Ayah dan Sepak Bola [Cerpen]
"Ayah kenapa udah nggak pernah nemenin aku nonton bola lagi, sih?"
"Ayah kan kerja, sayang.."
"Dari dulu juga ayah kerja. Tapi kan nggak segininya. Dulu ayah masih bisa nonton tuh biarpun pulang malem."
"Karen, sayang..."
"Terserah ayah aja deh ya."
"BRUKKK!!"
Karen segera masuk kamar. Ia menutup--lebih tepatnya membanting--pintu kamarnya, menutup telinganya, dan juga menutup hatinya. Sebenarnya ia bisa saja mengerti keadaan ayahnya, tapi ia tak mau mengerti. Ia lebih memilih mengikuti egonya untuk menuntut ayahnya kembali seperti dulu: menemaninya menonton Liga Inggris setiap akhir pekan.
Karen memang seorang perempuan, tapi ia sangat mencintai olahraga lapangan hijau itu, khususnya pertandingan-pertandingan di ranah Britania Raya. Sama halnya dengan sang ayah, yang dahulu sering disebut 'setan bola' oleh mendiang ibu Karen. Sedangkan kakaknya, Ryan, tidak begitu menyukai sepak bola. Ia lebih suka bermain game yang berbau peperangan.
Klub sepak bola favorit Karen adalah Arsenal. Ia jatuh cinta terhadap klub yang bermarkas di London Utara itu sejak pertama kali menontonnya, ketika menang dua gol tanpa balas melawan Liverpool pada musim yang sama, di tahun lalu. Saking cintanya, ia tak pernah melewatkan satu pun pertandingan Tim The Gunners--julukan Arsenal--baik di kancah domestik maupun kancah Eropa. Ia rela tak tidur, bangun dini hari, dan melakukan streaming apabila tim kesayangannya itu tak ditayangkan secara langsung oleh stasiun tv lokal. Dan semua pertandingan itu ia saksikan bersama ayahnya.
Pada hari Jum'at, 5 April 2013, sang ayah berjanji untuk menemaninya menonton sepak bola lagi keesokan harinya.
"Karen, maafin ayah, ya. Besok ayah janji nemenin kamu nonton Arsenal. Jam 9, kan?"
"Iya. Janji ya, Ayah?"
"Janji."
***
Sabtu, 6 April 2013, hari yang kutunggu sejak lama, di mana ayah akan kembali menemaniku menonton pertandingan sepak bola. Karena ayah sudah berjanji, maka aku tak perlu merasa waswas kalau-kalau aku terpaksa menonton Liga Inggris sendirian lagi.
Setelah makan malam, ayah bergegas masuk kamar. Ia seperti terburu-buru. Lalu ia keluar kamar dengan mengenakan kemeja lengan panjang hitam, celana panjang abu-abu, lengkap dengan jam tangan Rolex hadiah ulang tahun dari almarhumah ibuku, dan tas selempang hadiah ulang tahun dariku.
"Ayah mau ke mana?" tanyaku curiga.
"Eh, Karen. Ayah minta maaf ya. Maaf banget. Ayah ada meeting mendadak, kayaknya selesai jam setengah 10. Nanti ayah langsung pulang kok. Ayah temenin kamu nonton babak kedua ya," jawab ayah.
"Tapi, tetap aja ayah nggak bisa nepatin janji! Karen kecewa sama ayah!" kataku geram melihat ayah mengingkari janjinya.
Kemudian ayah pergi, dan aku sendiri lagi. Mbak Minah sedang pulang kampung untuk mengurusi bapaknya yang sakit, sedangkan Kak Ryan menginap di rumah temannya. Sungguh malam yang hampa.
Untung saja, temanku, Tama, mengajakku 'nobar' alias nonton bareng di rumahnya, bersama teman laki-laki yang lain. Karena kupikir itu lebih baik daripada menonton sendirian, akhirnya aku menerima ajakannya. Padahal, biasanya aku lebih memilih menonton bersama ayahku dibanding menonton bersama teman-teman.
***
Setelah Arsenal menang 2-1 atas West Brom, Karen akhirnya pulang dengan raut bahagia di wajahnya.
Sesampainya di rumah, ekspresi wajah Karen berubah drastis ketika melihat sang ayah berdiri di depan pintu rumah. Lengannya tertekuk sembilan puluh derajat, bertumpu pada pinggangnya. Matanya melotot. Sorot matanya begitu tajam. Napasnya berat. Terlihat jelas ada amarah yang tertahan dalam dadanya.
"Kamu dari mana aja? Pergi nggak bilang sama ayah?" tanyanya sinis.
