Kateter No.10
“Dokter muda, ke sini ya. Semuanya,” begitu Dokter Faisal memanggil kami yang sedang duduk-duduk di dalam IGD anak untuk keluar sejenak. Malam itu kurang lebih pukul setengah dua belas. Beliau yang menjadi konsulen on site selaku dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) IGD anak hendak memperlihatkan sesuatu kepada kami.
“Ini pasien diabetes ketoasidosis. Kalian pernah liat Kussmaul breathing? Kayak gini,” ujar beliau. Tepat seperti yang saya ketahui seputar Kussmaul breathing. Napasnya cepat dan dalam. Kalau saja Dokter Faisal tidak menunjukkannya, mungkin sampai saat ini saya belum akan pernah melihatnya secara langsung.
Kussmaul breathing biasanya disebabkan oleh kondisi asidosis metabolik, dimana asidosis metabolik terjadi ketika kadar asam dalam tubuh meningkat akibat ketidakmampuan ginjal mengeliminasi zat asam dari tubuh. Pada pasien ini, sebut saja namanya Dela, asidosis metabolik terjadi karena pengobatan diabetes melitus tipe 1-nya tidak adekuat dan kontrol yang tidak teratur. Tidak hanya itu, saat ini Dela juga mengalami syok hipovolemik (kegagalan sirkulasi akibat volume darah yang rendah sehingga jantung tidak bisa memompa darah ke seluruh tubuh) sehingga cairan infusnya harus di-’bolus’ (di-’sedot’ dengan spuit 50 cc lalu disuntikkan ke dalam vena menggunakan infus three way). Dokter Faisal kembali membimbing kami untuk mengidentifikasi tanda-tanda syok, di antaranya nadi lemah dan cepat, capillary refill time memanjang, tekanan darah menurun, serta napas yang cepat.
Malam semakin larut. Dokter Faisal sudah pulang. Pasien di dalam IGD anak perlahan dipindah ke ruangan rawat inap, sehingga pasien-pasien yang tadinya di luar, bisa mendapat tempat di dalam, termasuk Dela. Kondisinya mulai membaik, setidaknya syoknya sudah teratasi. Namun, Dela masih saja berusaha melepaskan sungkup oksigen yang tadi saya pasang. Ia juga masih tampak gelisah. Kegelisahannya pun akan segera bertambah karena ia harus dipasang kateter urin. “Kamu yang pasang ya,” kata Dokter Fina, seorang residen kepada saya. Senang sekaligus berdebar-debar, karena ini kali pertama saya akan memasang kateter urin kepada pasien asli (setelah dulu kepada manekin)!
Dokter Hedi, seorang residen pin 3 menginstruksikan saya untuk mengambil alat-alat yang diperlukan, mulai dari foley catheter, urine bag, kasa steril, spuit 10 cc, akuabides, gel lubrikan, dan sarung tangan steril. “Kateternya nomor 10 ya,” kata Dokter Fina menambahkan. Ternyata, kateter nomor 10 sedang habis di depo farmasi. Opsi lain yaitu nomor 8 dan nomor 12. Saya kembali ke IGD untuk menanyakan hal tersebut. Dokter Fina membuat keputusan untuk mengambil nomor 8.
Sebelum pemasangan, alat-alat harus dipersiapkan terlebih dahulu. Ambil akuabides ke dalam spuit untuk mengembangkan balon kateter, lalu tuangkan cairan povidone iodine ke kasa steril. Kemudian, pasien dikondisikan. Celananya mulai dibuka, lalu kedua kakinya direntangkan dengan lutut yang ditekuk. Kedua orangtua pasien juga ikut membantu memegangi dan menenangkan Dela yang benar-benar tidak bisa diam. Mungkin merasa kalau pemasangan kali ini akan lebih sulit, Dokter Fina pun mengatakan, “Kayaknya kali ini jangan kamu dulu deh (yang memasang kateter), Dek.” Sedikit kecewa, tapi saya mencoba memahami keadaan.
Akhirnya, saya memakai sarung tangan non-steril dan menahan kedua kaki Dela agar tetap terbuka lebar. Saya kerahkan sisa-sisa kekuatan saya untuk menahannya. Dokter Fina pun sudah mengenakan sarung tangan steril dan mulai membersihkan area vulva dan sekitarnya dengan kasa yang sudah dibasuh povidone iodine. Kemudian, ujung kateter sudah siap dimasukkan ke dalam lubang uretra. Tinggal beberapa senti saja, lalu syuurrrr... Dela sudah tidak bisa lagi menahan buang air kecil. Saya langsung menarik diri menjauhi tempat tidur pasien yang mulai basah. Orangtua Dela pun mengelap sisa-sisanya.
