OSCE TM-FM: One and Only

Jeng jeng jeng. Datanglah OSCE terakhir di masa S.Ked! Jadwal UAS superpadat dan supermepet, ditambah pertama kalinya OSCE di minggu pertama, dilanjutkan dengan SOOCA minggu kedua! Hari Senin ujian MDE Famed di Jatinangor, hari Selasa Final BHP dan CRP di Jatinangor yang mana kami semua baru sampai di Bandung sudah sore dengan kondisi badan dan pikiran lelah akibat soal CRP yang begitu menguras otak, lalu besoknya sudah OSCE:) Tapi alhamdulillah, saya diberikan kesempatan untuk OSCE di hari kedua, yaitu hari Kamis. OSCE kali ini terdiri dari:

TROPICAL MEDICINE
1. History TakingFevr
2. Vaccine 1 - Cold Chain
3. Vaccine 2 - Immunization
4. Skin Slit & Nerve Exam for Leprosy
5. Skin Scraping for Scabies & Dermaomycosis
6. Prevention of Disabilities
7. Thick & Thin Blood Smear
8. Rapid Diagnostic Test (RDT)

FAMILY MEDICINE
1. Counselling
2. Physical Examination Thorax & Abdomen
3. Detection of Mental Health
4. Eye Examination
5. Breast Care
6. Bed Turning and Bed Positioning
7. Breaking Bad News

H-2 OSCE
Berhubung baru sampai Bandung sudah sore, malamnya saya baru sempat menghafal 3 atau 4 station gitu ya. Itupun masih yang mudah. Lalu saya menjadi pasien untuk Talitha yang mau mencoba eye exam, PE thorax-abdomen, dan pemeriksaan saraf pada leprosy.

H-1 OSCE
Seperti biasa, tidak ada rasa stres, panik, dada berdebar, dan gejala-gejala simpatetik lainnya. Setelah Subuh, saya justru tidur lagi sampai jam 9, lalu mulai mencoba menghafal sampai sekitar waktu Zuhur. Setelah mandi dan sholat, saya justru pergi keluar untuk membeli makan siang dan snack untuk persiapan OSCE besok. Waktu belajar efektif pun baru dimulai kembali setelah Ashar.

Sewaktu malam, bahkan masih ada 6 station yang belum saya sentuh. Saya pun tetap mengusahakan sampai sekitar jam 11 malam, baru saya tidur. Masih tersisa 2 station yang belum dihafalkan.

Kamis, 21 Desember 2017. Pagi ini saya bangun jam setengah 5, lanjut sholat Subuh, lalu sarapan. Karena saya makan nasi + tempe penyet + ayam penyet sisa semalam, saya jutru harus bolak-balik ke kamar mandi. Jadilah saya belum sempat menghafal lagi di pagi ini. Anehnya, perasaan saya masih merasa seperti tidak ada ujian apa-apa di hari ini. Entah kekurangan cortisol atau bagaimana ya ini...

Satu-satunya yang membuat saya agak deg-deg-an adalah karena jas lab saya ternyata masih di laundry! Saya coba chat di grup kosan, namun tidak ada yang merespon. Talitha dan Wigmar pasti masih tertidur pulas sebagai balas dendam kekurangan tidur mereka di OSCE kemarin... Saya chat beberapa orang dan beberapa grup, juga belum ada yang merespon. Saya coba ketuk pintu kamar Wigmar yang kedua kali, belum ada respon juga. Saya langsung naik tangga, berniat mengetuk kamar Talitha, eh terdengar suara Wigmar membukakan pintu. Alhamdulillah, saya akhirnya meminjam jas lab Wigmar. 

Saya pun berangkat bersama Azizah sekitar pukul 6.20 karena diminta berkumpul pukul 6.45 di ruang auditorium lantai 2. Sesampainya di Eyckman, para makhluk Proxima lainnya masih duduk-duduk di lobby karena katanya, ruang auditorium belum dibuka. Saya pun memutuskan untuk naik dan berniat duduk-duduk di depan ruang auditorium. Ternyata, sudah dibuka. Saya pun masuk dan mengambil sudut di kanan atas sambil mencoba menghafal.

