Kisah Cinta di IGD Bedah



Kamis, 2 Agustus 2018

Terlalu banyak kisah cinta yang tersaji sepanjang tugas jaga malam di IGD bedah. Namun, hanya segelintir yang terekam kuat di memori otak. Mungkin hal itu dikarenakan rasa lelah yang seringkali membuat hati saya—yang biasanya terlalu perasa—tidak selalu terlibat dalam setiap tindakan yang dilakukan.

Saat saya sedang tidak melakukan apa-apa dan hanya berdiri di ruang plester, tiba-tiba ada order dari chief koas jaga malam itu, Kak Maureen. "Din, tolong ambil ambu bag. Ada pasien apneu (henti napas)." Terkejut, saya langsung mengambil ambu bag di rak sebelah wastafel dan berlarian ke depan pintu IGD bedah. Saya pikir pasiennya ada di luar, ternyata ada di dalam. Pasiennya ada di bilik paling kiri. Di situ terlihat teman saya, Muthia sedang melakukan resusitasi jantung paru (RJP).

ambu bag

ilustrasi penggunaan ambu bag


Sang pasien merupakan wanita berusia sekitar 60-70 tahunan. Entah dengan diagnosis apa, karena malam itu bukan saya koas yang menjadi penanggung jawabnya. Perutnya sudah mengalami distensi yang cukup besar. Pada badannya sudah terpasang berbagai monitor yang menandakan bahwa kondisinya memang sudah cukup kritis, sehingga harus dipantau secara berkala.

Saya kembali terkejut. Bukan apneu-nya yang menejutkan, melainkan ketika saya melihat seorang bapak-bapak yang saya asumsikan adalah suaminya, karena di antara ketiga bapak-bapak yang ada, bapak itulah yang usianya paling seumuran dengan si ibu. Wajahnya familiar. Ibu ini bukan pasien baru. Ibu ini adalah pasien saya ketika jaga malam 1-2 minggu yang lalu. Pada waktu itu, saya masih ingat jelas saat saya membangunkan si bapak pukul dua dini hari untuk menyerahkan form permintaan darah ke bank darah. Lalu, saya pula yang membangunkannya kembali jam 3 pagi untuk mengambil darah yang kemudian ditransfusikan kepada istrinya. Tanpa ada anggota keluarga yang lain, si bapak setia menunggui sang istri sepanjang malam, bahkan sampai harus terbangun setiap kali istrinya harus diperiksa.

Kali ini, saya menggantikan Muthia sementara untuk melakukan RJP. Ini pertama kalinya saya melakukan RJP kepada pasien langsung. Mengerahkan sisa-sisa upaya yang ada, berharap malaikat maut mundur dahulu beberapa langkah dan menunda tugasnya.

Setelah 10 atau sekian belas siklus, saya minta digantikan kembali oleh Muthia. Berat ternyata, melakukan RJP dengan posisi pasien di atas tempat tidur tinggi. Beruntungnya seorang perawat laki-laki langsung mengambil alih, dan langsung terlihat kontras sekali kekuatan fisiknya dibandingkan kami yang perempuan ini.

Seiring dengan RJP dan ventilasi yang dilakukan dengan ambu bag, angka di monitor semakin fluktuatif. Si bapak menelpon anggota keluarga yang lain, menyatakan kalau si ibu sedang sakaratul maut dan memohon doanya. Seorang laki-laki lain yang saya asumsikan sebagai anaknya, dengan setia melantunkan kalimat "Laa ilaaha ilallaah" di telinga sang ibu. Ini pun sudah berlangsung dari awal saya jaga sore tadi. Hanya saja, saya kira suara tersebut adalah suara pasien bedah saraf yang sedang mengalami penurunan kesadaran dan mengigau dengan melantunkan asma Allah. Sedangkan, seorang laki-laki lain yang mungkin anaknya juga, sedang menelpon dengan wajah pasrah.

Saya mulai tidak kuat menyaksikannya. Air mata sudah mendesak keluar, tapi untungnya masih bisa tertahan. Saya putuskan untuk memasang infus pada pasien saya yang berada di bilik sebelahnya yang baru saja selesai shalat maghrib. Saya tidak mau melihat ending-nya. Saya harus tetap fokus dengan tugas yang harus dikerjakan, tanpa terlarut lebih jauh dalam rasa haru.

Innalillaahi wa inna ilaihi raaji’uun. Akhirnya, berpulang juga sosok tangguh yang sudah entah berapa lama bertahan dalam sakitnya. Semoga segala deritanya menjadi penggugur dosa baginya. Dan semoga keluarganya senantiasa diberi ketabahan, khususnya pada sang suami yang telah setia untuk selalu di sisinya dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit, dalam ada dan tiada. Terima kasih, Pak, sudah mengajarkan saya bahwasanya cinta sejati itu benar adanya: hanya maut yang memisahkan.



Bandung, 3 Agustus 2018 pukul 00.05
ASN yang entah kenapa tiba-tiba sisi emosionalnya terpelatuk oleh kejadian kemarin, ditambah iringan lagu Lirih oleh alm. Chrisye

Comments

Popular Posts