Visus: No Light Perception



Pagi itu saya bersiap ujian mini clinical examination atau biasa disingkat Mini C-Ex, yaitu ujian dimana kami melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik kepada pasien sungguhan. Setelah itu, kami dan penguji sekaligus preseptor kami akan berpindah ruangan untuk mendiskusikan kasus yang baru saja didapatkan beserta diagnosis, tatalaksana, dan prognosisnya. Penyakit yang akan diujikan tidak akan jauh dari materi bed site teaching (BST) pada hari-hari sebelumnya. Mulai dari konjungtivitis atau keratitis yang mungkin mudah tertebak ketika mata pasien terlihat merah, selaput yang sudah jelas merupakan pterigium, bercak merah yang mengindikasikan perdarahan subkonjungtiva, lensa keruh atau putih yang hampir bisa dipastikan katarak, hingga benjolan di kelopak mata yang tidak lain adalah hordeolum atau kalazion.

Setelah peserta pertama dan kedua yaitu Kak Eunice dan Dhani kembali dari ujian dan menceritakan hasil temuan mereka barusan, tidak lama kemudian dr. Mayang menelpon Rafi. Itu berarti, kini waktunya saya dan Rafi yang ujian. Kami pun berjalan dari gedung asrama menuju poli di lantai dua sesuai instruksi.

Setelah bertemu dr. Mayang, kami diminta menunggu selagi beliau memanggil sang pasien. Datanglah seorang anak perempuan berusia kira-kira enam hingga delapan tahun. Saya perhatikan matanya, tampak tidak ada masalah. Tidak ada kemerahan, benjolan, kekeruhan lensa, maupun kelainan lainnya. Saya berasumsi bahwa ini hanyalah suatu kelainan refraksi, sampai akhirnya saya menyadari bahwa si anak ini datang bersama ayahnya. Hanya dalam sepersekian detik, saya menyadari bahwa ada kelainan pada mata sang ayah.

“Waduh, (penyakit) apaan nih,” kira-kira demikianlah yang langsung terbesit dalam hati saya. Matanya bengkak, bahkan sudah melebihi ruang yang disediakaan rongga orbita, sampai-sampai menghalangi kedua kelopak (superior dan inferior) untuk menutup mata. Bagian sklera yang normalnya berwarna putih, kini seluruhnya merah. Bahkan, bagian kornea yang seharusnya bening, kini tampak keruh dilengkapi dengan warna keputihan.

Sang bapak dipersilakan duduk. Dokter Mayang meminta ijin kepada beliau untuk kami anamnesis dan periksa. Setelah disetujui, Rafi pun mulai mengambil alih. Awalnya, matanya hanya merah sekitar tiga minggu yang lalu. Kemudian, untuk mengatasinya, sang bapak menggunakan obat tetes yang sebenarnya adalah kortikosteroid! Bukannya membaik, mata si bapak justru semakin bengkak, merah, nyeri, dan bahkan mengeluarkan cairan. Nyeri dan mata berair pun diakui bertambah apabila terkena cahaya langsung.



Setelah anamnesis dirasa cukup, sekarang giliran saya yang melakukan pemeriksaan fisik. Saya mulai dengan pemeriksaan Hirshberg. Mata kanan tidak ada masalah, namun mata kiri tidak dapat dinilai karena kornea sudah tidak jernih. Ingin melanjutkan pemeriksaan, tapi keparahan penyakit si bapak seolah menguapkan ingatan saya.

“Sekarang periksa visus ya,” Dokter Mayang mengingatkan saya. Saya justru balik bertanya, “Visus, Dok?” Kemudian dijawabnya lagi, “Iya, visus.” Pikiran saya buyar. Bingung harus memeriksa dengan apa, karena di ruangan itu tidak terdapat Snellen chart. “Tutup mata kanannya,” Dokter Mayang melanjutkan instruksinya. Saya pun lantas melakukannya. Butuh sekian detik bagi saya untuk menyadari bahwa pemeriksaan visus yang dimaksud adalah hand movement. Tangan kiri saya lambaikan di depan mata kiri si bapak, sambil bertanya, “Keliatan ngga, Pak?” Beliau justru balik bertanya, “Apanya?” Mendengarnya begitu miris. Perasaan saya semakin tidak karuan melihat penderitaannya. Saya langsung ambil penlight dari saku kiri jas koas, menyalakannya, dan mengarahkannya ke mata si bapak. Saya bertanya kembali, “Keliatan ngga, Pak, cahayanya?” Beliau kembali menjawab, “Nggak.” Dengan demikian, visus beliau termasuk no light perception, dimana matanya bahkan tidak bisa melihat cahaya.

