(Aku dan) Pak Didi vs Gagal Ginjalnya



Jumat, 27 Juli 2018

Orderan jaga bedah di malam itu adalah menyerahkan dua lembar resep obat yang telah dituliskan atas instruksi residen urologi, kepada depo farmasi. Kedua lembar itu untuk satu orang yang sama, yaitu Pak Didi. Isinya mulai dari obat antinyeri berupa tramadol (karena si bapak baru saja dioperasi), ranitidin sebagai obat maag yang siap menanggulangi efek samping tramadol terhadap lambung, antibiotik cefoperazone, sampai obat-obatan untuk mengoreksi kondisi hiperkalemia (insulin, kalsium glukonas, dextrose 5%, dextrose 40%).

Ketika obat-obatannya sudah diambilkan, residen urologi 1 memberikan instruksi untuk mencampurkan insulin ke dalam dextrose 40%, lalu dimasukkan ke dextrose 5% dan di-drip (diteteskan) selama 20 menit, kemudian barulah mencampurkan 4 ampul kalsium glukonas ke dalam dextrose 5% dan dihabiskan dalam setengah jam. Saya pun mencoba mengingat-ngingat instruksi tersebut, lalu mendatangi residen urologi 2 untuk mengonfirmasi. “Kamu bawa aja semuanya ke sini. Saya bantuin,” kata beliau. Berbeda dengan residen urologi 1, beliau memberikan instruksi untuk memasukkan kalsium glukonas dulu secara drip, baru setelahnya insulin dan dextrose 40% secara bolus (disuntik langsung ke selang infus). Saya pun menuruti saja karena toh beliau langsung turun tangan mencampur kalsium glukonas ke dalam dextrose 5%.

Pertama, saya drip dulu kalsium glukonas dalam dextrose 5%. Selagi menunggu obatnya habis, saya masukkan obat-obatan lain, tidak lupa melakukan skin test  (tes alergi) dulu sebelum memasukkan antibiotik. Lalu barulah saya mem-bolus insulin dan dextrose. Berhubung proses pembolusan ini agak nyeri, saya pun melakukannya dengan perlahan-lahan. Setelah itu, saya tuliskan obat-obat yang telah dimasukkan ke dalam catatan obat pasien alias COP, lengkap dengan dosis, cara memasukkan obat, dan waktu pemberian. Ketika sedang sibuk menulis, kedua residen urologi itu datang lagi. Mereka datang dengan membawa alat USG dan meminta saya untuk mem-video-kan hasil USG Pak Didi.

Selesai urusan dengan Pak Didi, saya kembali ke ruang ‘plester’ alias ‘markas’ para dokter muda di dalam IGD Bedah. Tiba-tiba residen urologi 1 mendatangi saya untuk menagih video USG yang sedang dalam proses untuk terkirim ke nomor Whatsapp-nya. Saya lalu ‘melarikan diri’ ke kamar mandi. Ternyata saya sudah dicari-cari lagi selama saya di kamar mandi, haha.

Pada jaga malam kali ini, saya belum tidur semalaman. Kegiatan bervariasi mulai dari mendorong pasien untuk di-rontgen atau USG, mengantarkan konsul, mengantarkan pasien ke kamar operasi, memasukkan obat, (mencoba) memasang infus, dan lain-lain yang sudah tidak bisa saya ingat. Saya baru saja pulang dari ruang radiologi, duduk di plester untuk beristirahat sejenak, sembari ‘mengisi’ kekosongan koas di IGD karena yang lain sedang sibuk di radiologi atau di tempat lain. Baru sebentar duduk, residen urologi 3 masuk.

“Dek, kamu lagi nganggur? Tolong masukin ini ya buat Pak Didi. Dibolus lambat aja. Habis dalam setengah jam ya,” katanya sembari menyerahkan empat ampul plastik yang masing-masing berisi 25 mililiter cairan (yang saya terka) dextrose 40%. Berhubung saya adalah satu-satunya koas yang stand by di plester, ditambah lagi beliau adalah pasien saya, jadi saya langsung beranjak tanpa pikir panjang.

“Eh, Neng lagi..” sambut Pak Didi yang terpaksa terbangun karena ini sudah ke-sekian kalinya saya mendatangi tempat tidurnya di ruang observasi. Disambut dengan demikian hangat, menambah lebar senyum saya yang dilanjutkan dengan meminta izin untuk memasukkan obat lagi.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Untuk mengantisipasi lamanya pembolusan, saya ambil kursi perawat untuk saya duduki. Saya masukkan obat ke dalam spuit 10 cc, mengatur three way infus, lalu mulai membolus dengan perlahan.

“Aduh, Neng, sakit itu, Neng,” rintihnya. Rasanya baru saja saya injeksikan satu mililiter. Saya menyangka efek antinyeri dari tramadol sudah hilang, makanya pembolusan ini tidak selancar semalam. Saya pun tidak mungkin meneruskan kalau beliau masih kesakitan. Setiap kali beliau mengeluh, saya berhenti sebentar dan memperhatikan raut wajahnya. Kalau mukanya sudah tidak mengernyit lagi, baru saya lanjutkan. Itupun dengan teramat-sangat perlahan. Sekalipun kadang-kadang saya khilaf untuk mempercepat sedikit.