Karena semakin lama semakin ramai, saya berpindah ke paling pojok kanan atas, menyendiri sambil memakan roti dan berusaha mengulang hafalan. Sesekali Uda yang duduknya agak menyendiri di serong kiri saya, menanyakan sesuatu. Sesekali saya yang bertanya kepada Uda maupun Mugi. Yaa pokoknya di sini saya masih merasa tenang, sembari menusuk-nusuk boneka Proxy (kali ini bukan Paddington Bear lagi karena terlalu besar untuk dibawa) sebagai model untuk station imunisasi.

Ketenangan mulai terusik ketika bapak-bapak admin seperti Pak Aceng dan Pak Iqbal mulai menampakkan batang hidungnya. Pak Aceng pun memberi "sambutan" dan menyuruh kami absen. Saya mulai deg-deg-an di sini, karena OSCE kali ini hanya ada dua sesi: jam 8 dan jam 10 (biasanya 3 sesi). Namun, saya sudah menyiapkan mental saya seandainya saya mendapat kloter 1.

Tidak lama, datanglah Pak Iqbal yang siap me-random nama kami yang kloter 1. Dimulai dari wing !, B, C, lalu wing saya yaitu wing D. Dan benar. Nama saya sudah ada di kloter 1. Saya cukup deg-deg-an, namun pasrah, dan entah kenapa, ada rasa optimis bahwa saya bisa menyelesaikan ini semua. Saya pun langsung mengubah metode "mengulang hafalan" menjadi "me-review" tiap station sambil berjalan naik menuju lantai 3.

Awalnya, kami masih berdiri di lobby lantai 3 dan bingung wing D di mana, karena yang terlihat barulah wing C yang biasa menjadi tempat skills lab dan tutorial kami. Saya sempat pergi ke toilet lagi karena seperti biasa, mekanisme stres saya pada hari-H OSCE/SOOCA adalah dengan mengeluarkan lebih banyak urin. Setelah itu, kami digiring menuju arah tangga darurat tempat isolasi sewaktu saya sidang UP dan sidang akhir. Ternyata, ruang OSCE-nya adalah ruangan yang seharusnya dipakai untuk rumah sakit pendidikan.

Kami pun menunggu cukup lama sambil me-review setiap kasus bersama-sama. Para dosen penguji dan standarized patient pun mulai berlalu lalang. Jadi kami cukup tahulah siapa saja calon penguji kami nanti haha. Sayangnya, ada seorang dosen yang saya pernah 'disemprot' olehnya sewaktu tutorial dulu... Tapi, ada juga dosen yang (menurut interpretasi teman-teman) saya ngefans banget terhadap beliau hahaha. Anggi bahkan sampai bilang, "Din, kamu pasti deg-deg-an? Soalnya ada dokter ***a" haha padahal saya biasa saja kok...

Isolasi kali ini ditutup oleh "senam ROM (range of movement)" yang kami praktikkan untuk station prevention of disabilities. Saya sempat ingin ke toilet untuk terakhir kalinya sebelum dimulai, eh tiba-tiba Ibu Achadiyani berbicara melalui mikrofon, bahwa station B, C, D akan dimulai sekarang. Jeng jeng. The time has finally come!

Kami mulai memasuki 'lorong rumah sakit' dan berdiri di station sesuai urutan dipanggil. Station pertama saya adalah station 6. Saya masih cukup deg-deg-an dan hanya bisa memasrahkan semuanya kepada Allah.

TEEEEET

Station 6
Seorang pasien laki-laki usia 35 tahun mengalami leprosy (kusta). Mengalami numbnessm tidak ada deformitas dan blister/ulcer. Intinya, saya diminta melakukan pemeriksaan, menentukan tindakan apa yang harus dilakukan, melakukan edukasi, dan menjelaskan latihan ROM. Prevention of disabilities dengan penguji dr. Gradia. Bismillah!

