3,5 Tahun Lalu dan 1,5 Tahun Mendatang

Seusai shalat Ashar, bukannya langsung pulang, justru duduk di tangga atas C6 sembari memandang ke arah parkiran, ditemani hembusan angin Jatinangor yang kala itu sedang dingin-dinginnya. Menikmati kesendirian. Sempat terpikir untuk menelpon seorang teman untuk menumpangi mobilnya, namun ku urungkan. Aku lebih memilih sendiri. Toh, biasanya juga lebih sering dan lebih nyaman bepergian sendirian, kan?

Entah kenapa, pandangan yang hanya sebatas lapangan C6 dan gedung C2 serta sedikit area FKG mampu membuat imajinasi melesat jauh ke masa-masa lampau. Tiga setengah tahun yang telah terlewati. Rasanya, baru kemarin aku duduk di sini dan mendapatkan dua orang teman pertamaku.
Segenap lamunan tanpa arah pun berlanjut di dalam mobil yang membawaku kembali ke Bandung. 

Hanya duduk sendirian dalam satu baris membuatku lebih leluasa dalam melakukan banyak hal.
Aku kembali terpikir akan nilai-nilai yang tertera di kertas transkrip. Memang cukup seadanya, apalagi jika dibandingkan dengan masa SD, SMP, SMA yang selalu membawa orang tuaku naik ke atas panggung untuk mendampingiku menerima penghargaan. Ah, masa-masa itu. Masa-masa yang sudah tidak pernah kurasakan semenjak masuk bangku perkuliahan.

Memori membuka folder tentang betapa kerasnya diriku-sebelum-kuliah belajar. Pulang sekolah langsung belajar, tidak banyak terdistraksi, bisa duduk fokus dan cepat menerima pelajaran. Semangat untuk belajar selalu menggebu-gebu setiap harinya, karena ada tujuan yang begitu jelas ingin dicapai: mendapatkan nilai tertinggi dan mendapatkan fakultas serta universitas impian. Ya, tujuan yang kini begitu kabur dan abu-abu.

Menyadari bahwa kemampuanku tidak sebaik sejawat yang lain membuatku pesimis dari awal, bahwa aku bisa meraih nilai tertinggi seperti itu lagi. Tergiur dengan beragam mimpi di luar sana yang membuatku terlena sehingga tidak terlalu mengindahkan hal-hal berbau akademik. Orientasi pun mengalami pembelokan drastis. Tidak salah untuk mengejar mimpi di luar itu. Namun, justru menjadikan ku lupa dengan tujuan utama.

“Ingin bisa bermanfaat,” padahal profesi lain juga tak kalah hebat manfaatnya.

“...di mana pun dan kapan pun,” inilah yang menurutku sedikit membedakan, tanpa bermaksud merendahkan profesi lain dengan beragam kesulitan dan kemuliaannya masing-masing.

Seketika membayangkan diri yang sedang berlibur, lalu tiba-tiba ada yang berteriak, “Apakah ada dokter di sini?” Lantas segera berlari dan menyelamatkan nyawa yang hampir saja kembali kepada-Nya.

Terbayang pula ekspresi antusias dari seorang bapak-bapak setelah diberi penyuluhan mengenai pneumonia, yang mengatakan bahwa waktu penyuluhannya kurang lama, padahal beliau masih ingin banyak berdiskusi.

Tergambar juga wajah-wajah yang bahagia seraya mengucap “Terima kasih,” atas telinga yang senantiasa mendengarkan dengan penuh perhatian, serta mulut yang memberikan penjelasan terkait sesuatu yang menjadi ilmu baru bagi sang pemilik wajah itu. Dengan ataupun tanpa pemberian obat, batinnya sudah cukup sembuh dengan melihat keramahan dan kepedulian yang kita tunjukkan dengan tulus.

Ah, betapa indahnya pemandangan itu. Lelahnya jaga malam yang melebihi jam kerja manusia normal, ditambah luka-luka hati yang terakumulasi selama sekian tahun bersekolah, seakan tidak ada apa-apanya.

Namun, semua itu tentu tidak berarti jika isi otak nyaris nihil. Ilmu dan pengetahuan, biar bagaimanapun, merupakan otak dari profesi ini (jantungnya tetap etika). Apa gunanya pandai berkomunikasi, namun sebenarnya tidak mengerti apa-apa akan sang lawan bicara? Tentu saja, ilmu dan pengetahuan juga harus dikuasai sebaik mungkin! Ah, bagaimana bisa aku melupakan hal ini selama tiga setengah tahun terakhir?