Malam itu terasa sangat panjang. Saya sempat mencoba mengganti spuit 10 cc dengan yang 20 cc. Berdasarkan ilmu fisika yang pernah ada di otak saya, spuit 20 cc yang memiliki luas permukaan lebih besar seharusnya memberikan tekanan yang lebih kecil, sehingga bisa mengurangi rasa sakit (mohon maklum jika salah; pelajaran kedokteran minggu lalu saja saya bisa lupa, apalagi fisika yang 4 tahun lalu). Saya pun sempat mencoba menusukkan jarum ke balon infus, ketimbang memasukkan via three way. Eh, ternyata kedua percobaan saya menghasilkan hasil yang sama, si bapak tetap saja kesakitan tanpa terkecuali.

Untuk mengisi kebosanan, terkadang saya mengajak Pak Didi mengobrol. Beliau sudah pernah dioperasi pengangkatan ginjal sekian tahun yang lalu (20 tahun atau berapa ya, saya lupa), lalu baru saja beberapa waktu belakangan tiba-tiba tidak bisa buang air kecil. Beliau dibawa ke rumah sakit umum daerah, dipasangi kateter urin, namun urinnya juga tetap tidak keluar. Barulah ketika dirujuk ke RS Hasan Sadikin, dilakukan tindakan nefrostomi, yaitu memasukkan kateter langsung ke ginjal untuk mengalirkan urin.

“Itu obat apa, Neng, namanya?” Karena ditanya demikian, saya akhirnya membaca label nama obat. Oh, ternyata ini adalah natrium bikarbonat! Kebetulan kemasannya memang mirip dengan dextrose 40%. Lalu saya jawab dan saya jelaskan ke beliau, bahwa kerusakan pada ginjalnya membuat ginjal tidak bisa memproduksi natrium bikarbonat untuk menetralisasi asam di tubuhnya. Hal itulah yang mengindikasikan pemberian obat ini. Saya juga terangkan kalau tidak diberikan obat ini, nanti kondisi tubuhnya bisa terlalu asam sehingga bisa membuat napas menjadi sesak (maksudnya Kussmaul breathing). “Oh, saya sekarang nggak sesak sih,” katanya. “Iya, Pak, bagus itu. Justru obat ini buat mencegah supaya Bapak nggak sampai sesak napasnya,” saya coba semakin meyakinkan beliau akan pentingnya pemberian bikarbonat.

Setelah tepat DUA JAM membolus tanpa jeda (selain untuk mematahkan tutup ampul dan menyedot obat dari ampul), akhirnya selesai juga pembolusan yang harusnya habis dalam setengah jam ini! Jujur, saya sudah sangat lelah karena belum tidur semalaman. Bahkan tadi ada beberapa saat dimana saya sempat tertidur 1-2 detik ketika sedang membolus. Tapi, saya sangat senang karena waktu yang lama itu bisa saya manfaatkan untuk lebih mengenal pasien. Beruntungnya saya karena sang pasien dan keluarganya sangatlah kooperatif. Terlebih lagi, saya yang sudah mengurusi Pak Didi sejak ia selesai di-nefrostomi, mulai dari memasukkan obat, melakukan koreksi hiperkalemia, memvideokan hasil USG, mengambil darah, hingga melakukan koreksi asidosis selama 2 jam penuh! Rasa lelah saya seolah terbayar lunas dengan ucapan terima kasih mereka yang begitu tulus. Di samping itu, saya juga mendapat banyak pelajaran dari apa yang saya saksikan. Mulai dari betapa setianya istri dan anak Pak Didi menemaninya hingga harus tertidur di lantai, hingga cukup banyaknya keluarga yang datang jauh-jauh untuk menjenguk, mendoakan, dan memberi dukungan. Pak Didi pun pada akhirnya harus menjalani cuci darah karena kerusakan ginjalnya sudah di stadium akhir. Dalam kondisi seperti itupun, beliau masih bisa tersenyum dan tampak kuat. Membuat saya semakin bersyukur karena telah diberikan keberuntungan dan nikmat yang banyak, khususnya nikmat sehat yang harganya begitu mahal.

Jarum jam akhirnya menunjukkan pukul 7 pagi. Saatnya dismiss! Setelah saya menitipkan pengecekan analisis gas darah Pak Didi kepada tim jaga berikutnya, tiba-tiba salah satu dari mereka mengatakan bahwa Pak Didi sudah tidak ada di tempatnya! Saya pun kembali ke sana, dan benar. Beliau sudah tidak ada. Saya lihat di catatan perawat, ternyata beliau sudah naik kembali ke kamar operasi. Yah, saya pun cukup kecewa. Padahal saya sudah berniat untuk pamit dengannya dan keluarganya. Tapi, tidak apa-apa. Semoga diberi kesembuhan dan kesehatan ya, Pak! :)



Bandung, 28 Agustus 2018
ASN

Comments

Popular Posts