Saya pun masuk dan melakukan informed consent terhadap mbak-mbak yang sedang duduk. Anehnya, si mbak ini malah menunjukkan wajah bingung. Entah dia berperan sebagai pasien atau hanya bertugas merapikan alat, yaa saya pikir setidaknya lebih baik daripada saya bicara dengan pasien imajiner. Ketika saya mau memeriksa tangan, si mbak malah makin bingung. Akhirnya, dr. Gradia memberikan manekin tangan dan diletakkan di atas tangan si mbak. Bahkan saya tidak memperhatikan kalau ada manekin itu...

Pemeriksaan pun rasanya cukup lancar dan tidak ada kendala berarti. Sekalipun saya agak bingung kenapa ada cotton bud, namun ada juga kapas bertangkai berukuran besar. Saya pun lakukan tes sensibilitas, tapi saya agak bingung karena si mbak kok tidak menunjukkan bahwa ada numbness... Saya justru bertanya ke dr. Gradia, "Dok, ini sesuai soal aja kan, Dok?" dan beliau menjawab, "Iya." Oke, saya anggap pasien mengalami numbness. Setelah itu saya lakukan edukasi dari A-Z. Termasuk juga edukasi cara positioning, dimana saya juga memasangkan fingersplint dan handsplint ke manekin tangan. Yang agak memakan waktu memang saat memasang handsplint, apalagi saya sempat salah memberikan handsplint untuk tangan yang satunya...

Lanjut ke edukasi ROM, saya sudah bersemangat saja memulai dari fleksi-ekstensi-rotasi eksternal-rotasi internal bahu. "Kalo buat yang wrist gimana ROM-nya?" tanya dr. Gradia. Saya agak bingung awalnya maksud beliau apa. Saya langsung melihat kertas kasus. Oh, ternyata yang diminta hanya wrist dan hand. Saya pun memeragakannya dengan lancar, karena memang saya sangat excited melakukan senam ROM ini hahaha anggap saja sedikit olahraga. Tidak lama, bel pun berbunyi dan menempatkan saya di station istirahat.

Station 7
Seorang anak usia 2 tahun dibawa oleh ibunya untuk imunisasi. Sebelumnya sudah diimunisasi Polio 1, BCG, dan Hepatitis B. Yap, waktunya melakukan imunisasi sesuai usia dan vaksin yang sudah diberikan!

Masuk, absen, informed consent kepada pasien ibu-ibu yang menggendong manekin bayi beserta kertas 'contekan' milik si pasien yang ditaruh di atas meja hahaha. Setelah assessment dan segala macamnya, saya langsung beraksi menuju troli berisi alat-alat. Yaa begitulah. Vaksin Polio-nya ceritanya sudah terpasang dengan dropper, vaksn Pentabio yang sudah kosong ceritanya diambil melalui syringe. Kalau sudah paham prosedurnya, sebenarnya ini cukup mudah karena kita tinggal membahasakan setiap langkah yang dilakukan.

Alat-alat sudah siap, sekarang waktunya meminta si ibu memegangi anaknya dengan kepala yang sedikit mendongak untuk diberikan vaksin Polio oral. Selanjutnya ceritanya diminta membuka bagian kaki hingga paha untuk menyuntikkan vaksin Pentabio secara intramuskuler ke 1/3 anterolateral atas paha. Selesai, buang syringe ke safety disposal box, lalu merencanakan jadwal imunisasi berikutnya dan menjelaskan terkait efek samping. Pasien kooperatif, dosen tidak banyak berkomentar. Alhamdulillah :)

Station 8
Karena letaknya agak jauh, saya harus segera berlari dari station sebelumnya untuk mencapai station ini (agak lebay tapi saya beneran lari...). Ternyata ini adalah station rapid diagnostic test! Betapa senangnya, apalagi setelah mengetahui bahwa pengujinya adalah dr. Adhi 'patklin', tutor saya selama Tropmed :") Awalnya, saya tidak kuat melihat wajah beliau karena entah kenapa, saya ingin tertawa... Bukan karena apa-apa, tapi diuji oleh beliau yang kebaikannya tidak terkira itu membuat saya terlalu bahagia di saat-saat OSCE yang penuh adrenalin ini :")