"Habis 'nobar' di rumah Tama. Percuma, aku nggak mau ganggu ayah. Ayah kan sibuk," jawab Karen dengan tak kalah sinis.
"Tapi kamu ini anak perempuan ayah satu-satunya! Kamu pulang malem, nggak ngabarin, gimana ayah nggak khawatir? Mau jadi apa kamu, pulang jam segini? Jadi perempuan nggak bener, hah? Iya? Itu juga di rumah teman kamu isinya cowok semua kan? Mau jadi apa kamu?!" Ayah menaikkan nada bicaranya dan menggertak tanpa selaan napas. Emosi telah membawanya terlalu jauh. Tanpa sadar, ada sebait kata yang menyakiti hati anak perempuan kesayangannya. Ia mungkin sudah lupa betapa sulitnya menjaga perasaan seorang perempuan.
"Maaf, Yah.. Aku tau aku salah. Tapi maksud ayah 'perempuan nggak bener' apa? Aku nggak..." Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, beberapa tetes air mata sudah mengalir dari kedua bola matanya. Karen lantas masuk ke dalam rumah dan meninggalkan ayahnya yang masih terpaku di depan pintu. Entah harus marah atau merasa bersalah.
Sejak malam itu, hubungan Karen dan ayah semakin merenggang. Interaksi di antara mereka hanyalah sebatas formalitas, seperti "Aku pergi sekolah dulu ya", "Kamu udah makan belum?" ataupun "Ayah hari ini lembur." Mereka lebih sering bercengkerama dengan dunianya masing-masing.
Karen sebenarnya ingin hubungan ayah-anak-nya kembali seperti dulu lagi. Ia ingin mengutarakan suatu keinginan kepada ayahnya. Ia ingin menonton Arsenal yang akan datang ke Indonesia tanggal 15 Juli nanti. Hanya saja, masih ada sebuah tembok besar bernama 'gengsi' yang menghalangi komunikasi di antara mereka.
***
"Karen! Kakak jemput sekarang ya, kita ke rumah sakit."
"Ngapain, Kak? Siapa yang sakit?"
"Ayah serangan jantung..."
Ya Tuhan, pantas saja aku merasa gelisah sejak tadi. Pulpen yang kupakai untuk mengerjakan soal esai ulangan biologi ini bahkan turut bergetar mengikuti irama jantungku yang semakin tak karuan. Begitu handphone-ku bergetar, aku meminta ijin mengangkat telepon. Aku masuk lagi ke dalam kelas dengan wajah pucat. Untunglah aku sudah menyelesaikan esaiku, jadi aku bisa segera meningalkan sekolah dan menuju rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, aku benar-benar tak menyangka. Ayahku yang biasanya ceria dan enerjik, kini terbaring lemah di atas sebuah kasur putih yang bertuliskan "RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA" berwarna hijau. Wajahnya pucat, sepucat warna kasur putih yang ditidurinya. Aku tak sanggup mendeskripsikan seluruh keadaan ayahku sekarang. Rasa penyesalan sudah membuatku tak mampu berfikir banyak. Yang bisa kulakukan hanyalah menangis. Untung saja Kak Ryan memeluk dan menenangkanku.
Tiba-tiba, tangisanku terhenti tatkala pandanganku teralihkan oleh dua carik kertas. Kertas itu berwarna merah dan bertuliskan "ARSENAL ASIA TOUR 2013".
"Kak, itu kan..." kataku. "Iya, itu ayah yang beli buat kamu. Ayah tuh sayang sama kamu, Karen. Dia kerja dari Senin sampai Sabtu, pagi sampai malem, itu demi kita. Makanya ayah kecapekan, jadi jantungnya melemah lagi. Itu alesan dia kalo nggak nemenin kamu nonton bola: takut serangan jantungnya kambuh."
"Ayah.... Maafin Karen, Yah... Karen sayang banget sama Ayah..." Air mataku kembali bercucuran, sembari aku memeluk tubuh ayah yang begitu dingin karena terpaan AC. Kulitnya mulai berkeriput. Aku pun tersadar. Ia sudah tak muda lagi.
"Karen..." Terdengar sebuah rintih kesakitan. Namun aku masih bisa mengindikasikan adanya semangat-untuk-sembuh yang tinggi dalam nada bicaranya.
"Ayah mau pergi..." Tidak, jangan kata-kata itu. Aku benci mendengarnya. Aku tak kuat. Aku tak sanggup. Aku tak mau menjadi yatim piatu dalam umurku yang bahkan belum sampai seperlima abad ini. Dan lagi-lagi, keran di mataku tak mampu membendung debit air mata yang begitu deras mendesak keluar.
"Ayah mau pergi ke GBK. Mau nonton Arsenal bareng kamu. Hahaha."
Comments
Post a Comment