Pemeriksaan pun belum berakhir. Masih ada pemeriksaan eksternal bola mata. Saya awali dengan inspeksi kelopak mata kiri dan kanan yang tampak tak bermasalah. Mau memeriksa konjungtiva tarsalis inferior atau superior, rasanya tidak akan nyaman bagi mata pasien. Saya lanjutkan ke pemeriksaan bola mata, mulai dari kornea, sklera, iris, pupil, hingga lensa yang rasanya sudah mustahil dilakukan karena tidak ada satupun yang berada dalam batas normal. Saya kembali menghela napas sambil mematikan penlight, mengingat kata beliau, matanya terasa sakit ketika disinari secara langsung. Tampak pula cairan purulen keluar dari mata kirinya. Saya semakin tidak tega rasanya.

Entah karena pemeriksaannya memang dicukupkan sampai di sini atau Dokter Mayang menyadari bahwa kedua mahasiswanya ini sudah mulai kehabisan ide, pemeriksaan pun dihentikan. Kami berterima kasih kepada si bapak, lalu pindah ke ruangan lain untuk mendiskusikan kasus tersebut.

Diskusi dimulai dari pelaporan hasil temuan, baik dari anamnesis maupun pemeriksaan fisik. Lalu beliau menanyakan diagnosis banding ke Rafi. Awalnya Rafi menyebutkan adanya konjungtivitis, keratitis, iritis, lalu kebingungan karena pada pasien ini, tampaknya semua penyakit-penyakit itu ada. Dokter Mayang bertanya juga kepada saya, apakah saya setuju dengan Rafi atau tidak. Saya jawab, diagnosis bandingnya adalah mata merah dengan visus menurun. Saya sebutkan uveitis dan panuveitis, lalu beliau justru bertanya, “Emangnya kayak gitu uveitis?” Saya jawab dengan sedikit ragu, “Hmm kalau yang ini lebih parah sih, Dok.” Saya kembali menyebutkan diagnosis banding mata merah dengan visus menurun lainnya yang saya ingat. Endoftalmitis! “Kalau endoftalmitis itu kan bola matanya aja. Ini kan udah sampai ke jaringan sekitarnya,” ujar beliau. Iya juga ya. Bahkan pasien kami tadi sudah mengeluhkan sakit di bagian kepala sebelah kiri. Saya dan Rafi pun terdiam, saking sudah tidak tahu penyakit mata apalagi yang lebih parah dari itu. Ternyata, jawabannya adalah panoftalmitis, alias peradangan di seluruh bagian mata, mulai dari intraokuler hingga jaringan sekitar! Wah, sangat tidak terpikir ya, apalagi karena kami mengira bahwa kasus yang muncul hanya kasus-kasus “ringan” yang ada di BST saja.

Dokter Mayang melanjutkan diskusi dengan menanyakan prognosis dan tatalaksana. Saya dan Rafi sepakat menjawab dubia ad malam. Ternyata, pasien ini harus dirawat untuk diberikan antibiotik karena infeksinya yang sudah cukup parah. Setelah itu, bola matanya harus diangkat. Iya, diangkat, tanpa sisa. Prognosis sudah benar-benad ad malam tanpa dubia sedikit pun. Saya hanya bisa kembali menghela napas. Tidak terbayangkan oleh saya jikalau mata saya harus diambil sebelah. Rasanya saya teringat kembali pertanyaan Dokter Bambang ketika lecture Vision 2020 sewaktu semester tujuh lalu. “Siapa hari ini yang bersyukur bisa melihat?” Nyatanya, kemampuan melihat merupakan anugerah luar biasa yang Ia titipkan, yang seyogyanya dapat kita manfaatkan dan kita jaga dengan sebaik-baiknya. Dan jangan lupa, bersyukurlah akan dua bola mata yang masih setia menghuni rongga orbita secara tenang dan fungsional.

Bandung, 26 Maret 2018
ASN

Comments

Popular Posts