Station ini cukup singkat karena menjelaskan cara pengambilan sampel darah tepi dan pemeriksaan RDT yang langkahnya tidak banyak. Setelah itu, saya disodorkan gambar hasil RDT malaria. Jeng jeng... Saya belum belajar lagi tentang malaria. Ada 3 garis: 1 garis di 'control', 1 garis di '1', 1 garis di '2'. Keterangannya: 1 untuk P. falciparum dan 2 untuk P. vivax. Saya pun menjawab bahwa itu infeksi keduanya, tapi dr. Adhi masih mempertanyakan jawaban saya. Saya pun mendadak galau dan tidak yakin. Sempat terdiam beberapa saat dan sok-sok mikir (padahal di otak tidak ada memori tentang hal itu), sampai akhirnya beliau menanyakan lagi dan saya tetap pada jawaban awal.

"Oke," kata beliau sembari membalik kertas. Kali ini muncul pemeriksaan dengue fever dengan 3 garis, masing-masing di 'C', 'IgM', dan 'IgG'. Alhamdulillah yang ini masih ada di folder memori dalam otak. Jadi saya jawab infeksi sekunder, fase akut. Lalu berakhirlah station ini, menyisakan cukup banyak waktu dan awkward moment karena dr. Adhi sibuk dengan laptopnya (pengennya kan diajak ngobrol :")

Station 9
Entah kenapa station ini dihalangi oleh sofa di depannya. Saya baca kertas soal, katanya pasien mengalami demam blablabla baru saja pulang dari Papua blablabla. Awalnya saya kaget karena saya kira itu adalah HT Fever. Eh tapi tulisan di bawah ternyata menyuruh untuk membuat thick and thin blood smear. Okay, challenge accepted! Begitu bel kedua, saya coba buka pintu, tapi terlihat kosong. Saya tanya ke bapak admin, ternyata itu adalah rest station... Alhamdulillah, saya kembali beristirahat, apalagi di sofa yang nyaman seperti ini. Saya sambil mengulang hafalan blood smear karena mengira bahwa station blood smear hanya dipindah ruangannya ke station setelah ini.

Station 10
Skin scraping for scabies untuk anak usia 13 tahun yang memiliki lesi kulit blablabla plus teman asramanya mengalami hal yang sama. Ya, namanya juga lagi OSCE. Saya pun informed consent dengan si anak yang imajiner. Pasien yang ada hanyalah ibu-ibu yang saya duga hanya bertugas membersihkan. "Emang bisa anak 13 tahun tanda tangan informed consent?" pertanyaan itu keluar dari mulut sang penguji. Saya langsung merasa bodoh, tapi entah kenapa jadi mendadak linglung dan kebingungan sendiri padahal jawabannya sudah jelas. "Hmmm nggak bisa, Dok.. Harusnya ke ibunya..." jawab saya dengan polos. "Ya logika aja dong," balasnya. OMG! Baru saja informed consent, sudah terkena semprot begini hahaha. Ya sudah, saya dengan santai mengulang informed consent lalu menyiapkan alat, cuci tangan, lalu beraksi. Ya gitu-gitu aja sih, paling saya agak bingung sendiri ketika melakukan scraping untuk menghindari tangan manekin menyentuh glass slide. Tapi toh sang penguji tidak terlalu memperhatikan. Malah terlalu banyak yang di-scrap. Tidak apa-apa deh... Lalu, saya sengaja agak memperlambat gerak saya, karena saya takut dikomentari atau ditanya-tanya kalau masih ada sisa waktu hahaha.

Station 11
Mirip-mirip dengan station sebelumnya, kali ini adalah slit skin for leprosy. Bedanya, alat peraga ada persis di hadapan sang dosen. Jadi, mau tidak mau, saya berhadapan dengan penguji secara penuh selama 9 menit ini. Beliau pun sangat memperhatikan saya.