Percobaan kedua dilakukan. Lagi-lagi, saya yang menahan kedua kaki Dela. Alhamdulillah, kali ini bisa masuk dengan cukup lancar. Saya pun langsung diminta memasukkan akuabides ke dalam foley catheter, lalu Dokter Fina menarik selang kateter. Ujungnya disambungkan dengan urine bag. Tapi, tunggu dulu. Kenapa urinnya masih ‘rembes’ ke luar?
Dokter Hedi datang dan menanyakan ukuran kateter. Saya ceritakan soal kateter nomor 10 yang habis. “Ganti ke yang nomor 12,” ujar Dokter Hedi. Sayup-sayup saya juga tidak sengaja mendengar perkataan Dokter Hedi ke Dokter Fina, “Udah, biar koas aja yang pasang. Nanti disupervisi sama Rio.” Wah, saya langsung bersemangat kembali untuk melepaskan kateter yang sudah terpasang dan mengambil kembali alat-alatnya di depo.
Singkat cerita, setelah persiapan, tibalah saat saya membuka sarung tangan steril. Yang melakukan supervisi ternyata adalah Dokter Hedi sendiri! Sejujurnya saya agak sedikit tegang karena beliau kadang sedikit galak. Saya kenakan sarung tangan steril dengan durasi yang agak lebih lama, sebenarnya untuk mengurangi ketegangan saya. “Why it take so long?” gumam Dokter Hedi. Saya mencoba tetap tenang dan santai. Saya bersihkan vulva dan area sekitarnya dengan kasa steril. Saya pegang selang kateter yang saya gulung di tangan kanan, karena tadi sempat menjuntai mengenai pasien dan dikomentari, "Jangan kena dong. Kamu kan udah on.” Selembut mungkin, saya buka labia minora, mencari lubang uretra di bagian atas. Sumpah, saya tidak melihat ada lubang! Dokter Hedi justru berseru “Iya itu lubangnya.” Akhirnya, dengan mengucap basmallah, saya dorong saja ujung selang kateter yang sudah diberi lubrikasi ke area yang sebenarnya saya belum yakin apakah itu lubangnya atau bukan. Alhamdulillah, selangnya bisa masuk!
“Ayo, cepetan. Jangan ragu-ragu,” kata Dokter Hedi yang sepertinya gemas melihat saya yang mendorong selang dengan lambat. Saya pun menuruti beliau dan terus mendorong selang sampai mentok. Setelah itu, saya cepat-cepat memasukkan akuabides ke dalam selang untuk mengembangkan balon, lalu menarik selang dengan perlahan. “Urine bag-nya, cepet-cepet dipasang,” ujar Dokter Hedi karena sepertinya Dela mulai buang air kecil lagi. Terakhir, fiksasi selang di paha pasien, dan voila! Saya berhasil memasang kateter urin untuk pertama kalinya!
Alhamdulillah, sekalipun penuh drama, tapi saya sangat senang karena bisa mendapatkan kesempatan berharga dalam melakukan tindakan yang mungkin harus saya lakukan ketika menjadi dokter nanti. Allah memang punya cara-Nya sendiri untuk memberikan pengajaran kepada hamba-Nya. Kalau saja kateter nomor 10 tersedia, lalu Dokter Fina berhasil memasangnya tanpa rembes, pastinya saya tidak akan mendapatkan kesempatan ini. Di samping itu, saya semakin merasakan kebenaran perkataan Dokter Ilham, dokter di puskesmas tempat saya junior clerkship dulu, “Kalau kalian dapet kesempatan buat ngelakuin tindakan, ambil aja. Cobain aja. Kalau salah atau gagal, paling nggak kan kalian udah pernah ngerasain. Jadinya nanti kalau ngelakuin lagi, udah tau gimana yang bener.” Selagi masih menjadi koas, jangan pernah ragu untuk melakukan tindakan (yang sesuai kompetensi) dan jangan ragu untuk meminta bantuan/supervisi dari sejawat atau residen!
Bandung, 30 Juni 2018
ASN
Comments
Post a Comment