dr. Fia membenarkan tindakannya yang ternyata tepat. Ternyata, nyeri perutnya sejak tadi adalah angina pectoris (nyeri/ketidaknyamanan di dada akibat kekurangan pasokan oksigen menuju otot jantung) yang menyamar menjadi nyeri ulu hati murni, layaknya pada sindroma dispepsia. Dokter Fia langsung meresepkan obat-obatan serangan jantung dan memberikannya kepada Pak Ujang.

Gambaran EKG normal (atas) vs STEMI/serangan jantung akut (bawah)

Gambaran lead EKG yang merepresentasikan lokasi pembuluh darah jantung

Setelah itu, Catherine yang mendapat jatah tidur dari jam 11 hingga jam 1 sudah kembali. Kini waktunya saya yang tidur. Sepanjang perjalanan menuju mess koas, saya masih terpikir akan Pak Ujang. Ini kali pertama saya mendapatkan pasien serangan jantung, setelah lima minggu rotasi di stase ilmu penyakit dalam.
Pukul tiga pagi, saya kembali ke IGD. Anehnya, meja triage yang dihuni oleh para dokter muda, kini kosong. Saya lalu menoleh ke IGD bagian dalam, rupanya mereka ada di sana. Tampak seorang dokter jaga sedang melakukan resusitasi jantung paru (RJP) kepada salah satu pasien. Awalnya saya tidak melihat pasiennya dengan jelas. Saya kira, itu adalah pasien dehidrasi yang tadi datang. Seorang bapak-bapak berusia 60 tahunan yang sudah sangat kurus, lemas, terjadi penurunan kesadaran, dan kondisi tubuhnya secara umum sudah cukup buruk. Lalu mata saya menangkap sosok yang familiar. Seorang ibu-ibu. Sebentar, sebentar. Lho, itu kan ibu-ibu yang tadi ada di samping Pak Ujang sewaktu saya memasang EKG? Yang tadi mengatakan, "Iya nih, Bapak yang sakit," kepada keluarga pasien lain yang mungkin saudara/tetangganya. Setelah saya lihat lebih dekat, benarlah itu adalah Pak Ujang. Ternyata, RJP sudah berlangsung sejak tadi dan berbagai obat yang sesuai dengan tata laksana henti jantung sudah diberikan. Tapi tetap saja, denyut jantungnya tidak kembali lagi. Pak Ujang pun dituntun oleh Malaikat Izrail untuk kembali kepada-Nya. Meninggalkan sang anak perempuan yang kemudian memanggil masuk seorang perempuan lain yang usianya lebih tua, yaitu istri dari almarhum. Tangisnya pun pecah, diikuti dengan penurunan kesadaran yang menyebabkannya terjatuh ke lantai. Satpam IGD langsung mengambilkan kursi roda dan mendudukkan istri Pak Ujang. Suasana mendadak haru biru. Untung saja para dokter jaga mampu menenangkan keluarga beliau yang lainnya.
Saya kembali ke tempat duduk di meja triage. Kembali, napas saya menjadi lebih berat. Sebelumnya, saya pernah ‘memprediksi’ bahwa usia seorang pasien tampaknya tidak lama lagi, setelah mendapati nadinya tidak teraba dan tensinya tidak terdengar sama sekali. Kesadarannya juga sudah mulai menurun, napasnya sesak, ditambah saturasi oksigennya menipis. Itu pun didasari oleh pengalaman serupa sebelumnya. Atau beberapa pasien yang memang kondisinya sudah antara hidup dan mati, maka secara medis, tidaklah mengherankan jika mereka menemui ajalnya. Kontras dengan apa yang baru saja saya alami. Almarhum Pak Ujang beberapa jam yang lalu masih sadar penuh dan bisa diajak bicara seperti biasa. Bahkan enam jam sebelumnya, beliau masih berkumpul bersama keluarga untuk makan bersama. Memang benar, bahwa kematian bisa menjemput siapa saja, tidak peduli tua-muda, sehat-sakit, kaya-miskin, serta tak perlu indikator apa pun.

Tidak terbayang kalau tadi diagnosis beliau berhenti di sindroma dispepsia. Tentu beliau akan pulang ke rumah, namun justru henti jantung mendadak di saat keluarganya berpikir beliau sudah baik-baik saja. Mungkin kesedihan keluarganya akan lebih dari ini. Entahlah. Yang jelas, pelajaran yang saya dapat adalah jangan pernah meremehkan nyeri perut pada pasien-pasien usia lanjut. Bisa saja, itu merupakan maut (sindroma koroner akut/serangan jantung) yang menyamar (sebagai sindroma dispepsia/maag). Dan jangan lupakan, syukuri dan manfaatkan setiap waktu yang dilalui bersama keluarga dan orang tercinta. Bisa jadi, itu adalah saat yang terakhir kalinya.

Jakarta, 15 September 2019
ASN

Comments

Popular Posts