Yang membuat kesulitan di station ini adalah ketika membuat tanda di glass slide menggunakan pensil kaca. Entah karena glass slide-nya masih agak basah atau bagaimana, yang jelas pensilnya tidak mau melekat di kaca :" Tapi alhamdulillah, selebihnya tidak ada kendala yang berarti. Sewaktu bel berbunyi, saya langsung menyebutkan pengiriman spesimen sekaligus permintaan pemeriksaan laboraturium.

Station 1
Menurut soal, ibu-ibu pasien ini mengalami sakit perut di bagian epigastrium sejak suami meninggal; merokok; sudah ke dokter dan disuruh cek EKG, tapi menolak. Inilah waktunya counselling! Masuk, duduk, seperti biasa menanyakan apakah pasien sudah nyaman dengan duduknya atau belum. Selanjutnya, giliran saya memperkenalkan diri dan menanyakan keluhan pasien. Jadi, si ibu ini ceritanya suaminya meninggal 7 hari yang lalu. Sejak 4 hari yang lalu, mengalami sakit perut di bagian epigastrium yang suka menjalar ke arah dada. Rasa sakit meningkat setiap kali memikirkan suami. Tidak ada hubungan dengan telat makan atau penyebab fisik lainnya. Murni karena faktor psikologis (sok tau). Saya pun memulai menjelaskan tentang penyakit gastritis yang bisa disebabkan oleh faktor anatomis maupun psikologis, ditambah dengan faktor risiko yang salah satunya adalah merokok. Kemudian saya gali tentang kebiasaan merokoknya. Si ibu yang kini usianya 77 tahun, sudah merokok sejak usia 15 tahun! Biasanya hanya 1 bungkus perhari, tapi sejak suaminya meninggal, bertambah menjadi 2 bungkus perhari. Si ibu juga sempat ke dokter sebelumnya, disuruh untuk cek EKG karena rasa sakitnya sudah menjalar ke dada, ada kemungkinan ada masalah jantung juga.

Pertama, saya mulai dengan alternatif pengobatan untuk gastritisnya. Saya tanyakan apa hobinya, katanya adalah berkebun. Saya beri pilihan untuk meringankan stres dengan berkebun ditambah berhenti merokok, atau dengan obat. Akhirnya, si ibu memilih obat. Yaa apa boleh buat. Selanjutnya, saya baru mau menyinggung mengenai EKG. Ehh belum sempat menjelaskan, bel sudah keburu berbunyi. Ya sudah. Saya pasrah, sekalipun agak gemas karena waktunya keburu habis padahal masih banyak yang mau disampaikan...

Station 2
Seorang bapak usia 34 tahun yang datang dengan keluhan sakit kepala, namun kami diminta untuk melakukan detection of mental health! Si bapak yang sedang main handphone pun langsung menyembunyikannya ketika saya datang. Seperti biasa, mengawali dengan perkenalan diri dan menanyakan keluhan utama. Itupun tidak langsung saya hujani dengan pertanyaan terkait kesehatan mental, melainkan saya tanya tanya dulu sakit kepalanya di sebelah mana, sejak kapan, biasanya memburuk atau membaik ketika apa, pencetus sakit kepalanya apa. Saya ingin menggali dulu dari pertanyaan anamnesis standar, sebelum bergerak ke pertanyaan mental. Jawaban si bapak pun tidak menunjukkan tanda-tanda gangguan mental. Saya pun langsung beralih ke pertanyaan terkait kesehatan mental.

Tibalah pada pertanyaan, "Bapak belakangan ini suka gampang sedih gitu ngga, Pak?" yang direspon oleh suara lirih, "Sebenernya saya lagi ada masalah, Dok..." YAY! Akhirnya! Saya pun langsung menggali kisah hidup si bapak yang ternyata baru saja menghilangkan motor kakaknya, padahal cicilannya belum lunas dan sang kakak sedang butuh uang. Sesuai dugaan saya, hari ini kasusnya adalah depresi, karena kemarin sudah ansietas. Gejala-gejala lain seperti skizofrenia, somatoform, ansietas, dan lain-lain negatif. Alhamdulillah, saya pun mendiagnosis si bapak depresi, ditambah saya juga sudah sedikit menghafalkan kriteria diagnosis depresi sehingga pertanyaan terkait depresi bisa lebih diperdalam hehehe