Padahal, dengan mempelajarinya, sebenarnya kita sedang menyelami kalam-kalam-Nya yang tersebar dalam buku Robbins, Guyton, jurnal Pubmed, Medscape, ucapan dosen atau konsulen, bahkan dari diri pasien itu sendiri! Bukankah menurut pak rektor, belajar ilmu kedokteran merupakan salah satu cara untuk semakin mengagumi dan mensyukuri ciptaan-Nya?

Coba ingat lagi, betapa dahsyatnya makhluk-makhluk mikroskopis yang Ia ciptakan. Betapa bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat mencegah fusi antara endosome berisi sang bakteri dengan lysosome yang harusnya bisa menghancurkannya? Betapa virus HIV bisa dengan mudahnya bermutasi dan mengelabui sel imun kita sehingga dengan leluasanya, kadar CD4+ perlahan-lahan ia babat habis stoknya? Betapa bakteri Salmonella enterica serovar Typhi mampu menginduksi produksi IL-10, sang regulator sistim imun sehingga invasi pertamanya tidak menimbulkan gejala?

Bukankah semakin dalam kita mempelajari itu semua, maka semakin dalam juga kita mengenal-Nya?
Di samping itu, tidakkah profesi ini sebuah perantara dari-Nya, untuk menyembuhkan hamba-Nya yang sedang berikhtiar kembali kepada kesehatan?

Bersyukurlah! Atas segala perjuangan di masa lampau yang berbuah manis, di saat banyak yang menginginkan posisi ini, namun justru kita yang ditakdirkan-Nya memikul semua beban yang bahkan tidak berhenti sampai di sini. Bersyukurlah! Atas luasnya ladang amal kebaikan yang tersebar di setiap sisi dan sudut dari profesi yang kerapkali “ditinggikan” maupun “direndahkan” ini.

Bersyukurlah dengan memberikan yang terbaik! Menjadi yang terbaik, bukan semata karena ambisi pribadi (seperti di masa lalu itu), melainkan demi mereka yang nantinya akan berterima kasih, serta mereka yang selalu mendukung dari belakang.

Ya, mereka. Yang merawat sejak masa konsepsi, kehamilan, kelahiran, hingga sekarang, hingga entah kapan. Memang, mereka tidak pernah menyatakan kekecewaannya atas prestasi yang kian menurun sejak masa perkuliahan. Namun, mustahil jika tidak ada sedikit harapan di hati mereka untuk melihat buah hatinya menjadi yang terbaik. Terlebih lagi jika kakakku yang di masa lampau tidak rajin mengantarkan mereka ke atas panggung, namun kini justru ia yang melesat jauh dengan nilai-nilai sempurna, beasiswa, dan pekerjaan yang begitu mapan.

Hei, ingat! Mereka sudah mengorbankan terlalu banyak hal. Buatlah mereka bangga! Cobalah cicil sedikit balas budi terhadap mereka, yang sebenarnya, mau sebesar apapun, tetap saja tidak akan pernah setimbang. Make. Them. Proud!

Air mata perlahan mengalir. Disertai dengan peningkatan asam lambung yang semakin memperparah nyeri di area epigastrium. Sudah tadi makan terlambat, barusan minum kopi, sekarang kortisolnya meningkat pula.

Air mata pun semakin membasahi wajah dengan brutal. Mengiringi sejumlah ego-ego dalam diri yang sedang berteriak kepada diri sendiri.

Tiga setengah tahun yang berlalu ini bukanlah akhir. Justru, ini adalah awal dari segalanya. Awal dari dunia yang nyata. Kalau kata Ibu Acha kesayangan kita semua di kala yudisium tadi, “Selamat menikmati indahnya perjuangan.”

Teringat kembali betapa indahnya tempaan terhadap diri sendiri untuk belajar sekeras mungkin pada masa lampau. Teringat kembali betapa indahnya usaha untuk meresapi kata demi kata berbahasa Inggris dan ilmiah yang terdengar begitu asing. Teringat kembali betapa indahnya menyendiri ditemani buku, laptop, alat tulis berwarna-warni, serta tekad yang kuat untuk bisa memahami dan menguasai.

Perjuangan belum berakhir. Perjuangan baru saja dimulai. Tidak, tidak ada kata terlambat untuk menjadi lebih baik. Selalu ada ruang untuk improvisasi. Pacu diri melewati batas. Maksimalkan fungsi otak yang sebenarnya bisa lebih dari ini jika ada kemauan yang kuat. Bisa. Pasti bisa!

Air mata kepahitan pun berganti dengan air mata haru. Senyuman lebar terkembang. Dada terisi penuh dengan optimisme. Api semangat kembali membakar, menggebu-gebu.

Semoga tetap terjaga. Selamanya.

Arnes Jatinangor-Bandung, 5 Januari 2018
ASN

Comments

Popular Posts