Biarkan

Biarkan kamar ini menjadi saksi bisu tangisan di malam itu. Atas sebuah keputusan yang diragukan. Yang akhirnya membuatku sendiri menjadi ragu. Dengan lagu Melankolia yang kuputar, mengiringi setiap air mata yang jatuh ke atas bantal. Membengkakkan mata, namun menenangkan hati yang lelah.
Biarkan tempat pensil ini menjadi saksi bisu perjuangan itu. Mengumpulkan 75 buah KTM, yang jika ditambah 5 lagi, aku sudah bisa mendaftar menjadi ketua BEM. Bayangkan saja, aku hanya punya waktu 2 hari untuk mengumpulkannya. Cukup merepotkan, namun kuselesaikan juga pada akhirnya.
Biarkan saja laptop ini menjadi saksi bisu usaha itu. Membuat esai 500 kata yang berisi evaluasi terhadap organisasi yang bahkan tak aku ketahui sedikitpun. Bertanya kepada para petinggi pun, mereka sama saja tak tahunya. Untungnya bisa kuselesaikan juga pada akhirnya, sekalipun penuh dengan repetisi dan retorika.
Biarkan saja Klinik Padjadjaran menjadi saksi bisu penantian panjang itu. Walau hanya sekadar meminta surat keterangan sehat, tapi waktu yang harus dihabiskan tidaklah sebentar. Begitu juga uang dua puluh lima ribu yang harus direlakan pergi begitu saja. Ya, tapi aku cukup senang menunggu sembari menyaksikan wajah-wajah tipikal yang mungkin akan kutemui paling cepat tiga tahun lagi.
Biarkan saja kertas perjanjian dan materai enam ribu rupiah ini menjadi saksi bisu akan sebuah poin perjanjian yang dicoret dan tidak disetujui. Terlihat seenaknya memang. Tapi mereka juga tak bisa memperlakukan kami seenaknya. Mereka butuh perwakilan, dan kami punya pendirian.
Biarkan saja langit senja Jatinangor yang menjadi saksi bisu akan semua yang telah kulalui dua minggu ke belakang.  
“Lebih baik mencoba lalu gagal, daripada gagal mencoba.” Kalimat yang seringkali kuberikan kepada teman sebagai nasihat, yang kini kulakukan dan kubuktikan sendiri. Aku cukup puas dengan usahaku. Dengan semua dukungan dan keraguan mereka. Dengan semua pujian dan cibiran mereka, di depan dan di belakang.
“Kadang, tidak semua omongan orang harus didengarkan.” Satu kalimat lagi yang sering kusarankan kepada seorang teman, yang kini kupraktikkan sendiri. Karena sejatinya, pilihan hidup bukanlah sesuatu yang harus disetujui semua orang. Dan ya, bahkan mereka tak punya hak sedikitpun untuk itu.
Terima kasih. Paling tidak, aku pernah hampir mewujudkan keinginan besarku untuk keluar dari comfort zone kehidupan mahasiswa kedokteran.
Maaf. Belum bisa memenuhi persyaratan yang selalu kalian permasalahkan itu. Padahal, aku sangat bersemangat dan akan sangat senang jika bisa bergabung dengan kalian.
Semoga, tahun depan kalian bisa mendapatkan anggota sesuai kriteria yang kalian tetapkan ya. Semoga mereka tidak sibuk di tempat lain. Dan semoga, mereka bisa benar-benar komitmen, dan memprioritaskan kalian di urutan pertama :)

Jatinangor,  28 Februari 2016

Comments

Popular Posts