Station 3
Begitu masuk dan melihat pengujinya, saya langsung deg-degan karena beliau adalah dr.GIN hahaha. Langsung informed consent kepada seorang pasien bapak-bapak yang sudah cukup berumur dan cukup kurus, memintanya berbaring di bed pemeriksaan dan membuka bajunya. Saatnya lakukan PE thorax! Seperti biasa, mulai dari inspeksi, tidak ada yang abnormal. Lanjut ke palpasi, tidak ada masalah. Lalu ke perkusi yang terdiri atas membandingkan hemitoraks kanan dan kiri, mencari batas paru-hepar, dan batas jantung. Ketika sedang asyik memerkusi, tiba-tiba saya mendengar suara seperti mengorok. Saya terdiam sejenak dan mengalihkan fokus mata saya yang semula ke bagian dada pasien menjadi ke wajahnya. Wah! Si bapak ternyata tertidur pulas dengan nyaman ya... Saya pun melanjutkan perkusi. Tiba di pencarian batas jantung atas, seharusnya kan batasnya adalah ketika suara sonor berubah jadi dull. Eh, kok sampai bawah masih sonor... Kok bapak ini dadanya sonor semua?!?! Jantungnya mana?!?! Akhirnya saya mengakali dengan mengetuk bagian sisi jari saya sehingga suaranya terdengar dull, saking putus asanya mencari ke-dull-an suara. Astaghfirullah jangan ditiru ya :" Terakhir, auskultasi. Salah satu earpiece-nya hilang! Saya tanyakan ke sang penguji, alhamdulillah kata beliau tidak usah dipasang, cukup dijelaskan saja apa yang dilakukan.

Station 4
Ceritanya ada ibu-ibu yang baru saja melahirkan sehingga saya diminta menjelaskan breast care kepadanya. Saya pun langsung mencontohkan sebagaimana yang ada di modul, setelah itu memberi edukasi seingat saya, karena sebenarnya ceklis yang ada di modul hanyalah memperagakan breast care. Sang dosen penguji yang sepertinya tidak terlalu memperhatikan saya karena dari awal main handphone dan baru menanyakan "Kamu nomor berapa?" di tengah-tengah, pun tiba-tiba menanyakan poin-poin edukasi lain. "Ayo, apalagi yang mau diedukasi?" "Kalo bayinya ngga mau nyusu gimana?" "Kalo susunya ngga keluar gimana?" "Kalo putingnya lecet harus gimana?" Wah, tidak disangka, ternyata ceklis edukasinya cukup banyak! Alhamdulillah, sang penguji berbaik hati menanyakan hal-hal tersebut, sehingga saya menjawabnya dalam bentuk edukasi kepada pasien, sekalipun beberapa agak ngasal sih hehe.

Station 5
Station terakhir, eye exam! Informed consent, lalu langsung beraksi "mengutak-atik" mata pasien. Dimulai dengan Hirschberg test, lalu ternyata tidak perlu melakukan versi dan duksi, dilanjutkan dengan inspeksi yang dilakukan semua kecuali bagian conjunctiva tarsalis superior yang dilakukan di akhir demi kenyamanan pasien. Memasang lup di kepala, tapi tidak digunakan karena nanti malah agak canggung akibat terlalu dekat dengan pasien hehe. Sekarang waktunya inspeksi bagian dalam, yaa intinya tidak ada kendala yang berarti sih. Alhamdulillah saya bisa ingat step-step yang saya tulis di modul. Sampailah di saat terakhir yaitu membalik kelopak mata pasien ke arah luar untuk menginspeksi conjunctiva tarsalis superior. Saya agak takut gagal karena selama mencoba dengan mata sendiri, baru 2x yang berhasil sedangkan saya tidak pernah berhasil ke mata teman. Percobaan pertama pun gagal, sekalipun sudah dibantu cotton bud. Sang dosen pun berkata, "Udah, cukup." Dengan demikian, berakhirlah station ini, berakhir juga OSCE TM-FM, berakhir pula OSCE di masa S. Ked!

