Tepat di Depan Mata
Sabtu, 27 Oktober 2018
Pagi ini adalah jadwal jaga kedua saya di stase neurologi (saraf). Pagi ini pula, untuk pertama kalinya saya menyaksikan proses kematian tepat di depan mata saya. Bukan di instalasi gawat darurat, bukan di ruang resusitasi tempat pasien kritis, melainkan di ruang rawat inap biasa (bukan intensif), gedung Fresia lantai 2, kamar 11, bed 4.
Sewaktu operan jaga pagi, Novia selaku koas jaga malam sebelumnya sudah berpersan untuk memantau kondisi Pak Arif yang saturasi oksigennya selalu menunjukkan angka 80-an persen. Beliau juga harus sering di-suction (dihisap lendirnya menggunakan selang dengan mesin penghisap otomatis) karena dahaknya banyak. Beliau juga menderita pneumonia. Oleh residen yang jaga pagi bersama saya, saya tidak diminta memantau beliau secara ketat, karena kondisinya sudah lebih stabil. Namun, saya tetap mengunjungi beliau setiap 2 jam, minimal untuk mengecek saturasi oksigennya. Sejauh ini, kondisi beliau masih cukup baik karena sudah di-suction oleh mahasiswa perawat. Saturasi selalu di atas 90 persen.
Waktu beranjak siang. Saya coba ukur lagi saturasinya. Napasnya mulai terlihat aneh. Tarikan dan hembusan napasnya pendek. Saturasinya 97 persen, tapi tiba-tiba menurun sampai ke angka 64 persen. Saya minta penunggu beliau untuk memanggil perawat agar si bapak kembali di-suction. Pada waktu itu, saya belum menyadari apa-apa, selain pemikiran bahwa lendir si bapak kembali menghalangi jalan napasnya.
Saya pun keluar kamarnya, lalu diminta mengukur tensi dari Bu Ijah di kamar 7 yang memang harus sering dipantau karena sedang diberikan obat antihipertensi nifedipin. Saya diminta mengukur tensi beliau lagi 15 menit kemudian. Tapi, saya kembali ke kamar 11 untuk mengulur waktu 15 menit tersebut.
Pertama, saya cek saturasi Pak Afif di bed 1 yang juga memiliki kondisi pneumonia dan harus di-suction. Saturasinya masih baik. Saya pun kembali memeriksa Pak Arif. Napasnya masih seperti tadi; cepat dan dangkal. Saya pasangkan pulse oxymeter di ujung jarinya. Angkanya tidak muncul-muncul. Saya raba nadi radialisnya (entah kenapa saya tidak terpikir sama sekali untuk meraba nadi karotisnya). Kok ya lemah sekali.... Tunggu. Dadanya mulai tidak bergerak. Tidak hanya saya, bahkan bapak-bapak yang menungguinya juga menyadari kalau dadanya sudah tidak bergerak. Itu tandanya pasien sudah tidak bernapas! Saya langsung teringat definisi kematian ketika stase forensik kemarin, yang mana kematian bisa dibuktikan dengan alat kedokteran sederhana terlebih dahulu. Saya kenakan earpiece stetoskop ke telinga saya, lalu menempelkan membran stetoskop ke dada kiri Pak Arif, kurang lebih di bagian apeks jantung. Tidak ada bunyi jantung. Tidak ada bunyi napas. Sama sekali. Pasien sudah 100% apneu dan cardiac arrest. Namun tidak sedikitpun tidak terlintas pikiran untuk melakukan resusitasi jantung paru. Entah apakah karena saya belum terlatih untuk menghadapi kondisi seperti ini, saya juga tidak tahu.
“Sebentar ya, Pak. Saya lapor dokternya dulu,” kata saya ke si bapak penunggu. Saya lantas berlarian keluar mencari residen neurologi. Di nurse station tidak ada. Saya cari ke ruang diskusi mahasiswa, beruntung ada dr. Gaza di sana yang sedang makan nasi padang. Saya laporkan kondisi Pak Arif. “DNR sih pasiennya,” jawab beliau dengan cukup tenang, yang berarti do not resuscitate alias pasien/keluarga sudah menyetujui untuk tidak dilakukannya tindakan resusitasi jantung paru seandainya pasien mengalami henti jantung. Untung saja, saya tidak melakukan resusitasi kepada beliau tadi. Karena kalau iya, justru bisa saya atau pihak rumah sakit yang dituntut.
Dokter Gaza kemudian mencuci tangannya dan berjalan cepat ke kamar 11 sembari meminta saya mengambil alat EKG. Saya pun segera mengambilnya dan kembali ke kamar 11. Tampak dr. Gaza yang mencoba meraba nadi karotis dan melakukan auskultasi pada dada Pak Arif. Lalu kami berdua memasang sadapan (lead) demi sadapan EKG ke dada dan keempat ekstremitasnya.
Hasil EKG pertama dicetak. Yang keluar berupa garis yang bergelombang di beberapa titik. Tidak ada gelombang P-QRS seperti pada EKG normal. Layar EKG mulai berkedip-kedip, memberitahukan adanya fibrilasi atrium, kegagalan konduksi, dan kontraksi ventrikel yang prematur. Hasil yang sangat abnormal pokoknya.
Dokter Gaza menekan tombol hijau untuk mencetak hasil sekali lagi. Kali ini, yang terlihat hanyalah garis-garis lurus dari setiap sadapan. Mulai dari lead I, II, III, aVR, aVL, aVF, V1-V6. Persis seperti datarnya monitor EKG yang biasa ditampilkan di film-film, tapi bedanya, ini di kertas.
“Udah nggak ada ya, Dok?” tanya saya. “Iya, plus,” jawab dr. Gaza (‘plus’ adalah istilah yang biasa digunakan tenaga medis untuk menyatakan ‘meninggal dunia’.) Lemas rasanya. Ternyata, hari ini malaikat Izrail singgah di Fresia 2.
Dokter Gaza langsung memberitahukan kepada si bapak penunggu, bahwa Pak Arif sudah dipanggil selamanya oleh Yang Maha Kekal. Si bapak lantas menelpon kerabat yang lain. Saya lepaskan tiap lead EKG yang terpasang pada tubuhnya. Lalu saya putar regulator oksigennya, dari semula 12 liter permenit menjadi nol. Kemudian saya lepaskan sungkup oksigen yang menutupi mulut dan hidungnya sambil mendoakan beliau.
Dengan berat hati, saya langkahkan kaki meninggalkan almarhum dan si bapak penunggu yang masih menelpon, serta mengembalikan alat EKG ke tempat semula. Dokter Gaza dengan tenang menuliskan surat kematian untuk beliau. Sedangkan, napas saya masih berat. Tidak menyangka, baru saja saya belajar tentang kematian dan cara membuat surat kematian di stase forensik kemarin, ternyata saat ini adalah waktunya mengimplementasikan ilmu tersebut. Terlebih lagi, ini kali pertama saya menyaksikan seseorang yang tadinya masih bernyawa, masih bernapas dan jantungnya masih berdenyut, seketika saja nyawanya dicabut. Itu berarti, malaikat Izrail tadi berada dekat sekali dengan saya.
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian.” - QS. Ali Imran: 185
Hari ini giliran beliau. Giliran kita? Entah kapan. Namun, pasti akan datang. Dan satu-satunya cara untuk menyambut kedatangannya adalah dengan mempersiapkannya. Mari persiapkan bekal sebaik-baiknya untuk masa yang selama-lamanya.
Bandung, 26 Januari 2018
ASN
Comments
Post a Comment