--------------------------------------------------------

Padahal, saya cukup optimis untuk one shot karena tidak ada kesalahan yang saya rasa cukup signifikan selama OSCE tadi. Eh, ternyata, Allah belum mengizinkan saya merasakan sekali saja one shot di masa S. Ked. Saya pun remedial prevention of disabilities! Saya agak bingung. Padahal station ini sebenarnya mudah, dosen pengujinya baik, lantas apa yang membuat saya tidak lulus... Terlebih lagi, teranehnya lagi, saya adalah satu-satunya mahasiswa yang remed di station ini! Wah, sekalinya optimis one shot, justru remedial di satu station dan menjadi satu-satunya! Saya pun merasa begitu spesial, namun juga begitu hmmm bodoh mungkin ya... Di saat teman-teman semua lulus station ini, bisa-bisanya saya tidak lulus...

Setelah dicek lagi dengan modul, ternyata kebodohan itu benar-benar nyata! Seharusnya, di station ini saya memeriksa sensibilitas kulit lengkap mulai dari light touch, tekanan, suhu, hingga rangsang sakit. Eh, mungkin karena kemarin station pertama, masih grogi dan kagok, saya hanya memeriksa light touch.... Padahal, pemeriksaan yang hanya light touch itu adalah station satunya lagi yang tidak keluar, yaitu dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan saraf pada penderita leprosy. Pantas saja, kemarin saya agak bingung kenapa harus ada cotton bud, tapi ada juga kapas bertangkai yang lebih besar... Kemarin pun saya tidak merasa mel

Jumat, 22 Desember 2017. Pagi ini, saya baru menghafal kembali station remedial saya sekaligus wondering, siapakah dokter IKFR terpilih yang akan menguji saya nanti?

Kami pun berkumpul di auditorium lantai 2. Beberapa orang bilang kalau pasti saya diomongin dosen dan menjadi beban bagi penguji saya nanti hehehe :( Kertas remedial pun dibagikan dan kami naik ke lantai 3 yang sangatttt padat dipenuhi manusia yang remed. Ternyata, station saya digabung dengan bed turning and bed positioning. Alhamdulillah ya, jadi tidak perlu mengantre sendirian :)

Setelah cukup lama berdiri dalam keramaian, barulah Pak Aceng memanggil nama satu-persatu. Alhamdulillah, saya dipanggil pertama :) Saya langsung menuju ke arah wing tempat saya OSCE kemarin, bahkan saya langsung disuruh masuk ke ruangan remed yang sudah dihuni seorang dokter, seorang pasien bapak-bapak, beserta semua peralatan yang ada. Informed consent, cuci tangan lalala, lalu memeragakan di manekin tangan. Pasien sangat kooperatif dan sesuai dengan kasus, alhamdulillah ya tidak seperti kemarin yang pasiennya justru kebingungan :)

Setelah diperiksa sensibilitasnya, saya mulai dengan edukasi segala macam, memeragakan pemasangan handsplint atau fingersplint, barulah mencontohkan gerakan ROM kepada pasien. Beres! Tinggal minta tanda tangan sang dosen penguji yang bahkan sempat bingung ketika disodori kertas remedial, "Ini apa? Ini nama saya (yang ditulis)?" Dan selesaaaai bisa pulangggg (eh ngga deng, kan mau latihan SOOCA sama dr. Indah)

Akhir kata, usai sudah kisah-kisah OSCE selama masa sarjana kedokteran. Sekalipun belum pernah one shot, semoga saja nanti bisa one shot di setiap ujian saat koas dan UKMPPD ya :) Mohon maaf jika selama ini dalam penulisan, ada kata yang kurang berkenan. Jika ada yang perlu dikoreksi, boleh kontak saya ke line: dndsyrfh. Sekian, semoga bermanfaat dan memberikan secercah inspirasi :) Wassalamu'alaikum! 

Comments

Popular Posts